Artikel ini pertama kali tayang di i-D
Das Leben am Haverkamp adalah kolektif fashion asal Belanda yang dibangun oleh empat perancang muda: Anouk van Klaveren, Christa van der Meer, Dewi Bekker, Gino Anthonisse. Berbasis di The Hague, perancang-perancang ini bertemu saat belajar di Royal Academy of Art, dan nama Das Leben am Haverkamp berarti “kehidupan di Haverkamp,” sebuah rujukan pada nama jalan tempat studio kreatif mereka berdiri, sebuah gedung terbengkalai di Haverkamp. “Terlepas dari musim dingin yang menggigil, gedung ini sangat nyaman untuk ditempati,” ujar Klaveren. “Percobaan demi percobaan terjadi di sini dan kami suka menggunakan tempat ini sebagai laboratorium di mana semua hal memungkinkan.”
Videos by VICE
Setelah bekerja di bawah desainer ternama seperti Bernhard Willhem, Henrik Vibskov, Christian Wijnants, dan Bless, setiap anggota membawa pandangan dan pengalaman yang berbeda untuk proses kreatif mereka. Masing-masing memiliki praktik masing-masing, tetapi mereka menyajikannya secara kolektif dalam pameran tahunan, menciptakan konteks untuk proses berpikir dan bekerja. Pendekatan kolektif mereka tidak bersifat konformis, diilhami oleh ritual harian dan relativitas budaya kemewahan, dan mereka sering membangun barang-barang pakaian yang salah terhadap konseptual, bukan yang bisa dikenakan. Koleksi “Quirky Cruise” baru-baru ini, misalnya, melihat model berjalan di landasan dalam pakaian dalam mereka, membawa potongan 2D dari sweater pakaian, celana panjang, dan jaket hujan.
Selain praktik individu mereka, Das Leben am Haverkamp mengambil berbagai proyek kolektif. Baru-baru ini, yang telah mengambil bentuk serangkaian pakaian kue yang dibuat untuk Fashion Clash Festival di Maastricht, perayaan tiga hari desainer yang muncul dari seluruh dunia yang dimulai pada tanggal 15 Juni. Mengapa harus kue? Karena penasaran, reporter i-D ngobrol bersama kolektif ini tentang asal-usul ide nyeleneh tadi, dan bagaimana para perancang lain berkolaborasi Fashion Clash mereka yang ekstrem tersebut.
i-D: Halo, seperti bagaimana sih cara kerja kolektif kalian, dan seperti apa perjalanan kreatif kalian dari pertama berdiri sampai sekarang?
Christa: Setelah kami semua lulus dari Royal Academy of Art di The Hague pada tahun 2013, kami telah berbagi ruang studio. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan bahwa kita semua memiliki pendekatan yang sangat mirip dengan mode. Contohnya, kami punya pendapat yang kuat tentang konvensi tertentu di industri fesyen. Kami ingin memutuskan langkah kami sendiri dan kami semua tertarik untuk membuat orang sadar akan nilai pakaian, bukannya menciptakan kesan pakaian sebagai barang sekali pakai.
Dewi: Juga, kami semua punya estetika sama yang cukup nyata dan unik. Mungkin inilah sebabnya pekerjaan kami saling melengkapi satu sama lain. Selain estetika itu, tema kami tumpang tindih secara kuat. Tetapi kami memiliki cara yang sangat pribadi untuk memperlakukan mereka. Misalnya, kami semua terlibat dengan tradisi cerita rakyat dan bekerja dengan topeng. Kami semua selaras dengan nada yang lebih ringan atau gembira, meskipun subjek yang kami tangani bisa sangat serius. Ini menciptakan ketegangan menyenangkan ketika kamu melihat pekerjaan kami.
Gino: Itulah mengapa kami mulai mempresentasikan karya kami bersama. Kami memutuskan kami ingin membuat koleksi individual, dan memproduksinya dalam skala yang sangat terbatas. Kami juga memilih untuk membuat hanya satu koleksi setahun, bukannya empat.
Dewi: Pada waktu tertentu, pakaian-pakaian yang kami buat adalah tambahan untuk karya kami yang sebelumnya, bukan yang baru. Setelah dua tahun, kami menyadari bahwa arah ini tidak sesuai dengan kami karena kami masih merasa terbatas sebagai desainer dalam mengekspresikan pandangan artistik kami karena aspek komersial juga, kami masih menjadi bagian dari sistem.
Anouk: Sebagai sebuah kolektif, kami melihat semakin sedikit relevansi dalam membuat lebih banyak pakaian. Akibatnya, proyek kami semua telah mengeksplorasi peran alternatif sebagai perancang busana sejak saat itu.
Christa: Hal yang tetap sama selama bertahun-tahun adalah persahabatan kami, yang menyatukan kami dan membuat kami saling bersanding dengan satu sama lain. Ini adalah hubungan yang intens, seperti keluarga. Ini adalah hal yang paling saya nikmati dalam pekerjaan kami.
Apa manfaat dari bekerja sebagai kolektif dibanding merancang busana sendiri-sendiri?
Christa: Mereka membuat hal-hal selalu real! Sangat mudah untuk hanyut di duniamu sendiri ketika kamu adalah orang yang kreatif dan bekerja sendiri. Dewi, Anouk, dan Gino adalah sumber refleksi kritis, dukungan, dan inspirasi yang konstan. Kami berbagi banyak dan semuanya tegas dan baik satu sama lain, yang membawa kami berjalan lebih jauh.
Gino: Kami jujur dan memiliki pendapat yang kuat saat memberi feedback, dan ini sangat membantu selama proses pembuatan koleksi. Selain koleksi pribadi kami, kami bekerja pada proyek-proyek kolektif, seperti proyek seni dan kuratorial.
Dewi: Karena kami bekerja di ruang yang sama, tidak mungkin tidak terpengaruh satu sama lain. Kami percaya ini sebenarnya menguntungkan kami. Bagusnya, kami tidak memiliki ego yang besar.
Anouk: Selain itu, tugas yang bisa kami ambil, bisa empat kali lebih besar atau empat kali lebih banyak.
Dewi: Empat kali lipat juga keseruannya.
Nah, sekarang bisakah kalian ceritakan proyek ekstrem di Fashion Clash Festival? Kenapa kalian merasa perlu bikin baju dengan bahan kue?
Fashion Clash telah menjadi tuan rumah festival fashion yang luar biasa setiap tahun di Maastricht. Acara ini diniatkan menjadi pameran lintas disiplin bagi para desainer muda yang bermunculan yang memiliki pendekatan tanpa kompromi. Ketika mereka meminta kami mengembangkan kampanye perayaan 10 tahun mereka, kami yakin momen tersebut perlu menjadi pernyataan dan perayaan pada waktu yang bersamaan. Mengikuti tema untuk edisi ini, “Fashion My Religion”, kami membuat kue dari pakaian favorit pendiri Fashion Clash Nawie Kuiper, Branko Popovic, dan Laurens Hamacher, serta dari kami sendiri.
Dengan proyek ini kami ingin merayakan berbagai pakaian favorit, alih-alih selalu membuat yang baru. Bagi kami—seperti agama, olahraga, atau seni—mode adalah cara memberi makna, konteks sosial, sesuatu yang dinantikan, penciptaan, dan identitas. Sayangnya, nilai yang orang sematkan pada pakaian menjadi sasaran inflasi karena semakin banyak yang tersedia untuk konsumen yang lebih sedikit.
Makanya kami menciptakan konsep baru yang bisa mengubah tren fashion, yaitu dengan membuat kue berbentuk pakaian. Kami menemukan perbedaan yang menarik dengan citra fashion yang elitis dari menjalankannya seperti hobi, komitmen pribadi dan citra membuat kue dalam konteks fashion.
Sebelumnya kalian sering bikin kue juga selain merancang baju?
Christa: Baru kali ini sih. Dewi bisa buat apple pie yang enak banget. Gino juga biasa buat kue.
Kalian bikin kue berbentuk sneakers kuning, blus berkerah bordir, dan rompi. Apa alasannya kalian menghasilkan motif dan rancangan seperti itu?
Anouk: Inspirasinya adalah sneakers favoritku karena warnanya kuning banget dan mengkilap pula. Saya membelinya di sebuah toko unik sewaktu masih tinggal di Berlin. Setiap jenis pakaian yang kami tiru punya kesan tersendiri bagi yang membuat.
Kami lihat kalian sedang mengadakan pameran di Museum Zeeuws di Middelburg. Bisa ceritakan juga tentang pameran itu?
Gino: Kami sangat mengagumi Museum Zeeuws sejak pertama kali berkunjung beberapa tahun lalu. Mereka sering berkolaborasi dengan seniman dan desainer kontemporer untuk memperkaya budaya warisan dan modern. Mereka memperlakukan tradisi lama sebagai sesuatu yang relevan dan terus berkembang. Itu yang membuat kami tertarik.
Dewi: Gino besar di sana, dan busana ciptaan Christa sudah terinspirasi dari budaya Belanda sejak dia membuat busana kelulusan. Kami memang sudah lama ingin melihat-lihat apa yang ada di gudang penyimpanan mereka.
Anouk: Kami langsung pergi ke gudang penyimpanan saat menyelenggarakan pameran di museum. Isinya absurd banget! Koleksinya sangat beragam, bahkan ada yang tidak berkaitan dengan budaya Zeeland. Ada taring mamut, peluru meriam besi yang besar, dan perhiasan. Kami takjub dengan keanehan itu. Jauh banget dari konteksnya. Sempat mengira ada maksud tersendiri dari barang-barang itu, tapi terus kami sadar kalau preferensi kami sangat terbatas. Ini jadi alasan kenapa kami mengadakan pameran ini.
Christa: Kami bertanya pada pengunjung Museum Zeeuws apa yang mereka pikirkan tentang koleksi di sana. Kami merekam penjelasan mereka. Kumpulan rekaman audio ini menjadi dasar dari serangkaian 60 koleksi baru yang kami pamerkan di museum.
Gino: Kami harap ini bisa menjembatani budaya masa lalu dan masa depan, apa yang kita ketahui dan bayangkan, dan pandangan kita terhadap diri sendiri dan orang lain.
Apa dan siapa saja yang menginspirasi karya-karya kalian?
Christa: Banyak hal, mulai dari seni modern, barang yang sering kita lihat, dan ritual sehari-hari. Kami juga selalu memandang fashion sebagai fenomena.
Anouk: Kalau saya tertarik dengan peran fashion yang bisa menciptakan ilusi sebuah tatanan dan hierarki. Kita menggunakan fashion untuk mengekspresikan budaya. Orang selalu mendefinisikan diri lewat pakaian yang mereka pakai. Yang tidak tahu apa-apa tentang fashion pun pasti memiliki anggapan serupa. Ekspresi ini selalu berkaitan dengan ingatan kolektif terhadap budaya. Penuh dengan konotasi dan isyarat tentang latar belakang budaya, gender, agama, pekerjaan atau nuansa subkultur. Fashion membentuk struktur sosial. Selalu ada aturan tersirat dan tersurat. Kapitalisme bisa tumbuh karena pandangan ini. Mereka akan menjual sesuatu yang bisa memenuhi struktur sosial seseorang. Tapi, struktur ini hanya ada karena kita menganggapnya ada.
Kamu bilang karyamu terinspirasi oleh ritual harian. Ritual macam apa yang bisa membangkitkan kreativitasmu?
Anouk: Saya biasanya dapat ide kalau lagi bersepeda.
Kebanyakan koleksi kalian condong ke busana konseptual. Penting tidak menurut kalian menciptakan pakaian yang bisa dikenakan sehari-hari?
Christa: Tidak begitu penting. Setiap desainer bebas mengekspresikan idenya meskipun nantinya pakaian mereka tidak bisa dipakai sehari-hari.
Anouk: Ini bahasan yang sudah terlanjur klise di dunia fashion. Karya kami tidak bisa dibatasi oleh paham pragmatis macam itu. Toh sebagian besar koleksi adibusana alias haute couture tidak bisa dipakai sehari-hari, karena memang tidak diciptakan untuk dipakai orang biasa. Jadi apa salahnya kalau kami ingin menciptakan sesuatu yang tidak nyata?
Apa ada unsur politik dalam karya kalian?
Dewi: Karya kami tidak pernah sengaja dibuat karena politik, tapi kami harus bersikap kritis terhadap apa yang terjadi saat ini di dunia fashion dan desain, serta budaya konsumen yang memperkuat.
Apa yang sedang kalian buat sekarang? Ada rencana menelurkan karya baru dalam waktu dekat?
Christa: Saya dan Gino akan pergi ke Salone del Mobile di Milan untuk memamerkan koleksi Quirky Cruise kami, dan bergabung di masterclass Crafts Council NL. Kalau Dewi dan Anouk sedang menggelar pameran di ARTIS di Amsterdam, salah satu kebun binatang tertua di Eropa. Mereka menggelar pameran di bekas kandang beruang. Proyek mereka bernama “A residence that might remind you of that unique hotel in Magdeburg or that colourful gym where you used to train for tampon hockey.” [Kediaman yang mengingatkanmu akan hotel unik di Magdeburg atau tempat gym bercat warna-warni yang biasa kamu datangi untuk berlatih tampon hockey] Kamu bisa bayangkan sendiri seperti apa pamerannya.