Dari ratu alien hingga dewi hutan, penata rias otodidak asal Filipina Sylvina Lopez — biasa dipanggil Slo — menggunakan makeup sebagai terapi kreatif. Terjebak di dalam rumah membuat Slo semakin getol bereksperimen dengan dandanannya. Dia tak lupa memamerkan ciptaannya di media sosial.
Kepada i-D, Slo menceritakan proses dia menjadikan makeup sebagai sarana menyalurkan kreativitas, serta bagaimana berdandan menjaga kewarasannya selama lockdown.
Videos by VICE
Apa yang membuatmu tertarik dengan makeup?
Di film To Wong Foo, ada adegan yang memperlihatkan tokohnya sedang bersiap-siap. Patrick Swayze, John Leguizamo, dan Wesley Snipes yang macho berdandan untuk jadi drag queen. Saya sangat suka menonton montase semacam itu saat masih kecil dulu. Kakak perempuan juga sering menjadikanku boneka Barbie-nya. Dia suka mendandani saya sesuai tren saat itu.
Ibu mengoleksi buku Kevyn Aucoin jadi saya selalu menyukai gambar-gambar [riasan]. Cuma lihat-lihat saja sih, tapi saya masih ingat dampaknya. Saya sudah tertarik dengan makeup sejak kanak-kanak. Pada akhirnya, saya menabung supaya bisa beli makeup sendiri.
Sejak itu, kamu terus menciptakan riasan yang memesona, bahkan selama lockdown.
Orang sering bilang begitu, tapi lucunya pandangan saya justru sebaliknya. Sepertinya alasanku bereksperimen dengan riasan karena saya sadar kulit akan berubah suatu saat nanti. Wajah akan penuh kerutan, jadi saya harus mengisinya dengan warna.
Kamu menggunakan istilah terapi kreatif ketika memamerkan riasan eksperimental ciptaanmu. Sejak kapan kamu menyadari makeup ada kaitannya dengan kesehatan mental?
Saya memang sudah bertahun-tahun mendandani orang lain, tapi saya tidak pernah kursus atau sekolah tata rias. Jadi saya merasa tak pantas menyebut diri penata rias. Tapi saya sadar berkreasi sudah menjadi bagian dari hidupku. Sayangnya, saya tak pernah berhasil menemukan media yang tepat. Saya mencoba gambar atau melukis, tapi tidak pernah membagikannya ke orang lain. Semua berubah begitu saya merias wajah. Ada hubungan manusia di sana. Merias wajah bagaikan terapi, meskipun saya tidak mendandani diri sendiri.
Makeup penuh dengan kerapuhan. Orang akan meminta maaf setiap ada bagian wajah yang tidak mereka sukai. Mereka langsung membuka diri, dan mengizinkan kamu untuk mengubah penampilannya. Mereka tidak masalah kalau riasannya sangat berbeda.
Makeup juga memberikan semacam keamanan bagi banyak orang. Beberapa harus pakai bulu mata palsu atau eyeliner. Namun, makeup eksperimental sangat powerful. Kamu sendirilah yang mengendalikan penampilan, dan menantang orang-orang yang mengatur penampilanmu. Ketika saya melakukan riasan yang gila, saya melihat betapa menyenangkan pengalamannya bagi orang yang sedang didandani. Mereka merasa seperti orang yang berbeda.
Sebagai seniman, saya tak terlalu mengindahkan standar kecantikan. Orang harus mengakui makeup mampu meningkatkan suasana hati, dan menjadikan kebenaran itu sebagai sesuatu yang tidak menimbulkan rasa takut.
Secara pribadi, bagaimana makeup menjadi terapi bagimu?
Saya bisa menenangkan pikiran ketika merias wajah. Saya selalu menantang dan menguji diri sendiri untuk berkembang secara kreatif. Caranya bisa dengan membuat riasan hanya pakai satu palet. Saya tidak terpaku pada ponsel. Dengan begitu, saya merasa seperti mengasah keterampilan sekaligus mengekspresikan diri.
Kadang-kadang saya akan berdandan sesuai suasana hati, misalnya ketika saya sedang sedih. Saya kurang jago mengutarakan perasaan lewat kata-kata, jadi saya menggunakan makeup untuk mengekspresikannya.
Dengan membagikan fotonya, orang akan selalu mengingat dan menyimpannya. Beberapa karyaku yang mengekspresikan emosi-emosi ini masih sering diposting ulang, padahal saya membuatnya pada 2015. Saya suka membayangkan ide riasan, dan menyadari itu berasal dari perasaan diri sendiri. Dari situ, saya menciptakan riasannya dan membagikan hasilnya.
Riasan mana yang menurutmu paling terapeutik?
Saya sangat konseptual, jadi beberapa riasanku benar-benar berdasarkan emosi. Contohnya seperti riasan yang mengekspresikan nostalgia. Dosen pernah menjelaskan nostalgia berakar dari luka lama. Itu sangat menarik buatku, makanya saya mengubahnya jadi ide makeup.
Terkadang saya akan memikirkan percintaan dan kepedihan. Saya ingin orang bisa merasakan emosi itu ketika melihat makeup buatanku. Begitu juga saat saya merasa tidak bersemangat atau tidak punya motivasi. Saya akan berdandan dan menyemangati diri untuk menyelesaikannya. Kamu takkan berhenti melakukannya sampai kamu merasa bangga.
Bagaimana kamu menangkap emosi dengan riasanmu?
Di lukisan atau bahkan film, selalu ada cara menggambarkan kondisi pikiran karakter lewat penampilan wajahnya. Mungkin tidak kentara, tapi bisa mengingatkan kamu akan perasaan tertentu.
Apa saranmu bagi para pembaca yang ingin mencoba makeup eksperimental?
Lakukan saja, jangan ragu-ragu. Cari komunitas dan jadilah bagiannya. Tidak perlu komunitas besar. Yang penting kamu bisa ngobrol dan berdandan bareng. Itu sangat menyenangkan dan terapeutik. Mumpung kamu masih belum bisa ke mana-mana, kamu bisa berkreasi seliar mungkin pakai eyeshadow atau lipstik terang. Tidak masalah kalau kamu hanya ingin bersenang-senang dan tidak tertarik memamerkannya ke orang-orang.
Jangan terlalu terpaku pada standar tertentu. Setiap orang memiliki bentuk wajah yang berbeda, jadi tak perlulah mengikuti omongan atau gaya berdandan orang lain. Kamu berdandan untuk kebahagiaan diri sendiri, bukan untuk merasa diterima.
Artikel ini pertama kali tayang di i-D