Di halaman Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Kamis 8 November 2018, ratusan mahasiswa dan simpatisan berkumpul menunjukkan solidaritas pada korban kekerasan seksual. Selain membubuhkan nama, tanda tangan, dan nomor mahasiswa di kain putih yang dibentangkan, tiap peserta solidaritas memukul-mukul kentongan kayu dan menyemprit peluit sepanjang-panjangnya, sebagai pertanda ada bahaya menghadang kampus mereka.
Massa aksi mewanti-wanti, bahwa UGM sedang darurat kekerasan seksual. Petinggi kampus dinilai gagap menangani kasus kekerasan seksual sampai-sampai seorang penyintas harus berjuang sendiri menghadapi birokrasi demi menuntut keadilan. “Keberanian penyintas menghantar kita pada hari ini, tidak semua penyintas berani berjalan sendiri dan membangun dukungan sistemnya sendiri dan dia melakukan itu. Kami di sini akan melanjutkan perjuangan penyintas,” kata Cornelia Natasya, narahubung aksi #kitaAGNI, sebagaimana dikutip Kompas.com.
Videos by VICE
Unjuk rasa ini terjadi berselang dua hari setelah pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada merilis cerita kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku. Agni adalah nama samaran penyintas yang segera jadi simbol bagi gerakan solidaritas para mahasiswa.
Investigasi panjang Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung, terangkum dalam artikel ‘Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan’ yang viral sejak awal pekan ini. Artikel tersebut jadi perbincangan di berbagai media sosial. Sebagian pengguna medsos sibuk memburu identitas HS, si tertuduh pelaku pemerkosaan. Sebagian sibuk menganalisis kecacatan dalam tulisan Balairung. Di waktu bersamaan, media mainstream pun sibuk memberitakan ulang, membuat kabar tentang Agni—nama samaran penyintas pemerkosaan—semakin luas tersebar.
Tuntutan massa aksi pun tegas: kampus dituntut lebih terlibat melindungi korban dan membawa pelaku ke jalur hukum. Ketegasan itu selama beberapa bulan ini absen. Pihak rektorat maupun dekanat yang terkait penyelidikan kasus tersebut tak pernah secara jelas menunjukkan keberpihakan pada penyintas. Itulah sebabnya, meski kasus pemerkosaan sudah setahun berlalu, Balairung memutuskan tetap mengusut dan menuliskannya. Dalam laporan itu pula, Balairung menegaskan apa yang jadi fokus utama mereka, yakni kegagapan pejabat kampus yang lebih sibuk menjaga nama baik institusi dibanding membela korban pemerkosaan.
Apalagi, seorang pejabat kampus secara tidak langsung ikut menyalahkan penyintas. “Jangan menyebut dia [Agni] korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh [ikan asin dalam bahasa jawa- red] pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.” Kutipan tersebut memicu kemarahan pembaca laporan Balairung. Merujuk keterangan rektor ataupun dekan Fakultas Teknik, fakultas yang menaungi terduga pelaku pemerkosaan, kampus sejak awal tidak berniat menempuh jalur hukum karena ingin memberi solusi “mendidik.”
“Sebetulnya kami ingin dua-duanya [baik terduga pelaku maupun korban] nanti lulus dari UGM menjadi orang-orang yang lebih baik dari yang sekarang,” kata Panut Mulyono, selaku Rektor UGM.
Tak butuh waktu lama bagi tagar #kitaAGNI bergulir jadi gerakan di dunia nyata. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise turut bersuara. Di hadapan awak media, dia berjanji mengawal penyelesaian skandal pemerkosaan yang awalnya hendak diredam jadi urusan internal kampus tersebut. “Apa pun yang dilakukan, yang namanya kekerasan seksual harus berhadapan dengan hukum karena sudah ada undang-undangnya,” kata Yohana sesudah mengisi kuliah umum di Fakultas Geografi UGM.
Sejak artikel ini tayang di situs pada 5 November lalu, Balairung menerima banyak sekali respons. Bernard Evan Kanigara, selaku pimpinan redaksi Balairung, mengaku tergerak atas keresahan khalayak kampus terhadap desas-desus pelecehan seksual yang ditutupi. Pihaknya memutuskan ikut menyorot dengan laporan terverifikasi. “Menurut kami kasus ini signifikan, pelecehan seksual itu kan fenomena gunung es. Mendesak untuk diangkat, kalau enggak sekarang mau sampai kapan institusi pendidikan tidak menyeriusi laporan-laporan seperti ini. Kami sih hanya melaksanakan tugas sebagai watchdog,” kata Bernard kepada VICE.
Sejak kejadian perkosaan Agustus 2017 lalu, ada jarak yang cukup panjang hingga akhirnya kasus ini meledak setelah disebar melalui situs Balairung. Citra Maudy, penulis artikel tersebut, mengaku investigasinya butuh waktu karena data yang ia kumpulkan relatif banyak, bertahap, sekaligus menunggu kesediaan penyintas berani bicara.
Menurut penuturan Citra, ia sudah mendengar desas-desus kasus pelecehan seksual peserta KKN sejak Desember 2017. Karena terbentur jadwal perkuliahan yang masih libur, Citra dan tim Balairung baru bisa mengonfirmasi hal ini ke Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DkPM) Februari tahun ini. Dalam wawancara awal tersebut, Citra memperoleh pernyataan janggal dari pejabat DkPM yang justru menyalahkan Agni. “Menurutku tanggapan dia aneh, yang menganalogikan Agni sebagai ikan yang dikasih ke kucing itu. Makanya kami justru mikir ‘wah ada apa nih’, malah curiga,” ujar Citra.
Tonton dokumenter VICE terkait pencarian definsi ‘consent’ dari sudut pandang perempuan agar budaya pelecehan dan pemerkosaan dapat diakhiri:
Sebulan kemudian Balairung memperoleh kepastian identitas penyintas pemerkosaan di lokasi KKN Maluku. “Tapi saat itu dia belum mau diwawancara karena mungkin masih malu atau trauma,” ujar Citra. Agni akhirnya baru bersedia angkat bicara setelah ia membaca artikel berjudul ‘Malang Melintang Penanganan Pelecehan Seksual di Kampus’ yang terbit di Majalah Balairung edisi 54, Agustus 2018. Di artikel itu, Balairung membahas penyelesaian tiga kasus pelecehan seksual yang juga terjadi di UGM. Semuanya tidak berakhir dengan baik terhadap penyintas dan cenderung diarahkan sebagai kasus pribadi saja. “Mungkin dengan artikel pengantar itu, Agni jadi yakin dengan keberpihakan kami, jadi mau diwawancara,” lanjutnya.
Selama melakukan investigasi untuk mendapat gambaran kasus lebih utuh, Citra maupun Bernard berupaya menghubungi beberapa narasumber dari pihak kampus yang sulit ditemui. Mereka merasa respons birokrat kampus tidak kooperatif. “Kayak pas aku minta kontak Pak Nizam [Dekan Fakultas Tekni], aku dikasih nomor yang enggak ada WhatsAppnya. Enggak ada respons. Masak sekelas dekan enggak punya WA,” keluh Citra.
Citra mengakui, kasus Agni ini memang ia soroti lebih dibanding kasus-kasus pelecehan di UGM sebelumnya, karena Agni punya usaha menjadikan pengalamannya masuk ke ranah hukum. Sebelumnya, hanya satu kasus pelecehan seksual di UGM yang juga menjadi kasus resmi, yaitu pelecehan seksual yang dilakukan dosen UGM berinisial EH dua tahun lalu. “Aku melihat Agni sangat berdaya, dia mengusahakan haknya, protes ketika diberi nilai C, mendatangi dosen. Dari pertimbangan redaksi Balairung, dia perlu dapat porsi banyak,” tandas Citra.
Sebagai lembaga pers mahasiswa lingkup universitas, Balairung terhitung berani melakukan kritik dan membuka fakta gelap perilaku instansi yang menaunginya. Respons warganet yang membludak berkat artikel ini bahkan memaksa rektorat UGM dan kampus Fisipol mengeluarkan siaran pers resmi. Dekan Fakultas Teknik, yang sebelumnya sulit dihubungi, lantas bersikap defensif dan menyayangkan pemberitaan Balairung atas dalih membeberkan aib kampus sendiri.
Meski pihak kampus kelabakan dengan mencuatnya kasus Agni, Balairung tidak memperoleh intimidasi apapun. Pemimpin Umum Balairung, Unis Ananda Raja, menyatakan sejauh ini rektorat tidak memprotes laporan mereka.
“Cuma ada respons dari pembina UKM, kenapa kok kasus sensitif tidak dikomunikasikan dulu. Tapi kami pikir konten enggak ada hubungannya sama pembina, toh artikel kasus sensitif lain juga tidak kami komunikasikan. Tapi setelah itu udah sih, beliau juga enggak menghubungi saya lagi,” kata Unis.
Keterangan serupa juga dikatakan Citra. Sebagai jurnalis mahasiswa yang bergabung di Balairung sejak 2016, ia masih merasa aman. Dia mengaku siap dengan segala risiko, andai aktivitas akademiknya terpengaruh gara-gara laporannya yang viral turut mengkritik petinggi Fisipol, fakultas tempatnya belajar sehari-hari. “Kalau sampai diberi nilai C juga [gara-gara nulis], aku punya hak untuk tidak terima. Karena kupikir kalau kampus sudah dikritik soal hal itu terus malah mengulangi, ya mari kita kritik lagi,” kata Citra sambil tertawa.
Citra mengaku lebih banyak mendapat tekanan dari warganet. Ia kecewa melihat sebagian respons pembaca yang lebih berfokus pada siapa pelaku, siapa korban, gaya penulisan, serta mereka yang membelokkan substansi kasus menyoal teknis penulisan. “Gara-gara artikelnya dikatakan cabul, ada yang sampai ngasih kutipan ayat Al Quran,” cetusnya.
Pihak Balairung turut menyayangkan respons dari Aliansi Jurnalis Independen Surabaya yang memprotes tulisan mereka karena dianggap melanggar kode etik jurnalistik. Kronologi perkosaan yang ditulis Citra dinilai terlalu vulgar hingga mendekati cabul. Kritik dari jurnalis profesional itu membuat redaksi Balairung akhirnya melansir tanggapan tertulis untuk meneguhkan keputusan mereka secara detail menggambarkan kronologi pemerkosaan yang dialami Agni. “[AJI Surabaya] kan bisa menghubungi kami secara baik-baik, lewat surat atau mengontak kami, tanpa lewat twitter atau apa. Dengan cara yang lebih bijaksana lah sebagai aliansi jurnalis,” ujar Unis. “Toh wartawan media arus utama yang mewawancarai humas UGM malah mengeluarkan inisial penyintas, itu kan jelas salah. Tapi mereka enggak hadir untuk mengkritik.”
Artikel yang ditulis Balairung ini bisa dibilang sukses menaikkan lagi pamor pers mahasiswa dalam kancah jurnalisme Indonesia. Persma terbukti masih punya tenaga menggulirkan isu pelecehan seksual di instansi pendidikan sebagai wacana nasional.
Peran lembaga pers mahasiswa selama 10 tahun terakhir kerap dikesampingkan ketimbang media-media pada umumnya. Padahal semasa Orde Baru berkuasa, persma besar di Yogyakarta seperti Balairung, LPM Himmah Universitas Islam Indonesia, LPM Arena di UIN Sunan Kalijaga, atau LPM Ekspresi di Universitas Negeri Yogyakarta sukses menjadi bacaan aktivis maupun masyarakat umum. Publikasi ini menjadi suara oposisi, yang mendorong arus gerakan anti-Suharto, hingga akhirnya sang diktator berhasil dilengserkan.
Di masa sebelum reformasi, oplah Balairung sempat sangat tinggi, masuk ke toko-toko buku, hingga tersebar ke berbagai kota. Kini, situasi berbalik. Meski tak berarti sepenuhnya jinak, lembaga pers mahasiswa lebih banyak bergerak di dalam kampus dan berperan sebagai media komunitas. Sebagian persma juga gagap melakukan tranformasi liputan untuk format online dan masih terjebak dalam kultur media cetak.
Balairung sendiri setiap tahunnya merilis satu majalah dan satu jurnal, sementara artikel-artikel harian diunggah ke situs mereka. Meski berupaya konsisten, pegiat Balairung mengakui pamor persma menurun di kampus sendiri. “Yang membaca [produk jurnalistik kami] mahasiswa kalangan tertentu sih. Kalau ada isu-isu menarik, kayak tragedi ’65 gitu, baru banyak yang baca,” kata Unis.
Namun turunnya pamor ini membuat tiap anggota persma jadi lebih militan. Bernard merasa dia dan kawan-kawan Balairung punya privilege karena tidak perlu mengejar klik seperti media online arus utama, tidak terbebani reputasi tertentu, dan hanya perlu fokus berkarya sebaik-baiknya.
“Kami enggak ada tekanan dari manapun, enggak dibayar [sebagai jurnalis], enggak mengejar apapun. Murni eksperimen lewat diskusi dan proses bersama. Saya kira beda ya kalau sudah kerja jadi wartawan di media arus utama. Kalau di sini mah kami bebas bereksperimen,” tutur Bernard.
Unis berharap di laporan selanjutnya, fungsi kritik terhadap kampus akan terus dikedepankan oleh Balairung. “Meskipun kami didanai universitas, jika kami tidak melakukan kritik dan tidak mengungkap fakta yang ada, justru kami tidak melakukan tugas yang seharusnya.”