Kisah Perempuan Iran Memanfaatkan Piala Dunia untuk Merebut Haknya Jadi Pendukung Sepakbola

Fatemeh besar di Yazd, kota religius di tengah Iran, dan mulai menyukai sepakbola sejak dia masih 11 tahun. Waktu itu, dia sedang menonton pertandingan tim sepakbola Argentina pada Piala Dunia 1998 Perancis di rumah pamannya.

“Pertandingan sepakbola di Iran biasanya diadakan setiap larut malam,” katanya kepada VICE Sports melalui WhatsApp (Fatemeh dan perempuan Iran lainnya yang kami wawancarai meminta untuk tidak disebutkan nama lengkapnya, karena khawatir dihukum akibat mengkritik rezim Iran secara terang-terangan). “Kami cuma punya satu TV, jadi harus menonton pertandingan sepakbola tanpa suara dan penerangan supaya tidak mengganggu orang dewasa.”

Videos by VICE

Dia terkesima dengan seragam biru-putih timnas Argentina, dan permainan bagus striker kebanggaan mereka, Gabriel Batistuta, saat menonton pertandingan sepakbola untuk pertama kalinya.

Saat menonton pertandingan itu, Fatemeh juga menyaksikan suporter perempuan Argentina yang tampak asyik menari dalam balutan kaus dan celana pendek. Penampilan mereka sangat kontras dengan perempuan Iran yang berjilbab.

“Penduduk Yazd sangat Islami. Sekarang sudah 2018 dan orang Iran masih menatap aneh perempuan yang pakai baju berwarna atau dress pendek,” katanya.

Fatemeh mulai mendukung tim sepakbola Iran Persepolis F.C. yang berbasis di Teheran, setelah Piala Dunia berakhir. Setiap tahun, ayah dan saudara laki-lakinya akan menonton langsung pertandingan tahunan dengan Esteghlal F.C. di Azadi. Pertandingan ini sangat penting sampai-sampai kegiatan bisnis akan diliburkan pada hari pertandingan.

“Saya hanya bisa menonton sendirian di rumah,” lanjutnya. “Saya ingat waktu Persepolis mengalahkan Esteghlal di Persian Gulf Cup pada 2001. Itu momen paling mengharukan sekaligus menyedihkan bagiku.”

Setelah dua dekade menjadi penggemar sepakbola, Fatemeh akhirnya bisa menyaksikan langsung di stadion sewaktu Iran bertanding melawan Maroko Jumat nanti. Para suporter perempuan dari Iran berencana untuk membentangkan spanduk dan bendera kecil Iran. Dalam spanduknya, terdapat pesan yang ditujukan untuk FIFA dan pemerintah Iran. Isinya: “aku juga ingin menonton langsung pertandingan sepakbola di Stadion Azadi.”

Pemerintah Iran sudah menerapkan peraturan yang melarang perempuan memasuki stadion sepakbola sejak Revolusi Iran pada 1979, tepatnya ketika monarki Persia digulingkan dan digantikan dengan Republik Islam. Pada tahun-tahun berikutnya, mereka juga mulai melarang perempuan dalam berbagai hal, termasuk larangan menonton pertandingan sepakbola bersama kerabat laki-laki.

Larangan ini tentunya merugikan bagi Fatemeh yang lahir delapan tahun setelah revolusi.

“Di Iran, kami tidak bisa menentang ajaran Islam yang melarang ini-itu. Perempuan terpaksa harus menerima diskriminasi yang mereka dapat. Larangannya muncul bertahap jadi kami sudah terbiasa. Ketika saya tumbuh dewasa, para perempuan sudah menyadari alasan mereka tidak diizinkan ikut menonton pertandingan sepakbola di stadion bersama ayah atau saudara laki-lakinya.”

Sepakbola sudah menjadi bagian dari budaya Iran sejak abad ke-19, tapi pada akhir 90an, kualifikasi Iran untuk Piala Dunia 1998 membuat orang Iran semakin tergila-gila sepakbola. Itulah pertama kalinya anak-anak perempuan, seperti Mahsa yang saat itu masih 16 tahun, mulai mengetahui sepak bola.

“Banyak anak perempuan yang baru tahu soal sepakbola menjelang pertandingan kualifikasi melawan Australia. Ini merupakan pertandingan terbesar di Iran,” katanya kepada VICE Sports melalui WhatsApp. “Pertandingan dimulai pada tengah hari di Iran, tapi banyak yang tidak masuk kerja atau sekolah. Sekolah sudah memberi peringatan untuk tetap masuk, tapi para keluarga malah berkumpul untuk menonton. Kami sangat tidak percaya waktu mereka menang. Semua orang merayakannya semalaman.”

Semakin banyak perempuan yang mendukung tim sepak bola Iran meskipun mereka tersisih di babak grup tahun itu. Mereka juga mulai mendukung tim sepakbola Eropa, seperti Spanyol, Inggris atau Jerman saat Iran gagal masuk di Piala Dunia 2002, 2006 atau 2010. Sayangnya, menjadi suporter perempuan di Iran sangatlah sulit. Alasannya bukan hanya larangan menonton pertandingan di stadion.

“Setelah revolusi, peraturan yang ketat berlaku untuk setiap aspek kehidupan sosial kami,” ujar Mahsa. “Siswa perempuan tidak bisa bebas berkumpul dengan teman-temannya di kafe, restoran atau mall. Saya ingat waktu ada ekstrakulikuler sepakbola yang diadakan di tempat gym di Teheran. Saya ikut ekskul ini, tapi banyak yang dilarang orang tuanya karena keluarga mereka religius dan mengira sepakbola itu tidak penting. Orang-orang memandang saya aneh setiap kali membahas sepakbola. Seolah-olah sepakbola itu tidak penting buat perempuan.”

Iranian women protesting the Revolution of 1979. Women have not been allowed in sports stadiums since. Photo via Wikimedia Commons.

Namun pada 2010, timbul secercah harapan bagi perempuan Iran untuk menonton pertandingan olahraga. Fatemeh masih ingat waktu perempuan pertama kalinya diizinkan menonton pertandingan timnas bola voli Iran melawan Teheran. “Saya langsung beli tiket. Saya sangat senang bisa nonton langsung di stadion voli. Tidak peduli tempat duduk kami terpisah dengan pria. Sayangnya kami hanya bisa menikmati dua atau tiga pertandingan karena larangan diterapkan kembali. Para teolog Islam di Iran mengatakan kalau ini menentang ajaran Islam, dan harus dihentikan secepatnya,” terangnya.

Akan tetapi, kebangkitan media sosial selama satu dekade ini telah memfasilitasi pendukung sepakbola perempuan di Iran untuk mengikuti berita olahraga terbaru dan memprotes larangan menonton kompetisi olahraga.

Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter secara resmi diblokir di Iran, tapi banyak penduduknya yang diam-diam mengakses media sosial tersebut. Mereka biasanya menggunakan proxy dan VPN saat mengakses situs web yang terblokir. Warga Iran giat mencari VPN baru sebelum disensor oleh pemerintah.

Bagi banyak suporter perempuan di Iran, media sosial memudahkan mereka untuk mengetahui informasi terbaru soal tim sepakbola Iran dan Eropa. Berkat media sosial juga, mereka sadar kalau pecinta sepakbola perempuan di Iran sangatlah banyak. Kesadaran ini memperkuat solidaritas mereka dalam mengadakan aksi protes untuk melawan diskriminasi yang mereka alami selama ini. Awal minggu ini, penggemar dan jurnalis Iran menggunakan akun Twitter mereka untuk memprotes billboard Piala Dunia yang dipasang di Teheran. Gambar di billboard ini penuh dengan berbagai ilustrasi wajah penggemar sepakbola Iran. Sayang semuanya laki-laki.

“Para penggemar perempuan sangat dibedakan. Ini termasuk diskriminasi gender,” bunyi twit pengguna @Banafshehjamali.

Banyak perempuan Iran yang sudah terbiasa dengan diskriminasi ini, tapi paling tidak mereka bisa menyuarakan pendapat mereka sekarang.

“Waktu kecil dulu, kami tidak tahu kalau penggemar sepakbola banyak yang perempuan juga. Kami tidak akan pernah tahu ini tanpa media sosial. Dengan medsos, para perempuan jadi lebih percaya diri untuk menyuarakan pendapatnya agar masyarakat tahu kalau kami juga berhak diperlakukan setara. Banyak perempuan Iran yang tidak bisa pergi ke Brasil atau Rusia untuk mendukung tim favoritnya di Piala Dunia karena tidak diizinkan suami, tapi sekarang mereka dapat memprotes itu,” kata Mahsa.

Kisah Ghoncheh Ghavami, perempuan Iran-Inggris yang dipenjara pada 2014 setelah menonton pertandingan voli di Teheran sebagai aksi protes larangan datang ke stadion, telah menyebar luas dan mendorong penggemar sepakbola perempuan untuk melakukan aksi protes di luar stadion. Tahun lalu, ketika perempuan Iran dilarang menonton langsung pertandingan tim nasional mereka melawan Suriah, demonstrasi besar-besaran diadakan di depan stadion Azadi. Beberapa tahun belakangan ini, banyak perempuan yang nekat menyamar sebagai laki-laki menggunakan janggut dan mulut palsu untuk menonton pertandingan, setelah itu mereka akan mengunggah fotonya ke Twitter dan Instagram untuk mengajak orang lain melakukan hal serupa.

“Saya berambut pendek waktu kecil, tapi tidak pernah kepikiran untuk mengubah penampilan supaya bisa masuk stadion,” tutur Mahsa. “Apalagi saya tidak tahu kalau banyak perempuan yang suka sepak bola. Sekarang, perempuan akan nekat melakukan sesuatu supaya bisa masuk stadion dan tidak lama kemudian perempuan lain akan mengikuti hal serupa. Ini membantu mereka jadi lebih berani dan percaya diri.”

Sialnya, mereka akan dapat hukuman berat kalau tertangkap basah. Mereka berisiko dipenjara dan petugas keamanan bisa melakukan apa saja untuk menghukum perempuan yang melanggar peraturan.

“Mereka sangat berani. Selain dipenjara atau dipukul, keluarga mereka juga akan diinterogasi aparat. Tapi, semakin dilarang maka akan semakin nekat mereka melanggar peraturan. Terutama kalau mereka penggemar berat. Mereka berani mengambil risiko dan tidak memedulikan apa hukuman yang akan mereka dapat.”

Selama tiga minggu ke depan, Mahsa, Fatemeh dan sembilan suporter perempuan Iran lainnya yang mengunjungi Rusia untuk menonton Piala Dunia, berniat melawan rezim negaranya dengan melakukan aksi protes kecil-kecilan pada setiap pertandingan Iran.

Selama turnamen, peraturan Iran yang sudah ketat akan semakin diperketat. Kafe dan restoran dilarang menayangkan pertandingan agar laki-laki dan perempuan tidak berkumpul dan menonton bersama di tempat umum, sedangkan perempuan yang ingin menonton langsung Piala Dunia diperingatkan untuk tetap mematuhi nilai-nilai Islam dan memakai jilbab di tempat umum.



“Kami tidak akan mengenakan hijab,” ujar Masi, perempuan yang terlibat dalam perencanaan aksi protes selama pertandingan Iran. “Mereka tidak berhak mengatur apa yang kami pakai. Kami sudah membahas apa saja yang ingin dilakukan lewat Telegram dan WhatsApp. Kami akan memakai kaus yang bertuliskan ‘Kenapa banyak sekali peraturan untuk perempuan Iran?’ dan ‘Hentikan stadium ban sekarang juga!’ Kami juga berencana membawa spanduk kecil. Kami tahu saluran televisi Iran akan menyensor kami dan hanya menayangkan pejabat parlemen Iran dan keluarganya yang mengenakan hijab. Yang penting kami sudah berusaha menyuarakan pendapat kami ke dunia.”

Mereka sadar dan waspada bahwa pejabat Iran yang pergi ke Rusia akan memantau perilaku mereka, tapi mereka berharap media internasional akan menyorot spanduk mereka, mempublikasikan kampanye mereka agar mereka bisa bebas datang ke stadion bola di Iran. Mereka harap ini bisa meyakinkan FIFA untuk menekan pejabat Iran agar mengubah hukum negara.

Akan tetapi, bentuk protes sekecil apa pun bisa berisiko besar bagi perempuan-perempuan ini. “Kami tidak mau menyerah, tapi banyak yang takut risikonya. Beberapa dari kami bekerja di pelayanan publik. Bisa saja kami dipecat saat pulang ke Iran. Polisi juga bisa menyerang keluarga dan menginterogasi mereka. Apa saja bisa terjadi di Iran. Penganut aliran garis keras di Iran pasti akan menghina-hina kami di media sosial,” kata Fatemeh.

Memang ada harapan peraturan itu berubah di masa depan. Pada Maret, presiden FIFA Gianni Infantino membahas masalah akses ke stadion untuk perempuan kepada presiden Iran berkat kampanye media sosial yang berkelanjutan sebelum kunjungan Infantino ke Iran. Infantino kemudian menyatakan bahwa presiden sudah meyakinkan kalau ia akan mencabut larangan tersebut.

Namun, janjinya belum terealisasi sampai sekarang.

“Banyak anggota kabinet yang ingin mencabut larangan masuk stadion,” tutur Fatemeh. “Tapi mereka tidak berhak membuat keputusan. Pemimpin tertinggi berkuasa penuh untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Saya harap suatu saat nanti saya bisa menyaksikan perempuan Iran bebas menonton langsung pertandingan olahraga tanpa dihukum. Kami hanya ingin dihargai dan bisa menonton di stadion dengan tenang.”