Artikel ini pertama terbit di VICE magazine Edisi Dystopia dan Utopia. Klik DI SINI jika ingin berlangganan.
VICE Indonesia juga merilis rangkaian cerita mengenai lokasi-lokasi yang menggambarkan gagasan distopia maupun utopia yang ada di negara ini. Simak liputannya di sini.
Videos by VICE
Setelah beres menjelajahi sebuah gua, bau aneh tak sedap akan menguar dari bajumu. Apa mau dikata, gua adalah gudangnya kotoran dan lembab tak kepalang. Beberapa pengeksplor gua sering membawa coverall mereka dan mengendus-endusnya bila rindu menjelajahi mereka kumat. Mereka tak hanya mengincar bau gua, mereka melindunginya.
Hazel Barton tak melakukan ritual ini. Dia adalah seoang caver kawakan sekaligus seorang pakar mikrobiologi. Barton tahu betul bau khas itu berasal dari senyawa yang terbuat dari filum mikroba bernama Actinomycete, yang mampu mengurai materi organik. Sebelum masuk ke gua, dia akan membersihkan mikroba tersebut, mengikat rambutnya dan benar-benar berhati-hati agar tidak sekalipun mencecerkan makanan—satu remah makanan saja sudah cukup untuk memberikan jutaan mikroba selama beberapa bulan. Baginya, dia harus masuk sebersih-bersihnya dan berusaha semaksimal mungkin mengganggu ekosistem dalam gua.
Jauh dalam ceruk Bumi, Barton tak mengincar adrenalin seperti para caver biasa. Dia berada di sana untuk mengumpulkan mikroba yang jarang terkontaminsi apapun yang berasal dari luar gua. Apa yang dikumpulkan Barton adalah aset dan modal besar untuk menanggulagi salah satu momok besar dunia medis di masa depan: kekebalan terhadap antibiotik.
Mayoritas antibiotik yang sekarang ada di pasaran berasal dari mikroba yang ada di permukaan tanah. Organisme ini secara alami memproduksi antibiotik guna mempertahakan diri dalam persaingan dengan bakteri lainnya. Sejak pertama kali antibiotik diciptakan, mikroba-mikroba dipanen dari tanah langsung. Eksploitasi tanpa akhir ini punya konsekuensi tersendiri. Bahan pembuat antibiotik kini mulai menurun pasukannya.
Penemuan antibiotik mencapai puncaknya pada tahun ‘50an, yang kerap dijuluki sebagai masa emas antibiotik. Setelah itu, tingkat penemuan antibiotik mengalami penurunan. Pada 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa sebagian besar antibiotik kini digunakan adalah “modifikasi dari kelas antibiotik terdahulu dan cuma berfungsi sebagai solusi jangka pendek.”
Resitensi patogenis terhadap antibiotik yang sekarang kerap diresepkan diperkirakan mengklaim 700.000 setiap tahun dan prediksi terbaru memperkirakan pada 2050 superbug akan menewaskan lebih banyak orang daripada kanker. Perburuan terhadap antibiotik baru kini tengah digalakkan dan para peneliti sudah mulai merambah tempat-tempat yang tak umum: darah komodo, dasar lautan hingga antimikrobial yang dihasilkan semut.
Menemukan antibiotik baru di kawasan-kawasan terpencil adalah sebuah tantangan tersendiri. Namun dalam kedalaman gua, Barton telah menemukan sesuatu yang berbeda—mikroba yang secara mandiri telah mengembangkan kekebalan terhadap antibiotik. “Begitu kamu mulai mencarinya, mikroba-mikroba ini bisa kamu temukan,” kayanya. “Kita tak harus mencarinya, mereka ada di mana-mana,” Kekebalan terhadap antibiotik juga bisa ditemu di mana-mana, tapi sepertinya tak semengerikan seperti yang kita dga
Gerry Wright, Direktur Michael G. DeGroote Institute for Infectious Disease Research di McMaster University, telah memelajari kekebalan terhadap antibiotik selama 25 tahun. Polanya selalu sama, katanya. Pada awalnya, kita berhasil menemukan antibiotik. Setelah itu, kita mulai memanfaatkannya sebagai ikhtiar klinis dan, tanpa bisa dihindari, resistensi terhadap antibiotik muncul di bakteri patogenik. Siklus ini terjadi berulang kali dan menyakinkan banyak peneliti bahwa resistensi sejatinya hanyalah respon terhadap aktivitas manusia—atau dalam kasus yang paling kontemporer, kebiasaan kita menggunakan antibiotik kelewat lebay. Kendati demikian, Wright tak terlalu percaya anggapan itu.
Orang awam tak bisa memahami betapa berbahayanya ancaman kekebalan antibiotik, katanya. Kemungkinan terburuknya adalah kita akan kembali terjerembab dalam masa-masa gelap dalam sejarah layanan kesehatan. “[kalau kekebalan terhadap antibiotik dibiarkan], kita tak akan bisa melakukan operasi tanpa menyebakan infeksi,” jelasnya. “Kita tak bisa mengerjakan tindakan medis berbahaya semacam transplantasi jantung dan ginjal. Semua kemudahan yang dipandang enteng dalam dunia medis modern ini hilang. Kita kehilangan semuanya.
Karenanya, ada baiknya kita segera memahami bagaimana kekebalan terhadap antibiotik bekerja, sudah berapa lama masalah ini menghantui dunia media dan bagaimana resistensi antibiotik berubah dari masa ke masa. Pada 2006 lalu, laboratorium Wright menerbitkan sebuah makalah di majalah Science yang mengajukan sebuah hipotesa: mikroba dari daerah urban, kawasan pertanian dan hutan bisa membawa serta resistensi yang mereka bentuk secara mandiri.
Para pengkritik makalah itu meragunakan klaim Wright sebab darimana Wright tahu bakteri-bakteri tersebut tak terkena sentuhan tangan manusia. Lima tahun kemudian, Laboratorium Wright menerbitkan laporan lanjutan yang diterbitkan di Nature. Dalam penelitian yang dijadikan landasan penulisan laporan itu, Wright mengumpulkan sampel bakteri dari lokasi-lokasi yang belum pernah terjamah oleh manusia, termasuk sedimen permafrost Beringia. Wright menemukan bahkan di kawasan terpencil sekalipun, bakteri bisa menunjukkan resistensi. Alhasil, dalam makalahnya, Wright berargumen bahwa resistensi bukanlah fenomena yang dimulai lantaran manusia terlampau lebay mengonsumsi antibiotik. Sebaliknya, resistensi sama tuanya dengan keberadaan bakteri itu sendiri. Patogen menjadi kebal karena bantuan dari luar, tepatnya dari mikroba yang sudah memiliki kekebalan.
“”Kita hidup di masa antroposen, jadi tak satupun jengkal tanah di bumi, entah itu pegunungan paling tinggi, dataran Antartica dan lainnya, yang tak pernah dirambah manusia,” Wright mengakui. Lalu, dirinya menyaksikan kuliah Barton tentang berburu mikroba di gua-gua terpencil yang tak pernah disentuh kebudayaan manusia. “Saat itu otak saya langsung merespon, dalam hati saya pikir: ‘Ah di sana kita harus cari mikrobanya. Kita harus mencari di bawah permukaan bumi.”
Barton mulai mengakrabi caving pada usia 14, awalnya sebagai kegiatan di luar rumah di daerah Bristol, Inggris. Seiring ketertarikan Barton akan caving meningkat, minatnya terhadap mikrobiologi tumbuh subur. Di usia 11 tahun, dia mencerita seisi kelasnya mengumpulan “endapan kolam” dan mengamatinya dengan mikroskip. “Itu benar-benar bikin saya terkagum-kagum,” kenangnya.
Caving dan mikrobiologi untuk beberapa lama jadi dua minat yang tak saling berhubungan. Saat kuliah master, Barton bisa menghabiskan waktu seharian meneliti penyakit menular di lab pada hari kerja dan di akhri pekan, dia akan pergi caving—dan kembali dengan tubuh babak belur beberapa hari kemudian setelah berhasil menjelajahi sebuah gua. Pendamping akademis sampai khawatir dan mengajaknya bicara. Dia bilang hobinya itu bikin konsentrasi belajarnya buyar. Barton harus memilih antara caving atau mikrobiologi.
“Pada dasarnya, dia cuma bilang kalau aku harus memilih salah satunya karena saya tak bisa menjalani keduanya. Ini masalah gampang,” ucapya sambil tergelak. “Saya cukup melakukan caving sembunyi-sembunyi darinya.”
Saat Barton bergabung dengan lab ahli mikrobiologi Norm Pace di University of Colorado oada 1999, Pace melihat kombinasi skill Barton sebagai paduan yang langka. Penelitian Barton tentang TBC menyebabkan dirinya terampil mengekstrak DNA bakteri dalam jumlah teramat kecil dari paru-paru penderita TBC. DNA-DNA tersebut sebagian besar tersusun dari Kalisum, yang sangat mirip dengan batuan yang menyusun dinding gua.
Saat itu, kata Barton, tak satupun yang tahu mikroba macam apa yang tinggal di dalam gua dalam. Metode mikrobiologi tradisional mewajibkan para peneliti mengumpulkan bakteri dari alam dan mengembangbiakannya di cawan petri. Namun, beberapa mikroba liar, terutama mikroba dalam gua, tak bisa dikembangbiakan dengan metode seperti ini. Organisme ini telah mampu beradaptasi dengan tingkat energi dan nutrisi yang rendah. Ketika mereka berusaha dikembangbiakan di cawan petri, mikroba-mikroba ini malah mati lantaran kebanyakan makanan.
Jadi, misi mikrobiogi/caving pertama Barton adalah mengidentifikasi mikroba tanpa harus mengembangbiakannya di luar gua. Setelah berhasil mengekstrak DNA dari bebatuan gua, Barton menggunakan PCR, atau polymerase chain reaction, untuk membuat salinan DNA tersebut. Dengan melihat persamaan dan perbedaan dalam gen spesifik yang dimiliki semua bakteri, Barton bisa menentukan tempat sebuah mikroba dalam pohon keluarga bakteri. “Kamilah yang pertama mengamati lingkungan gue biasa dengan cara seperti ini,” katanya. Barton menerbitkan hasil penelitiannya pada 2001. Sejak saat itu, dua ketertarikannya itu sudah tak bisa dipisahkan dari satu sama lain lagi.
Saat bicara tentang dirinya sendiri. Barton berusaha kelihatan merendah—namun, pada kenyataannya, penjelajahan gua bukanlah hobi orang berhati ciut. Seseorang yang mampu menjalaninya, sambil bisa menangkap tanda-tanda kehidupan mikroba di dalamya, adalah spesies yang langka.
“Saban kali kamu berada dalam gua, kamu akan tahu rasanya saat manusia berdiri di bulan untuk pertama kali,” katanya. “Kamu orang pertama yang menyaksikannya. Hanya ada beberapa hal yang bisa memberikan sensasi itu seperti menemukan lahan yang tak pernah disentuh dan diketahui manusia.”
Saat menjalajahi Wind Cave, South Dakota, butuh berjam-jam untuk mencapai guanya sendiri. Pun untuk sampai di sana, Barton harus merangkak di atas perutnya, mendaki medan dengan posisi tegak lurus, menyelip di antara celah-celah sempit selama 4 jam. Gus itu menyempit sampai tinggal 20 cm sebelum Barton mendapatkan sampel yang dia incar. Dia harus mampu mengempiskan badannya. Begitu pula semua alat yang dibawa oleh Barton. Semuanya mesti masuk dalam celah sekecil itu. Beberapa penjelajahan lain tak memerlukan akrobat macam ini. Sebaliknya, penjelajan lain memerlukan lebih banyak stamina. Tak lama lalu, Barton baru saja kembali dari sebuah gua setelah tinggal di sana selama beberapa hari di dalamnya. Tas panggul yang dibawanya saat itu memiliki berat sekitar 20 kg dan dia harus keluar dari gua dengan memanjat 13 utas tali.
Barton mengaku pernah punya fobia ketinggian. Kini, ketakutannya itu sudah hilang tanpa jejak. Tetap saja, ketika kamu berpegangan pada sebuah tali, pikiran-pikiran bisa dengan cepat bersliweran. “Yang paling sering terpikir adalah, kalau saya melakukan kesalahan, saya akan kesakitan kalau sampai jatuh,” katanya. “kalau sampai jatuh itu akan seperti menjatuhkan telur ke lubang yang sangat dalam. Salah satu lubang gua bisa memiliki kedalaman sampai 50 meter, dan jika kamu tak benar saat mengaitkan diri ke tali, kamu pasti mati.”
“Memang bikin nyali ciut,” ujar Wright. “Apa yang dilakukan Barton bikin saya jeri. Hazel mirip kayak Lara Croft-nya mikrobiologi.”
Setelah hadir dalam kuliah umum Barton, Wright segera menjalin kerjasama dengannya dalam sebuah eksplorasi di Lechuguilla Cave di Carlsbad Caverns National Park. Antara tahun 2008 dan 2011, Barton berhasil merambah bagian gua yang selama jutaan tahun selamat dari tangan-tangan manusia. Di bagian yang disebut dengan nama “Deep Secrets,” yang terletak nyaris 400 mete dari permukaan tanah , Barton menemukan mikroba yang kebal terhadap berbagai macam antibiotik yang populer dalam dunia medis saat ini. Lachuguilla Cave tertutup bagi siapapun yang tak punya izin sejak pertama kali ditemukan pada 1986. Barton pulang dengan mengantongi sampel dari bagian gua yang jauh dari jalan setapak yang selama beberapa juta tahun hanya dilalui oleh empat sampai enam orang.
“Beberapa mikroba kebal antibiotik yang kami teliti setidaknya sudah berumur empat juta tahun,” tutur Barton. “Dengan demikian, anggapan yang sudah mengakar bahwa resitensi terhadap antibiotik baru muncul setidaknya 60 sampai 80 tahun lalu itu terdengar konyol. Resistensi antibiotik mungkin berevolusi selaras dengan evolusi antibiotik itu sendiri. Artinya, apapun antiobiotik yang mungkin kita temukan, bentuk resistensinya sudah pasti ada di luar sana.”
Barton mengoleksi 93 rangkaian DNA dari Deep Secrets dan mengujinya dengan 26 produk antimikroba. Ternyata, bahkan setelah melewati pengujian, temuan yang muncul masih tetap bikin kaget. Bakteri-bakteri yang dibawa Barton menunjukkan resistensi terhadap sebagian besar jenis obat ternama dalam dunia farmasi. Tujuh puluh persen dari bakteri tersebut kebal terhadap setidaknya tiga sampai empat antibiotik yang berbeda. Malah, ada tiga rangkaian DNA yang kebal terhadap 14 antibiotik. Bahkan, antibiotik terbaru yang berada di pasaran, daptomycin, nyaris tak berpengaruh pada ketiga jenis bakteri tersebut.
Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan tahun lalu, Wright dan Barton memusatkan perhatian mereka pada salah satu bakteri yang mereka temukan, Paenibacillus sp. LC231, yang kebal terhadap 26 dari 40 antibiotik yang dipaparkan pada bakteri itu. Dengan memelajari genom bakteri itu, mereka bisa membongkar kenapa ini bisa terjadi. Wright dan Barton menemukan bahwa ada lima cara baru bakteri melawan antibiotik dan 12 gen yang sama dengan strategi melawan antibiotik yang sebelumnya sudah kita ketahui.
Barton dan Wright mau bersusah payah melakukan kerena satu prinsip: jika kita tahy bagaimana cara bakteri kebal terhadap antibiotik, kita bakal lebih siap melakukan interferensi. Barton menyebut langkah ini sebagai “menghalangi penghalang.” beberapa mikroba mampu mengembangkan kemampuan untuk memproduksi molekul yang merintangi antibiotik. Menurut Barton, jika kita bisa menebak apa saja molekul itu, kita pada gilirannya bisa memblokade perintang ini dan memastikan antibiotik kembali ampuh.
Temuan ini tak lantas bikin melepas tanggung jawab manusia sebagai penyebab resistensi kekebalan terhadap antibiotik. Kalaupun evolusi bakteri berlangsung sangat lambat, manusialah yang mempercepatnya dengan terlalu royal mengonsumsi antibiotik entah itu untuk alasan medis atau dalam ranah pertanian. Mengurangi pemakaian antibiotik adalah salah satu cara mengatasi masalah ini, namun langkah ini akan lebih berfaedah jika dibarengi upaya mencegah resistensi dan menggalakkan pengembangan bakteriofag dan vaksin. Masalahnya adalah jika memang resistensi terhadap antibiotik sudah berlangsung jutaan tahun, mustahil kita bisa memenangkan saga ini. “Jika resistensi adalah buah dari evolusi, kamu tak akan bisa menghentikan evolusi,” terang Wright. “Yang perlu kita lakukan adalah mengubah cara pandang. Menaklukan resistensi bukan pilihan lagi.”
Sepintas pernyataan di atas terdengar seperti salah satu skenario hari akhir. Akan tetapi, Barton merasa hal ini harus ditanggapi dengan penuh optimisme. “Kita baru boleh kalut kalai semua mikroba hilang dari bumi,” katanya. “Nah apabila ancaman semengerikan benar-benar ada, sudah pasti tak akan ada kehidupan mikrobial di bumi.”
Singkatnya, kita akan buang-buang jika kepalang gusar memikiran betapa tak bergiginya antibiotik dari hari ke hari. Toh, jawaban atas semua pertanyaan sudah tersedia sekalian dengan kemungkinan solusinya. Hanya saja, jawaban-jawaban itu tersembunyi di medan-medan ekstrem di muka bumi atau paling tidak beberapa kilometer dari permukaan bumi.