Kisah Perempuan Belajar Mencintai Hidungnya

femei care au primit bullying pentru nas, femei cu nasul mare

Saya selalu memalingkan muka setiap berpapasan dengan orang lain di jalan. Saya juga tidak suka kalau teman mengunggah foto bersamaku tanpa persetujuan saya terlebih dahulu. Pun tiada hal yang paling saya benci melebihi difoto dari samping.

Sebagai perempuan keturunan Arab yang tumbuh di lingkungan orang Barat, hidung saya yang besar sering mendatangkan rasa insecure berlebihan. Sejak kecil, saya percaya perempuan lebih “cantik” jika hidungnya mungil dan mancung, sedangkan hidung jambu seperti yang saya miliki tak sedap dipandang. Itulah sebabnya saya selalu mencoba membuat hidung terlihat lebih kecil.

Videos by VICE

Perempuan berambut merah menghadap samping
Sona Boker, 25 tahun, penulis artikel ini. Foto: Chris dan Marjan

Sempat tebersit di benak saya untuk operasi plastik. Keinginan itu telah menghantuiku sejak umur saya baru 11 tahun. Saya mau punya hidung mancung seperti teman-teman. Saya sudah lelah merasa tidak percaya diri dengan penampilan. Saya ingin cantik, dan satu-satunya cara menjadi “cantik” yaitu punya hidung lancip.

Kendati berpikiran begitu, saya tak pernah benar-benar mewujudkannya. Bagaimanapun juga bentuk hidung ini merupakan identitas saya sebagai orang Irak, walau ada suara miring menyebut hidungku terlalu besar untuk ukuran perempuan Irak. Pelan-pelan saya mulai belajar mencintai penampilan apa adanya. Saya akui prosesnya tidak gampang, dan terkadang saya masih suka minder. Akan tetapi, bagaimana bisa saya bangga menjadi keturunan Arab jika saya tidak terima terlahir dengan fitur wajah yang unik ini?

Saya menumpahkan rasa tidak percaya diriku di media sosial. Reaksi yang saya terima membuatku tersadar, saya tidak berjuang sendirian. Ada banyak perempuan di luar sana bergumul dengan kegelisahan serupa.

‘Saya menyesal sudah gegabah mengecilkan hidung. Orang tidak percaya saya keturunan Arab.’

Perempuan berambut lurus panjang
Dima Akkash, 21 tahun. Foto: Chris dan Marjan

“Sewaktu muda dulu, orang sering bilang saya punya ‘hidung gagak’ atau mirip penyihir karena ukurannya besar. Saya semakin tidak pede karena teman-teman hidungnya tidak segede saya.

Awal-awal saya menekuni profesi influencer, saya selalu mengedit foto supaya hidung terlihat mancung. Saya bahkan sampai terobsesi mengecilkan hidung. Hingga akhirnya, beberapa tahun lalu, saya memutuskan operasi hidung di Turki. Saya minta hidungku dipermak semungil mungkin.

Sekarang, saya menyesal sudah gegabah mengubah bentuk hidung. Saya telah menyingkirkan jati diri saya sebagai kelahiran Suriah. Mayoritas orang tidak percaya saya memiliki darah Timur Tengah. Mereka mengira saya perempuan Eropa. Sekarang, saya cemburu melihat perempuan Arab yang berhidung akuilinus (pangkal hidung menonjol). Bentuk hidung saya saat ini tidak cocok dengan fitur wajahku.

Bentuk fisik yang kita miliki adalah anugerah sejak lahir, sehingga kita harus menghargainya. Saya sedih baru menyadarinya sekarang. Setiap melihat foto masa kecil, saya hanya bisa membatin: ‘Lihatlah Dima, dari dulu kamu sudah cantik’. Andai saya bisa memutar balik waktu, saya akan memberi tahu Dima kecil kalau hidungnya baik-baik saja. Tidak ada gunanya dioperasi.” – Dima Akkash, 21 tahun

‘Bentuk hidung yang berbeda-beda adalah keistimewaan wajah kita.’

Perempuan rambut panjang mengenakan kaus abu-abu
Farrah Nousha, 29 tahun. Foto: Chris dan Marjan

“Saya percaya hidungku jelek gara-gara dikatain saudara dan teman. Mereka selalu menyinggung soal bentuknya di setiap kesempatan. Akibatnya, saya menjadi overthinking saat diajak bicara orang lain. Saya berusaha sebisa mungkin menutupi hidung supaya mereka tidak memperhatikan bentuk hidungku.

Sejak ketagihan mengedit foto, saya sering membayangkan betapa cantiknya saya jika operasi plastik. Hasrat itu muncul begitu kuat sampai-sampai saya terdorong membuat visa Iran. Rencananya saya mau mengecilkan hidung di sana.

Saya sudah menyiapkan semua yang dibutuhkan, tapi anehnya permohonan visa saya selalu ditolak. Ketika akhirnya bisa berangkat ke Iran, saya malah mengurungkan niat itu. Saya takut tidak akan puas dengan hasilnya. Ditambah lagi, ibu mengekspresikan kekecewaannya saat tahu rencanaku. ‘Kamu bukan Farrah kesayangan ibu kalau kekeh operasi hidung,’ katanya. Apalah arti hidupku bila ibu tak mau mengakui saya?

Sekarang, saya percaya bentuk hidung menunjukkan karakter. Bentuknya yang berbeda-beda adalah keistimewaan wajah kita.

Saya juga sudah berhenti mengedit foto, terutama setelah melihat foto tampak samping model Maya Samaha di Instagram. Saya mulai bermain dengan riasan wajah sekitar 2021 lalu. Saya foto dari samping kala itu, dan tersadar saya sebetulnya sudah cantik. Tak ada yang aneh dengan bentuk hidungku.

Saya mengunggah foto itu karena bangga. Tak disangka-sangka, foto saya menginspirasi banyak orang. Mereka berterima kasih karena saya sudah membuka mata mereka kalau bentuk hidung ini baik-baik saja. Bahkan ada yang bersyukur postingannya telah meyakinkan mereka untuk tidak operasi plastik. Saya bahagia membaca pesan-pesan mereka.” – Farrah Nousha, 29 tahun

‘Ayah ibu tidak marah saya operasi hidung. Selama saya bahagia dengan pilihan itu, mereka tidak akan melarang.’

Perempuan berambut cokelat-pirang
Biljana Pupovac, 29 tahun. Foto: Chris dan Marjan

“Saya dijadikan bahan olok-olok sejak SD. Saya berbeda dari anak-anak kebanyakan karena hidungnya besar, tapi wajah saya kecil.

Tak jarang saya mendengar orang ngomongin hidungku saat sedang keluar rumah. Saya tidak mau menjadi pusat perhatian, makanya saya selalu berjalan cepat di tempat ramai. Kadang-kadang saya memalingkan wajah atau memakai kacamata untuk menutupi hidung. 

Namun, komentar terparah yang saya terima yaitu ketika saya tidak tertarik dengan laki-laki yang mendekatiku. Mereka awalnya memuji saya, tapi begitu ditolak, mereka kayak: ‘Belagu banget jadi cewek. Hidung lo gede, gak usah kepedean deh’.

Semua pengalaman buruk ini membuatku tidak percaya diri dengan hidung. Saya sering mengedit foto, tapi saya jujur kok kalau itu foto editan.

Setelah uang tabungan cukup, saya memantapkan diri untuk operasi hidung di Turki. Saya melakukannya dua tahun lalu.

Saya tidak menyesali keputusan ini, atau merasa telah menghilangkan identitas dengan operasi hidung. Saya justru lebih percaya diri sekarang.

Ayah ibu selalu berkata saya cantik apa adanya, tapi mereka tahu saya menjadi korban perundungan. Ayah ibu tidak marah mendengar saya ingin operasi hidung. Kalau itu bisa membuatku bahagia, ya sudah tidak apa-apa.

Sekarang saya sudah punya anak, dan ingin mencontoh ayah ibu. Saya tidak akan memaksa anak merombak fisik, tapi kalau ia menginginkannya? Saya tidak akan menghalanginya.” — Biljana Pupovac, 29 tahun

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.