Perusahaan digital skala internasional perlu bersiap menghadapi tantangan baru: geliat birokrasi di Indonesia. Pada Minggu (17/7) pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengegaskan bahwa apabila para perusahaan yang masuk kategori Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) tidak juga mendaftar paling lambat 20 Juli 2022, maka Kominfo siap melancarkan tiga jurus andalannya: teguran, sanksi, dan blokir.
Peringatan ini didasarkan pada Peraturan Menkominfo No. 10/2021 tentang Perubahan atas Permenkominfo no. 5/2020 tentang PSE.
Videos by VICE
“Saya ingin menekankan apabila terjadi atau adanya kealpaan yang melakukan pendaftaran tentu PSE tersebut menjadi tidak terdaftar. Kalau dia tidak terdaftar dan masih melakukan operasi, sama dengan operasi secara tidak legal,” ujar Menkominfo Johnny G. Plate. PSE adalah semua perusahaan berbasis internet yang beroperasi di Indonesia. Simpelnya, semua hal yang kamu akses secara daring itu punya kewajiban daftarin institusinya ke negara, lewat situs resmi Kominfo.
PSE terbagi dua, PSE publik dan privat. PSE publik adalah platform digital milik pemerintah yang memberikan layanan publik (misalnya, situs-situs pemerintah yang desainnya tidak ramah pengguna serta rentan bocor datanya). Sementara, PSE privat adalah platform yang dikelola swasta. Ada media sosial macam Instagram, Twitter, dan TikTok. Ada tempat streaming video seperti YouTube dan Netflix. Adapula marketplace seperti Tokopedia dan Shopee. Game macam Mobile Legends juga termasuk.
Saat ini, Kominfo mengklaim sudah ada lebih dari 4.500 PSE yang telah mendaftar sebagai PESE, baik lokal atau internasional. Di antaranya adalah GoJek, Traveloka, TikTok, Spotify, MiChat, Telegram, hingga LinkTree. Sampai artikel ini dilansir pada 18 Juli 2022, beberapa nama besar yang belum terdaftar adalah Google, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan PUBG Mobile. Kabar terbaru, Google dan PUBG Mobile sudah mengonfirmasi akan ada upaya pendaftaran yang akan dilakukan pihaknya. WhatsApp, dan saudaranya di Meta seperti Facebook dan Instagram, belum ada kabar.
Situasi ini jelas bikin penasaran banget. Apakah perusahaan-perusahaan teknologi tersebut akhirnya akan mendaftar? Apakah 21 Juli 2022 akan menjadi Hari Tanpa Internet Nasional? Atau justru jadi Hari Download VPN Nasional? Sulit menebak yang akan terjadi mengingat posisi tawar Kominfo relatif lemah. Soal ini kami akan jelaskan nanti.
Selain tiga nama yang sudah disebut tadi, masih banyak layanan populer lain yang belum terdaftar (kamu bisa mengecek secara mandiri di sini. Tautan ini untuk PSE asing, lalu tautan ini untuk PSE domestik). Di Indonesia, nama-nama ini bahkan bisa disebut sebagai internet itu sendiri. Mulai dari penunjang kerja dan belajar seperti Zoom, LinkedIn, dan Slack; kanal hiburan/komunikasi/berantem kayak Twitter, semua rombongan Meta, Tinder, dan Netflix; dan berbagai aplikasi milik pemerintah dan BUMN seperti PeduliLindungi, Mobile JKN, KBBI, dan MyPertamina.
Untuk layanan belanja dan transfer duit seperti Mobile BCA, Tokopedia, Shopee, Grab, dan Gojek, mereka aman dari radar blokir karena sudah terdaftar. Kabar terbaru, Google dan PUBG Mobile sudah mengonfirmasi akan ada berupaya mendaftar. Sedangkan WhatsApp dan saudaranya di Meta, Facebook dan Instagram, belum memberi tanggapan publik.
Ancaman pemblokiran banyak platform populer ini segera memicu respons negatif dari publik. Kalau WhatsApp misalnya, beneran tak lagi dapat digunakan, kebijakan ini ujungnya cuma bakal menyusahkan kinerja dari lembaga-lembaga, termasuk kementerian sendiri, yang ASN-nya banyak berkoordinasi via WhatsApp Group untuk kerja sehari-hari. Sementara bila YouTube, Twitter, dan Instagram beneran diblokir, hilang sudah wadah bapak-ibu pejabat untuk menunjukkan citranya yang dekat dengan rakyat kepada khalayak ramai.
Meski begitu, Kominfo berusaha meredakan keresahan publik dengan memberi catatan bahwa blokir tidak serta merta dijalankan setelah 20 Juli 2022. Langkah yang pertama kali akan dilakukan kementerian adalah berkoordinasi dengan instansi yang sesuai sektornya. Contoh: aplikasi game mobile/online masuk ranah Kemenparekraf. Sementara fintech masuk pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
“Setelah pengecekan dan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, maka kami kemudian akan mengomunikasikan dengan PSE tersebut untuk bisa memberikan penjelasan ‘mengapa kok belum mendaftar?’” ujar juru bicara Kominfo Dedy Permadi saat dikonfirmasi Kompas.com.
“Kami optimis bahwa PSE-PSE yang besar yang tadi ditanyakan [seperti Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Netflix] akan taat kepada peraturan ini dan sedang melakukan proses pendaftaran,” imbuh Dedy.
Kominfo boleh saja mengancam. Masalahnya operasional negara Indonesia lah yang terancam mandek jika trio Google, Meta, dan Microsoft tak bisa lagi diakses. Sebab secara ironis layanan raksasa-raksasa tersebut masih jadi tumpuan instansi pemerintah dan BUMN. Persuratan di internal Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, hingga Bank BNI misalnya, menggunakan layanan Microsoft Outlook.
Aplikasi WhatsApp bahkan tak tergantikan sebagai alat komunikasi. Narasumber kami di Kementerian Perhubungan dan dua kampus negeri mengaku, koordinasi pekerjaan mengandalkan WhatsApp dan Google Mail (plus Google Drive). “Sampai hari ini belum pernah denger alternatifnya kayak apa. Kalo ngga bisa kerja, ya alhamdulillah libur,” ujar pegawai Kemlu yang namanya tak mau disebut, polos. Dua dosen kampus negeri di Yogyakarta dan Salatiga mengatakan, migrasi ke layanan lain–Telegram, misalnya–tetap sulit dilakukan karena generasi senior kurang familier.
Terlepas dari alasan-alasan dari Kominfo, menurut pakar ada masalah yang lebih serius di balik kebijakan ini: pendaftaran perusahaan menjadi PSE akan mengancam kebebasan berekspresi dan privasi. Di Pasal 3 ayat 4 Permenkominfo, pemerintah mensyaratkan kewenangan untuk meminta PSE menurunkan konten yang “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”. Pasal 36 bahkan menyebutkan PSE wajib menyerahkan akses data lalu lintas dan data pengguna kepada aparat penegak hukum apabila diminta.
Kritik cukup keras terhadap kebijakan pendaftaran PSE ala Kominfo datang dari pakar keamanan siber Teguh Aprianto. “Kalau kita bicara soal ‘meresahkan masyarakat’ sesuai pasal karet yang mereka buat, gimana kalau netizen beranggapan yang sangat meresahkan itu Kominfo sendiri? Bagaimana mekanisme untuk memfasilitasi keluhan seperti ini? Itu cuma satu contoh buruk dari penerapan pasal karet yang mereka buat. Tidak ada definisi yang jelas, jadi siapapun bisa mendefinisikan [meresahkan masyarakat] sesuai keinginan mereka,” ujar Teguh saat dihubungi VICE.
Soal permintaan akses secara sepihak oleh pemerintah, pendiri Ethical Hacker Indonesia tersebut menyebut pembukaan data enggak bisa sembarangan dilakukan karena harus lewat pengadilan seperti kasus FBI v. Apple. “Kalau dilakukan sesuai Permenkominfo ini, tidak ada jaminan bahwa ini [data pengguna] nantinya tidak akan disalahgunakan. Intinya, Permen [tersebut] menjadikan PSE sebagai alat untuk kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat,” tambah Teguh.
Teguh sendiri tertarik untuk memantau perkembangan pendaftaran PSE ini. Apabila perusahaan memang mendaftar dan memberikan kekuatan kepada negara untuk memoderasi konten di platformnya dan mengakses data pengguna, artinya perusahaan telah melanggar kebijakan privasi yang telah mereka buat sendiri, “Jadi, kita bisa lihat platform tersebut patuh ke perjanjian mereka dengan penggunanya atau tunduk ke aturan yang berlawanan dengan perjanjian mereka. Tapi, kayaknya perusahaan bakalan melawan kebijakan Kominfo ini. Apa gunanya mereka punya tim public policy kalau tunduk dengan aturan aneh seperti ini?” tutup Teguh.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum turut mengkritik aturan-aturan yang begitu merugikan pengguna. “Mungkin banget nih kita bikin konten lucu, kritik pemerintah, terus viral. Bisa aja secara sepihak pemerintah menganggap itu konten yang meresahkan masyarakat, terus minta platform take down,” ujar Nenden saat dihubungi VICE.
Dalam Permenkominfo, disebutkan bahwa PSE mempunyai waktu 24 jam untuk melakukan penurunan konten sejak diminta pemerintah. Singkatnya waktu ini juga menjadi masalah tersendiri. “Padahal, di platform digital sendiri untuk proses moderasi konten enggak bisa cepet, apalagi konten di wilayah abu-abu, apakah ini ujaran kebencian atau opini kebebasan berekspresi,” kata Nenden.
Kekhawatirannya, platform akan memberlakukan moderasi dan kurasi konten terlebih dahulu daripada kena sanksi. “Yaudah daripada didenda mendingan [konten] yang agak abu-abu menjurus meresahkan akan di-takedown duluan.”