Temuan lembaga swadaya Indonesia Corruption Watch (ICW) pekan lalu menyita perhatian, karena menampilkan besarnya dana yang digelontorkan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memakai jasa influencer media sosial. ICW mendapatkan data yang terkait langsung biaya menyewa jasa influencer sepanjang 2014 hingga 2018 mencapai Rp90,45 miliar yang bersumber dari kas negara.
Nilainya bisa makin besar karena belum termasuk penganggaran untuk 2017-2020 untuk pos promosi serupa di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), mencakup 40 paket dengan pihak ketiga alias vendor. Ada beberapa nama pesohor medsos yang muncul dalam rilis resmi ICW, di antaranya Gritte Agatha, Ali Syakieb, hingga Ayushita WN.
Videos by VICE
Merespons temuan ICW, Komisi Pemberatansan Korupsi mengaku siap mendalami dan mencermati proses pengadaan proyek sewa influencer yang dilakukan pemerintah. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyatakan ada tim di lembaganya yang siap melakukan kajian. Namun, kajian tersebut bisa saja berubah menjadi penyelidikan hukum yang lebih serius, bila muncul indikasi pelanggaran pidana.
“Sebagai lembaga antikorupsi, tentu saja hukumnya menjadi wajib bagi KPK untuk memperhatikan isu-isu pemberantasan korupsi yang menjadi pembicaraan masyarakat, termasuk soal isu kucuran dana untuk influencer ini,” kata Nawawi, seperti dikutip Kompas.com, Senin (24/8). “Tugas monitoring KPK yaitu melakukan kajian, tapi bisa juga dalam bentuk penyelidikan.”
Dalam keterangan terpisah yang diperoleh Tempo.co, Nawawi menyatakan hasil kajian KPK itu nantinya tidak harus selalu diumumkan kepada publik.
Para influencer ini disewa untuk mengampanyekan berbagai kebijakan pemerintah, mencakup 34 kementerian, lima lembaga negara, dan dua institusi hukum, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi yang paling banyak menganggarkan paket promosi melibatkan influencer, menurut ICW mencapai Rp77,6 miliar.
“Anggaran belanja bagi mereka [influencer] semakin marak setelah 2017, mulai ada sejak itu. Hingga akhirnya meningkat di tahun-tahun berikutnya,” ujar peneliti ICW Egi Primayogha pada jumpa pers online pekan lalu, dikutip Pikiran Rakyat.
ICW menuding ada problem komunikasi publik serius yang sedang dihadapi pemerintah, sehingga dana menyewa influencer bisa amat jumbo selama lima tahun terakhir. “Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya, hingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer,” tuding Egi.
Pemerintah berdalih menyewa jasa influencer merupakan program kehumasan biasa, untuk mengkomunikasikan kebijakan secara lebih efektif. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian menilai selama materi yang disampaikan para influencer itu bukan kebohongan, maka ini belanja anggaran yang tidak bermasalah. Di sisi lain, Donny menyatakan nominal yang disebut ICW sudah termasuk kampanye video pembuatan iklan layanan masyarakat, serta praktik kehumasan lain, sehingga angka sewa influencer tidak sebesar dalam laporan.
“[Bila memakai influencer] jangkauannya lebih luas, terutama di kalangan milenial,” kata Donny seperti dikutip Tribunnews, saat merespons temuan ICW. “Misalnya, bansos, orang kan tidak tahu bagaimana melakukan bansos, daftar kemana, prosedurnya seperti apa. Nah itu penting kan untuk disosialisasikan, bukan [pemerintah] tidak percaya dengan kebijakannya.”
Mulyanto, selaku anggota DPR RI di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Komisi VII, mempertanyakan urgensi anggaran sewa influencer yang teramat besar. Lewat keterangan tertulis, dia menyatakan dana Rp90,45 miliar, bila akurat, melebihi beberapa sektor penting seperti penelitian yang butuh dukungan APBN lebih besar.
“Pemerintah terkesan lebih mementingkan citra daripada kesehatan dan keselamatan rakyat. Ketimpangan alokasi anggaran ini sangat tidak wajar dari segi kepentingannya,” kata Mulyanto.
Menurut pakar komunikasi digital, banyak lembaga pemerintah menyewa vendor/kontraktor pihak ketiga buat mengelola medsos resmi, lantaran tidak tersedia SDM yang mumpuni. Banyak ASN tidak cukup cakap membuat kampanye di platform digital, sehingga tak heran bila akhirnya dana menyewa influencer pun jadi besar.
“Meski internet masuk 1999 dan medsos 2007, di struktur pemerintah belum banyak yang memiliki tim medsos, sehingga ada kecenderungan lembaga pemerintah menggunakan pihak ketiga,” kata Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria akhir pekan lalu, dalam diskusi virtual yang digelar SmartFM.
Praktik pemerintah menyewa influencer makin kontroversial, saat terungkap program promosi RUU Cipta Kerja melibatkan puluhan nama besar media sosial. Sebagian pesohor itu lantas meminta maaf terbuka, bahkan mengembalikan honorarium, karena merasa dimanfaatkan untuk kampanye netral, tanpa menyadari proyek yang mereka ambil rupanya diprotes oleh serikat buruh dan banyak elemen sipil lainnya.
Laporan media soal pro-kontra penyewaan influencer untuk kampanye RUU Cipta Kerja itu, seperti dilakukan Tempo, berujung pada serangan deface di halaman utama situs Tempo.co oleh sebuah akun anonim populer di Twitter pekan lalu. “Akun yang sebetulnya mempersoalkan liputan Koran Tempo soal pesohor yang mengkampanyekan RUU Omnibus Law, itu dia yang mengabarkan [terjadi deface],” kata Pemimpin Redaksi Tempo.co, Setri Yasra. Setri menganggap tindakan akun anonim ini sudah masuk upaya pembungkaman kebebasan pers.