Korut Mengklaim Sukses Lakukan Uji Coba Roket Balistik

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar pertemuan darurat awal pekan ini setelah Korea Utara meluncurkan roket balistik. Pyongyang mengklaim misil tersebut bisa mengangkut hulu ledak nuklir. Jepang dan Korea Selatan segera mengecam uji coba itu karena mengancam stabilitas keamanan kawasan. Kedua negara maju di Asia Timur ini juga menuntut PBB bertindak cekap. Tidak seperti tradisi pemimpin Amerika Serikat selama ini, Donald Trump sampai sekarang belum menyampaikan kecaman terhadap tindakan Korut.

Videos by VICE

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Minggu (12/2), pukul 7:55 pagi waktu setempat militer Korea Utara menembakkan peluru kendali Pukguksong-2 di kota Banghyon, barat laut negara tertutup itu. Rudal ini menurut pengamat termasuk roket yang bisa menjangkau jarak menengah, yaitu diperkirakan mencapai 498 kilometer, sebelum jatuh di Perairan Jepang.

Berdasarkan kantor berita milik pemerintah Korut, uji coba ini disaksikan langsung oleh sang pemimpin Kim Jong-un. Dilaporkan juga bila Pukguksong-2 dapat mengangkut hulu ledak nuklir serta diklaim “dapat menghindari upaya penghadangan misil anti serangan udara.”

Kim Jong-un, seperti dikutip oleh kantor berita tersebut, “merasa puas sekali dengan kemampuan alutsistanya yang kini selangkah lebih dekat pada status negara berkemampuan nuklir, dan hasilnya memperkuat kedaulatan Korea Utara.”

Misil jarak menengah bisa menempuh jarak 5.362 kilometer, artinya bisa melintasi beberapa negara sekaligus. Berdasarkan pengamatan para ilmuwan yang sejak lama memantau sepak terjang Korut, roket yang diuji coba akhir pekan lalu hanya mampu menjangkau jarak 1.250 kilometer. Tetap saja, artinya Korut bisa menyerang Jepang kapanpun mereka mau.

Bulan lalu Pyongyang memamerkan persiapan mereka menguji coba misil lintas benua (ICBM). Korut juga menunjukkan perkembangan baru, karena tidak lagi menggunakan bahan bakar cair untuk meluncurkan roketnya. Artinya, militer Kim Jong-un sekarang mampu menembakkan roket dalam waktu singkat dan semakin susah untuk dipantau negara lain. Uji coba hari minggu lalu adalah pertama kalinya dilakukan Korut sejak Trump terpilih menjadi presiden AS. Waktu uji coba itu bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ke Gedung Putih.

This was the first missile fired by North Korea since Trump became president, and was timed to coincide with Japanese Prime Minister Shinzo Abe’s visit to the US.

Seperti Apa Reaksi Pemimpin Dunia?

Abe dan Trump mendapat laporan dari bawahan masing-masing mengenai uji coba roket tersebut saat bersiap menghadiri acara jamuan makan malam di Club Mar-a-Lago, Florida. Dilaporkan bila keduanya segera memperoleh detail uji coba serta dokumen-dokumen pendukung mengenai ancaman dari roket Korut tersebut.

Abe dan Trump segera menggelar konferensi pers bersama. Abe dalam kesempatan itu segera mengutuk tindakan Pyongyang. “Uji coba misil Korut tidak bisa ditolerir. Korea Utara harus menaati semua resolusi Dewan Keamanan PBB,” kata Abe.

Trump setelahnya berada di podium, lalu mengucapkan 23 kata, tapi sama sekali tidak mengecam atau menyebut-nyebut uji coba roket Korea Utara. “Saya ingin semua orang memahami bahwa pemerintah AS selalu mendukung Jepang, sekutu utama kami, 100 persen.”

Trump sebetulnyasudah mendapat memo berisi panduan kata-kata untuk pidato tersebut. Namun fotografer Gedung Putih yang berada di lokasi melihat dia mengabaikan catatan tersebut. Dari naskah yang seharusnya dia baca itu, ada kata-kata keras seperti “melindungi sekutu di Asia” dari tindakan Korea Utara “yang provokatif.”

Tindakan Trump yang tidak langsung mengecam Korut mengejutkan semua pihak. Apalagi Trump pernah berkomentar di Twitter yang nadanya keras pada klaim-klaim Korut.

Cina, sebagai negara patron pelindung Pyongyang, turut mengecam uji coba roket.  Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang menuding Korut nekat terus melanggar sanksi PBB karena tekanan AS dan Korea Selatan. “Semua akar uji coba ini karena provokasi yang dilakukan oleh AS dan Korea Selatan. Semua pihak sebaiknya tidak melakukan provokasi jika ingin menghindari adanya eskalasi konflik di Semenanjung Korea.”

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Dewan Keamanan PBB menyatakan utusan Korut akan diajak bertemu sesegera mungkin. Tidak jelas apa agenda pembicaraan tersebut, mengingat wakil Korut di PBB seringkali mengabaikan kecaman dan rapat-rapat dewan keamanan. Korut juga secara sadar mengabaikan tekanan internasional dengan melakukan setidaknya belasan kali uji coba roket walaupun PBB sudah sepakat menjatuhkan sanksi ekonomi sejak tahun lalu. 

Semasa Barack Obama masih menjadi presiden, AS bersikap keras terhadap Korut setiap kali terjadi uji coba nuklir dan roket. AS mendorong banyak negara memperketat sanksi ekonomi, memblokade pelabuhan, membekukan rekening pejabat Korut. Semua sanksi itu membuat Korut semakin terkucil dari negara-negara lainnya. Namun kini Trump masih saja belum berkomentar. Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson saat ini masih sibuk dengan urusan di internal departemennya, karena belum memiliki wakil. Belakangan dilaporkan banyak sekali diplomat maupun pegawai Kementerian Luar Negeri AS mundur setelah Tillerson ditunjuk menjadi atasan mereka.

“Kami terus memantau seperti apa kebijakan dan cara [Trump] menghadapi Korea Utara,” kata Evan Medeiros, Wakil Direktur Eurasia Grup sekaligus mantan penasehat Obama saat diwawancarai the New York Times. “Sejauh ini tak ada opsi yang positif untuk menangani persoalan Korut. Setiap detik, setiap hari, ancaman dari Korut semakin membesar. Persoalan nuklir ini adalah ancaman bagi semua pemimpin di Asia, bahkan dunia.”