Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.
Semua foto dari cuplikan ‘Never-Ending Man: Hayao Miyazaki’. Hak cipta ada pada NHK World TV.
Videos by VICE
Ketika Hayao Miyazaki mengumumkan bahwa dia pensiun sepenuhnya dari dunia anime empat tahun lalu, sutradara film dokumenter Kaku Arakawa merasa skeptis. Dia sendiri pernah bertemu sang animator untuk pertama kalinya pada 2005, lantas mulai merekam adegan behind the scene dari film Ponyo (2008) dan The Wind Rises (2013).
“Secara pribadi, saya tidak mau dia pensiun,” kata Arakawa. “Saya terus mengunjungi studio kerjanya, mewawancarai dia, kali ini tanpa kamera. Kami waktu itu sering ngobrol dan ngopi bareng. Saat itu Miyazaki sering berucap, ‘Saya sudah selesai, tolong tinggalkan saya sendiri.’”
Untungnya kengototan Arakawa akhirnya terbayar lunas karena ketika akhirnya Miyazaki memutuskan untuk kembali berkarya, dia sudah siap dengan kameranya.
Film Never-Ending Man: Hayao Miyazaki dimulai dengan masa pensiun Miyazaki sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membuat film pendek Boro the Caterpillar yang justru nantinya mendorongnya untuk mulai mengerjakan film berdurasi penuh lagi. Direkam menggunakan satu kamera genggam tanpa bantuan kru, film Arakawa menyajikan wawasan yang menarik ke dalam kehidupan Miyazaki, sifatnya, hal-hal baik dan buruk yang dilalui sebelum akhirnya dia memutuskan untuk kembali menciptakan film.
Berikut adalah informasi-informasi menarik seputar Miyazaki yang kami dapat dari wawancara VICE dengan sutradara Kaku Arakawa dan screening film dokumenter versi director’s cut di Inggris yang diprakarsai oleh NHK World TV.
Miyazaki belum menonton dokumenter tersebut
“Setelah saya selesai merekam film, saya mengunjungi Miyazaki untuk memberitahukan bahwa film dokumenternya sudah rampung dan telah diputar di NHK,” kata sutradara Kaku Arakawa ke VICE. “Miyazaki belum pernah menonton satupun film yang saya buat tentang Studio Ghibli, apalagi Never-Ending Man: Hayao Miyazaki. Ketika salah satu staf dekat Miyazaki, Toshio Suzuki memberi tahu judul dokumenternya, Miyazaki mengatakan ‘sekalian aja dikasih judul “The Man Who Couldn’t Stop’ (Dia yang Tidak Bisa Berhenti). Nampaknya ada semacam kekuatan—semacam karma—yang terus mendorongnya untuk menciptakan film.
Miyazaki sering melontarkan filosofi hidupnya saat ngopi dan merokok
“Saya sudah berhenti mengikuti kemauan orang,” kata Miyazaki dengan tegas sambil ngopi. Kemudian dia menghisap rokok dalam-dalam. Sepertinya ketika dia tengah merokok, dia selalu membuat pengamatan-pengamatan yang lucu. Misalnya ketika dia berujar, “Itu lagu ‘Let It Go’ lagi populer banget ya. Tentang jadi diri sendiri kan itu.” Setelah menghisap rokok, dia melanjutkan, “Amit-amit deh. Orang-orang yang puas dengan diri sendiri itu membosankan. Kita harus terus mendorong diri dan melampaui ekspektasi.”
Menjadi tua menyita perhatian seorang Miyazaki
Sepanjang dokumenter, Miyazaki selalu mengucapkan variasi dari “Saya lelaki tua,” “Saya udah pensiun” dan “Saya hanya sekedar pria tua pensiunan.” Para penonton diingatkan akan sentimen ini ketika film tersebut menampilkan Miyazaki menghadapi berita kematian teman-temannya, beberapa bahkan lebih muda. Salah satunya adalah kematian teman baiknya yang juga desain warna Ghibli, Michiyo Yasuda.
Miyazakii sangat sadar dengan keadaan dan sesungguhnya tidak merasa seperti seorang pria berumur. Suatu hari, misalnya, ketika tengah mengikuti ujian mengemudi mobil, dia kaget menemukan betapa tuanya pria-pria pensiunan yang lain. Dia langsung membuat sketsa gambar pria-pria yang dia lihat di sana. Di sketsanya terlihat gambar lelaki-lelaki jompo yang ringkih. Dia tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari gerombolan tersebut. Dan sulit rasanya mengkategorikan dirinya sebagai lelaki jompo karena energinya yang tumpah ruah.
Dia selalu terdorong bekerja sangat keras
Di awal dokumenter, ketika dia sedang nongkrong di rumah “di masa pensiun”, dia terus meyakinkan dirinya bahwa dia terlalu tua untuk bekerja. Dia mengatakan kebiasannya menggambar-gambar di rumah itu hanya sekedar “mencorat-coret” agar “ada kerjaan”. Dia terus-terusan menyebutkan keadaan fisik dan mentalnya yang lemah seakan-akan dia tengah berusaha meyakinkan dirinya untuk pensiun. Sampai akhirnya dia mulai membuat film pendek dan akhirnya termotivasi untuk membuat film penuh lagi—sesuatu yang dia bersumpah tidak akan pernah buat lagi. Etika kerjanya merupakan sebuah kompromi antara seseorang yang terobsesi dan seseorang yang memang dunianya ada di situ. Miyazaki kerap masuk ke kantor di saat hari libur untuk bekerja, sebelum akhirnya pulang ke rumah di malam hari dan menyantap mi instan dan kopi.
“Beberapa orang yang kenal Miyazaki mengatakan bahwa sosoknya bahkan lebih menarik dari film ciptaannya,” kata Kaku Arakawa soal si animator. “Banyak yang mengatakan Miyazaki adalah sosok yang menakutkan dan sulit, tapi sesungguhnya dia sangat ramah. Dia sering melontarkan cerita-cerita menarik yang bisa menjadi ide film berikutnya. Karena saya sudah memfilmkan Miyazaki selama hampir satu dekade, kami menjadi akrab dan sulit bagi saya untuk bisa menjadi obyektif ketika menceritakan dirinya. Saya suka bagaimana dia selalu tersenyum untuk menutupi rasa malunya.”
Miyazaki mengakui kekalahan teknik gambar manual dari animasi CGI
Miyazaki menunjukkan kualitas dirinya yang fleksibel dan terbuka ketika dia memutuskan untuk membuat film pendek untuk Ghibli Museum, Boro the Caterpillar menggunakan CGI. Alasannya? Miyazaki mengatakan CGI akan membuat proses pembuatan lebih cepat dan mudah. Ada satu adegan menarik ketika dia memberikan catatan ke pihak animator. Dia mencoba menggambar di atas imej ulat (caterpillar) tapi malah menempelkan berbagai macam versi gambar di atasnya. Rasanya seperti menyaksikan bocah yang baru lulus kuliah ngibul tentang kemampuan Photoshop di CV dan kemudian panik ketika dites di hari pertama kerja.
Melihat semangatnya untuk bekerja dengan CGI, anda percaya bahwa proyek ini akan sukses. Namun seiring proses, anda bisa melihat bahwa CGI gagal menampilkan semangat Ghili yang tulen. Sepanjang dokumenter, karakter utama si ulat terlihat seperti onggahan tahi di layar kaca. Miyazaki pulang setiap malam semakin frustrasi dengan teknologi.
Selama Miyazaki masih hidup dan aktif berkarya, animasi tradisional memang belum mati, tapi rasanya ajalnya sudah dekat. Pernah segerombolan teknisi yang tengah meneliti teknologi “deep learning” kecerdasan buatan (AI) menawarkan MIyazaki dan Toshio Suzuki visi mereka untuk menggantikan animator manusia dengan mesin yang bisa menggambar sealami manusia. Miyazaki dengan keras menolak dan kamera menangkap reaksi wajah para teknisi yang tertegun. Sesuai dengan pernyataan Suzuki ke kamera di awal dokumenter, tim animasi Ghili dibubarkan ketika Miyazaki pensiun. Di akhir film, ketika tengah membicarakan film barunya, Suzuki dan Miyazaki khawatir apabila mereka bahkan bisa menemukan cukup animator baru untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Miyazaki selalu terinspirasi oleh anak muda
Biarpun tidak puas dengan hasil CGI, Miyazaki sangat tertarik dengan para animator—bocah-bocah muda dengan gaya rambut emo—dan senang berada di sekitar mereka. “Hayao suka orang muda,” jelas Suzuki. “Orang muda membuat dirinya bersemangat. Dia menyerap energi muda tersebut dan kembali bersemangat.” Anak-anak muda juga biasanya menyukai Miyazaki—pernah ada seorang anak kecil berlari ke dalam rumahnya, tanpa konteks apa sebetulnya hubungan mereka, dan Miyazaki membawa sekaleng jelly untuknya.
Miyazaki ingin mempunyai seorang penerus, tapi keinginannya tak pernah terwujud
Kalau anda pernah melihat dokumenter manapun tentang cara kerja Studio Ghibli, pasti anda sudah tahu betapa kerasnya Miyazaki terhadap staff. Kalau ada yang tidak benar, dia akan terus mengirimkannya kembali ke sang animator, dan tidak segan-segan mengkritik. Sebuah analisa diri sempat ditampilkan Miyazaki di depan kamera, “Saya sempat melatih beberapa penerus, tapi saya tidak bisa merelakan mereka. Saya selalu menghabisi mereka. Saya menghabisi talenta mereka.” tambahnya, “Tidak ada yang tersisa untuk mengambil alih. Ini takdir saya. Mereka semua saya habisi.”
Suzuki sempat mengatakan, “Yang Hayao inginkan adalah tiruan dirinya. Tapi ini kan tidak mungkin.”
Miyazaki memutuskan terus bekerja sampai meninggal
Ketika sedang menyiapkan kopi, Miyazaki mengatakan bahwa melakukan apapun di dunia selain menciptakan film terasa membosankan. “Saya bukan seorang nihilis,” jelasnya ketika membandingkan dirinya dengan sutradara film lainnya yang juga bekerja hingga usia senja. Dia menyimpulkan bahwa dia harus bekerja sampai dia meninggal. Ketika membicarakan film terbarunya—yang katanya dia tidak akan pernah buat—dia berucap, “Saya siap mati sebelum film terbaru saya selesai. Mendingan mati seperti itu daripada ketika tidak melakukan apa-apa. Saya lebih baik mati dengan tujuan.”
Dalam papan perencanaan film yang dia buat untuk Suzuki, film tersebut ditargetkan selesai di 2019, sesaat sebelum Olimpiade Tokyo. “Apa saya masih hidup di umur 78?” tulisnya. Dia dan Suzuki kerap berkelakar tentang bagaimana populernya film tersebut kelak apabila dia meninggal sebelum filmnya keluar—kemudian dokumenter itu berakhir.
Follow penulis artikel ini di akun @hannahrosewens