Devio Bastian Tekege melaju di atas motornya pagi itu. Dibawanya buku-buku ilmu matematika. Hari itu ada dua mata kuliah yang harus Devio kejar dari tempat tinggalnya di Asrama Mahasiswa Katolik Tauboria. Tapi ada dia berbeda dari kebanyakan mahasiswa terlambat masuk. Devio tak berangkat ke kampus mengenakan kaos, kemeja, dan celana jins seperti biasanya. Dia datang mengenakan koteka, simbol pakaian asli Papua.
Tindakannya menarik perhatian banyak orang. Bahkan aksi Devio dianggap kurang lazim untuk ukuran Papua. Beberapa dosen Devio sempat meminta berfoto bersama, yang kemudian dia tolak.
Videos by VICE
“Bapa minta maaf saya ke kampus bukan fashion show, jadi bapa minta maaf,” kata Tekege kepada dosennya seperti dikutip suarapapua.com. Bagi Devio, koteka merupakan wujud kebebasan. Kepada suarapapua.com, Devio mengatakan rasa gembira karena dia merasa merdeka saat belajar sambil mengenakan koteka.
“Ini rencana untuk melestarikan budaya orang Papua. Jadi, Koteka itu bisa dipakai kapan saja atau di mana saja. Bukan saat acara-acara tertentu, tempat-tempat tertentu atau pada saat ada kegiatan,” ujar Devio.
Koteka merupakan pakaian tradisional sebagai pembungkus kelamin lelaki yang terbuat dari kulit labu air. Koteka lazim dikenakan oleh masyarakat Pegunungan Tengah Papua, diantaranya suku Dani, Yali, Lani, Amungme, Moni, dan Mek. Pakaian khas ini terancam punah lantaran semakin jarang orang yang mengenakannya. Anak muda jarang sekali mau mengenakan koteka di ruang publik, lebih-lebih saat menghadiri acara formal.
Koteka alhasil hanya bisa disaksikan dalam acara adat atau dijualbelikan sebagai cenderamata. Mustahil kita bisa menyaksikan koteka dikenakan lelaki yang sedang belanja di pasar atau naik kendaraan umum. Pemakaian untuk aktivitas sehari-hari pun biasanya cuma dilakukan orang tua. Bahkan, Suku Yali terancam tak punya penerus yang masih bersedia mengenakan koteka.
Musababnya adalah stigma koteka sebagai simbol masyarakat terbelakang. Hal ini erat kontribusinya dengan stigma rasial yang disebar banyak etnis lain saat berbaur dengan orang asli papua.
Devio berikrar terus memakai koteka ke kampus kapanpun dia mau. Sejak Devio berinisiatif mengenakan koteka di kampus, banyak mahasiswa Papua terinspirasi dan ingin melakukan hal yang sama.
Mahasiswa Papua lainnya, Albertus dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, mengikuti jejak Devio. Dalam laporan Tabloid Jubi, Albertus berargumentasi saat dirinya ditegur dosen karena mengenakan koteka.
“Ini merupakan contoh untuk mengajak teman-teman, mari kita pake pakaian adat sama-sama bukan hanya dari pegunungan saja, tetapi semua mahasiswa Papua, harus tampil dengan busana adat,” kata Albertus. “Kalau saya pakai busana adat trus kalau teman-teman pake pakaian batik itu apa bedanya?”
Hal yang dilakukan para mahasiswa ini mendapat dukungan anggota legislatif Papua, John Gobay. Dia mengapresiasi tindakan mahasiswa tersebut dan menyebut hal tersebut bukanlah tindakan memalukan. “Bagi saya ini bentuk pengungkapan jati diri,” kata John Gobay kepada suarapapua.com.
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, pernah diwawancarai Kompas.com tentang makin susutnya jumlah pengguna koteka 10 tahun belakangan. Dia bilang ada banyak faktor yang membuat pemakaian koteka terancam punah. Salah satunya adalah yakni adanya rasa ‘malu’ di kalangan orang asli Papua mengenakan pakaian adat tersebu.
Oleh karena itu, Hari mengusulkan agar pemakaian koteka bisa masuk kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah kawasan Pegunungan Tengah Papua. Untuk mendukung ini. “Dengan mengajarkannya pada generasi muda, diharapkan agar budaya koteka tidak hilang karena jumlah pemakai koteka di Papua semakin menurun,” ujarnya seperti dikutip Kompas.com.
Hari berharap, koteka tetap dipertahankan sebagai simbol identitas diri mayarakat Pegunungan Tengah di Papua. “Koteka ini adalah bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari masyarakat lokal Papua.”