Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.
Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi memutuskan tidak hadir dalam agenda pertemuan resmi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digelar dua hari terakhir. Suu Kyi terkesan menghindar dari kritikan dunia internasional atas kegagalan pemerintahannya melindungi etnis minoritas muslim Rohingya yang jadi korban kekerasan sistematis militer tiga pekan terakhir.
Videos by VICE
Keputusan tidak datang ke pertemuan Majelis Umum disampaikan juru bicara Suu Kyi Rabu (13/9) sore waktu setempat. Pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Myanmar (NLD) ini mengaku harus fokus mengurus krisis di Provinsi Rakhine, yang mana akibat rangkaian kekerasan oleh milisi dan tentara, lebih dari 400 ribu warga Rohingya terpaksa kabur ke perbatasan Bangladesh. Pejabat tinggi PBB meyakini pelanggaran HAM dan arus pengungsi itu akan memicu krisis skala regional dalam waktu dekat. Isu ini akan jadi perhatian utama banyak negara-negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia.
“[Suu Kyi] berusaha mengendalikan situasi, sehingga bisa tercipta perdamaian dan stabilitas. Tujuan pemerintah adalah menanggulangi agar krisis ini tidak berkembang menjadi konflik komunal,” kata Zaw Htay, juru bicara kantor kementerian luar negeri. Suu Kyi dihalang-halangi oleh militer Myanmar untuk menjadi perdana menteri. Namun dia menjabat banyak posisi dalam kabinet sekarang, termasuk menteri luar negeri, menteri senior, dan penasehat pemerintah. Artinya, dialah pemimpin de facto Myanmar.
Juru Bicara Pemerintah, Aung Shin, membantah ketidakhadiran Suu Kyi di forum Majelis Umum PBB karena tak mau dikritik utusan negara-negara muslim. “Dia tidak datang semata karena banyak urusan lebih penting di dalam negeri,” kata Shin seperti dikutip kantor berita Reuters. “Selain itu [Suu Kyi] tidak pernah takut pada kritik dan selalu siap menghadapi masalah.”
Suu Kyi, selama 30 tahun terakhir, dikenal sebagai ikon demokrasi, kebebasan, dan penghormatan hak asasi manusia karena berjuang melawan tirani junta militer Myanmar. Akibat pelanggaran HAM yang dialami Rohingya, citra positif Suu Kyi segera jeblok di mata komunitas internasional. Kepala Komisi HAM PBB menegaskan, apa yang dialami oleh warga Rohingya dua pekan lalu sudah layak disebut “contoh upaya pembersihan etnis.”
Suu Kyi, yang menerima Nobel Perdamaian pada 1992, kini didesak untuk mengembalikan penghargaannya. Banyak pihak menyerukan Akademi Swedia agar mencopot anugerah yang diberikan pada Suu Kyi jika krisis Rohingya terus berlarut-larut. Seruan itu misalnya, disampaikan Dalai Lama, Malala Yousafzai, dan Uskup Desmond Tutu.
Kekerasan di Provinsi Rakhine, yang sudah berulang kali tersulut sejak 2012, kembali terulang akhir Agustus lalu. Pemicunya adalah aktivitas Kelompok Pembebasan Rohingya Arakan. Mereka adalah pemberontak kecil yang menyerang beberapa pos polisi. Akibat tindakan segelintir militan itu, militer Myanmar mengirim ratusan batalyon ke Rakhine, menyerang desa-desa penduduk Rohingya secara brutal. Ratusan desa dibakar habis, perempuan Rohingya diperkosa, dan banyak lelaki muslim minoritas itu ditembak mati begitu saja. Serangan sistematis tentara ini disokong milisi sipil ultranasionalis.
Isu Rohingya di dalam negeri Myanmar sering digoreng untuk kepentingan politik. Penduduk negara mayoritas Buddha itu selalu ditakut-takuti beberapa tokoh politik, bahwa pertambahan populasi Rohingya melambangkan invasi kebudayaan Islam yang akan menjajah Myanmar. Orang Rohingya juga dicap sebagai imigran asal Bangladesh, sehingga mereka tak diberi kewarganegaraan. Padahal jumlah orang Rohingya hanya satu juta, tak sampai 1 persen penduduk Myanmar.
Kekerasan terhadap orang Rohingya, yang disokong militer, membuat khawatir banyak pihak. Beberapa kelompok teror sudah menyatakan siap melakukan operasi di Myanmar. “Perbuatan biadap terhadap saudara-saudara muslim kami tidak mungkin kami biarkan saja,” kata juru bicara kelompok teror Al Qaeda. Hanya Cina dan India, dua dari sedikit negara yang masih terbuka mendukung kedaulatan Myanmar melindungi keamanan dalam negeri, dengan cara menyerang perkampungan muslim Rohingya.
Baca juga liputan VICE dari perbatasan Bangladesh-Myanmar:
Suu Kyi berada dalam posisi sulit. Sebagai ikon demokrasi, dia dituntut mengomentari atau menegaskan status warga Rohingya, penduduk yang sejak ratusan tahun lalu sudah mendiami kawasan Rakhine. Rohingya dan etnis mayoritas Myanmar dulunya hidup rukun. Junta militerlah yang berkuasa sejak 1962, membuat status minoritas muslim terlunta-lunta.
Ketika junta mulai bertahap menyerahkan kekuasaan pada 2011 kepada politikus sipil seperti Suu Kyi dkk, isu yang tak mau dilepas militer adalah kebijakan keamanan. Termasuk metode penanganan situasi di Rakhine. Posisi Suu Kyi jadi bertambah rumit karena pendukung partainya, NLD, rata-rata menganggap orang Rohingya tak pantas dibela. Semua ini terjadi, karena gerakan politik nasionalisme bercorak Buddhis adalah pendorong revolusi demokratik di Myanmar sepuluh tahun lalu.
Semua fakta ini diketahui oleh kawan-kawan dekat Suu Kyi, ataupun aktivis HAM internasional. Yang diharapkan sebetulnya tidak banyak. Suu Kyi, yang sudah mengalami sendiri 15 tahun tahanan rumah oleh Rezim Junta Militer, sebaiknya berkomentar mengenai nasib Rohingya, walaupun berlawanan dari aspirasi pendukungnya di dalam negeri. Saat Suu Kyi terus menghindari pandangan tak populer dari warga Myanmar, itulah alasan yang membuat banyak rekan-rekan aktivis kecewa. Begitu pula ketika pada Forum Majelis Umum PBB yang digelar September 2016, Suu Kyi justru membela kebijakan militer negaranya dalam menangani isu Rohingya.
Ketika Suu Kyi ditahan semena-mena oleh rezim, banyak tokoh dunia menyerukan agar pemerintah Myanmar mengubah kebijakan. Kini, tokoh yang dielu-elukan itu ternyata makin mirip perilakunya dengan rezim yang dia lawan dulu.