“Kalau menurut versi pemerintah itu hoaks, ya itu hoaks! Kenapa membantah lagi?” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate yang emosional, saat diwawancarai Najwa Shihab dalam program Mata Najwa, Rabu (14/10) malam.
Kalimat terburuk yang bisa diucapkan kala berdebat itu diucapkan menggebu-gebu oleh pejabat yang idealnya menjadi teladan humas negara. Pernyataan itu secara tidak langsung turut menggambarkan pola pikir pemerintahan Presiden Joko Widodo sepanjang periode dua. Pemerintah selalu benar, yang lain Impostor.
Videos by VICE
Johnny emosi setelah beberapa pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja dijelaskan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Ahli Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin, dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Remy Hastian.
Saat ditantang mendebatkan substansi UU oleh Asfinawati, Johnny menghindari pembahasan detail, lalu meminta perdebatan per pasal dibicarakan dengan kementerian yang menaungi “sektor masing-masing”.
Pernyataan Johnny segera jadi perbincangan dan dikritik netizen. Johnny menolak membahas analisis yang diajukan Asfinawati bahwa memang ada perubahan di draf UU Cipta Kerja setelah disahkan, tapi memaksakan argumennya.
Padahal, Kominfo punya catatan pernah salah mendeteksi hoaks. Itu terjadi Agustus tahun lalu, ketika Kominfo bikin hoaks dengan menyebut cuitan Veronica Koman sebagai hoaks. Parahnya, meski Kominfo sudah mengakui mereka keliru, pernyataan mereka masih belum dihapus hingga hari ini.
Menanggapi pernyataan Menkominfo, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudi melancarkan kritik. “Kalau pernyataan Menkominfo itu menggeneralisir semua hal, maka ini sudah masuk pada era di mana kebenaran hanya milik pemerintah. Dan itu bukanlah ciri-ciri negara demokrasi,” ujar Ade kepada Tempo. Padahal, Ade menilai, pemerintah dan DPR adalah sumber disinformasi UU Cipta Kerja itu sendiri karena sejak awal tidak bersikap transparan.
Lebih lanjut, Asfinawati menilai pernyataan Johnny sebagai contoh abuse of power yang saat ini sering dilakukan pemerintah pusat. “Kalau yang buat kebijakan tidak mau bicara detail UU, maka dasar pembuatan kebijakan dari mana? Ini abuse of power,” sebut Asfinawati, kepada Tempo.
Saat berbicara di Mata Najwa, Asfinawati tegas menyebut pemerintah sebagai sumber disinformasi itu sendiri karena beberapa hal. Pertama, tidak berani membahas detail. Kedua, dalam argumen terdapat kata “pokoknya”. Ketiga, melakukan pengancaman. Keempat, tidak mau mengangkat hal lain yang memberatkan argumennya secara sengaja.
Dosen Ilmu Komunikasi UGM Wisnu Prasetya Utomo mengatakan, pernyataan Menkominfo adalah pernyataan yang berbahaya sebab membuat upaya melawan hoaks jadi sia-sia.
“Pemerintah mestinya sadar bahwa di era digital, kanal-kanal informasi terbuka lebar. Publik bisa punya akses alternatif di luar sumber otoritas untuk menguji kebenaran sebuah informasi. Menggunakan cara pikir ala Orde Baru yang ingin memonopoli kebenaran informasi, seperti memberikan stempel mana yang hoaks atau bukan, adalah tidak demokratis, berbahaya dalam upaya kita melawan hoaks dan misinformasi yang semakin masif di media sosial,” ujar Wisnu kepada VICE.
Sejak demonstrasi dan mogok nasional 6-8 Oktober 2020, pemerintah masih terus memburu orang-orang yang berseberangan pendapat di media sosial untuk melabeli mereka sebagai penyebar berita bohong. Pada 8 Oktober, pemilik akun Twitter @videlyae diterbangkan dari Makassar ke Jakarta untuk diperiksa di Bareskrim Polri.
Sepekan terakhir, delapan tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) satu per satu ditangkap atas tuduhan memprovokasi demonstrasi sipil menentang UU Cipta Kerja. Lalu yang terkini tapi bukan terakhir, Polres Metro Tangerang Kota sampai perlu mengancam pelajar yang ikut demo akan susah cari kerja.
Oh ya buat kalian yang masih suka berpikir seksis, bahwa perempuan cenderung enggak logis saat berdebat, kami rekomendasikan menonton adu mulut Asfinawati dan Johnny G. Plate di tautan atas.