Tech

Twitter Berantakan di era Elon Musk, Platform Medsos Alternatif Bakal Populer

Kondisi Twitter kacau setelah dibeli Elon Musk banyak pengguna berniat hijrah ke Mastodon medsos pesaing

Nasib Twitter sudah tidak bisa terselamatkan sejak Elon Musk memegang tampuk kuasa jejaring sosial ini. Pertama-tama, pengusaha miliarder yang suka berulah di medsos mem-PHK setengah karyawan Twitter tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Dia kemudian mengutarakan rencananya menarik biaya langganan $8 (Rp123 ribu) bagi akun yang telah terverifikasi, dan mendorong akun-akun yang tidak punya centang biru ke bagian terbawah linimasa. Dan rupanya, si bos baru benar-benar serius menagih bayaran kepada para pengguna cuma untuk ngetwit. Tak hanya itu saja, Elon mengancam akan menghapus permanen semua akun yang mengolok-olok dirinya di Twitter.

Videos by VICE

Orang berbondong-bondong hijrah ke platform lain saking muaknya mereka terhadap kebijakan baru Elon. Salah satu di antaranya Mastodon, jejaring sosial berbasis teks yang terdesentralisasi. Para pengguna Mastodon sebetulnya sering komplain aplikasi ini ribet dan tidak sesimpel Twitter. Tapi saya pikir, itulah keunggulannya. Hal tersebut dapat melatih pengguna agar lebih hati-hati saat membuat postingan.

Saya menyaksikan cukup banyak pendatang baru di “Fediverse”, kumpulan server di Mastodon yang saling terhubung dan dikontrol secara independen, sejak saya membuka akun profil di sana. Sementara itu, menurut laporan pendiri dan CEO Mastodon Eugen Rochko, ada 1.028.362 akun yang terdaftar pada 7 November 2022.

Ribuan server baru telah bermunculan sejak pengguna Twitter bermigrasi ke Mastodon pekan lalu. Elon sampai geram melihat berita tentang popularitas aplikasi saingan yang melejit, dan berkeluh kesah di Twitter sebelum ia menghapus semua twitnya yang menyindir Mastodon.

Yang dikatakan para pengguna Mastodon benar adanya. Membuat profil Mastodon tidak segampang mempersiapkan akun di Twitter. Berbeda dari Twitter, yang mana pengguna bisa langsung ngetwit setelah akunnya terbentuk, pengguna Mastodon mesti memilih mau gabung ke server apa. Walau kamu bisa berkomunikasi dengan anggota server lain, kemudahan mengakses platform sepenuhnya bergantung pada server yang telah kamu pilih. Server mastodon.lol, misalnya, tidak bisa diakses sama sekali hari Senin kemarin karena harus di-upgrade setelah kedatangan anggota baru dalam jumlah besar. Saya tidak bisa masuk ke server, dan cuma melihat laman loading saat artikel ini ditulis.

Selanjutnya, tersedia berbagai macam perangkat lunak yang dimaksudkan untuk mempermudah pengalaman kamu menggunakan Fediverse, terutama kalau kamu masih akan bertahan di Twitter. Layanan seperti Twitodon dan Debirdify dapat membantu pengguna menghubungkan pengikut Twitter ke Mastodon, sehingga kamu tidak perlu repot mencari mereka satu-satu. Kamu juga bisa membuat twit secara otomatis terkirim ke Mastodon sebagai “toot”, sebutan untuk postingan Mastodon.

Salah satu hal yang membedakan Mastodon dengan Twitter adalah batasan karakter suatu postingan. Pengguna bisa menulis toot lebih panjang daripada saat ngetwit. Karena itulah Mastodon digadang-gadang bagus untuk mendiskusikan topik yang lebih serius dan mendalam, jadi bukan sebatas nge-shitpost belaka. Sistemnya yang terdesentralisasi juga memungkinkan pengguna bertemu orang-orang yang memiliki minat dan latar belakang serupa. Keunggulan lain dari Mastodon yaitu tidak ada sensor.

Kita belum bisa memastikan popularitas Mastodon akan bertahan lama, atau hanya sekadar ketertarikan sementara. Tapi yang pasti, Mastodon dan jejaring sosial kecil lainnya bisa dijadikan alternatif yang lebih mending daripada Twitter. Selama satu dekade terakhir, platform media sosial populer telah dirancang sedemikian rupa untuk mengumpulkan data perilaku pengguna, yang akan dimanfaatkan guna mendorong iklan sesuai riwayat pencarian dan hal-hal yang pengguna lakukan di internet.

Fitur-fiturnya yang simpel bikin pengguna ketagihan mengecek medsos sepanjang waktu, dan sensasi menyenangkan yang diperoleh dari jumlah like dan semacamnya tak jarang membuat mereka posting seenak udel supaya viral. Kita pun terlena, sehingga akhirnya tidak memikirkan bagaimana jadinya jika media sosial dirancang tanpa mementingkan semua hal itu.

Kita sudah bisa merasakan sendiri betapa risi ketika postingan viral  secara tak terduga, dan kemudian menjadi bahan perdebatan karena segelintir orang mengelirukan konteksnya. Kita semua juga paham betapa muak menyaksikan orang berkata sembarangan, tanpa memikirkan orang lain, di postingan mereka. Melihat kondisi Twitter yang semakin carut-marut, bukankah sudah saatnya kita mempertimbangkan kalau sebenarnya, mode komunikasi instan yang direkayasa secara algoritme tidak berkelanjutan sama sekali?

Alih-alih menirukan tampilan aplikasi yang sudah ada, bukankah lebih keren jika kita punya ruang digital yang memprioritaskan komunitas, privasi dan rasa saling peduli? Akankah kualitas informasinya menjadi lebih bagus jika kita mengerahkan lebih banyak upaya dan pikiran untuk mempostingnya? Bukankah menyenangkan jika komunitas di dalamnya bisa menciptakan ruang mereka masing-masing, dan bukan ruang yang telah ditentukan oleh para pengiklan?

Mastodon mungkin bukan platform yang sempurna dan mampu mewujudkan semua itu, tapi setidaknya jejaring sosial itu selangkah lebih maju daripada Twitter. Menyesuaikan harapan tidak mudah, dan kita kerap membandingkan satu hal dengan hal lain karena kita sudah keburu nyaman padanya. Akan tetapi, selama kita masih membutuhkan internet sebagai sarana komunikasi, kita tidak ada pilihan selain beradaptasi.