Drama pemecatan Helmy Yahya dari kursi Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI sudah masuk ke tahap paling serius: jadi meme. Ini karena pernyataan terbaru Ketua Dewan Pengawas (Dewas) TVRI di DPR kemarin (21/1). Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin menyebut, siaran mata acara Discovery Channel di TVRI era Helmy tidak sesuai jati diri bangsa.
“(Liga Inggris) mungkin banyak yang suka. Ada Discovery Channel, kita nonton buaya di Afrika, padahal buaya di Indonesia barangkali akan lebih baik. Kemudian siaran film asing cukup banyak, ada yang bayar, ada yang gratis,” ujarnya, dikutip Liputan6.
Videos by VICE
Tapi alasannya enggak cuma itu, sengketa bahkan sudah bermula sejak awal Desember tahun lalu. VICE menyusun kronologi ini untuk memahami polemik dirut Dewas TVRI versus Helmy Yahya.
4 Desember 2020: Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI mengeluarkan SK No. 3/2019 yang memutuskan untuk menonaktifkan sementara Direktur Utama TVRI Helmy Yahya. Seharusnya, Helmy yang diangkat menjadi dirut pada 2017 baru kelar masa jabatannya tahun 2022. Sebagai penggantinya, diangkat Direktur Teknik TVRI Supriyono diangkat sebagai pelaksana tugas (plt.) harian Dirut TVRI.
5 Desember 2019: Kasus ini terbuka ke media. Helmy merasa ada yang ganjil dari pemecatan ini. Bersama pengacaranya, ia meminta Kemkominfo menjadi mediator untuk menemui DPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) terkait protes atas pemberhentiannya.
Keganjilan ini karena SK tersebut tidak menyebut apa kesalahan Helmy sampai ia dinonaktifkan. Padahal menurut PP 13/2005, ada 4 syarat yang membolehkan seorang direksi TVRI diberhentikan sebelum masa jabatan habis. Mulai dari tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan, terlibat tindakan yang merugikan lembaga, dipidana, atau tidak memenuhi persyaratan menjadi direksi sebagaimana diatur PP 13/2005 pasal 22.
“Saya tetap Dirut TVRI secara sah dan didukung semua direktur. Save TVRI!” kata Helmy, dikutip CNBC Indonesia.
6 Desember 2019: Helmy Yahya, Dewas TVRI, dan Menkominfo Johnny G. Plate berapat untuk merundingkan sengketa ini. Johnny kecewa kenapa Dewas TVRI sudah keburu mengangkat plt. harian Dirut TVRI sementara menurut PP 13/2005 tentang TVRI, direksi yang dipecat sebelum masa jabatan habis punya waktu sebulan untuk tetap menjabat dan melakukan pembelaan diri.
18 Desember 2019: Helmy membuat surat pembelaan dengan lampiran setebal 1.200 halaman yang ditujukan kepada Dewas TVRI. Ia mengklaim pembelaan dirinya didukung seluruh jajaran direksi TVRI.
16 Januari 2020: Helmy baru dapat panggilan lagi untuk menghadap Dewas TVRI. Lima orang anggota dewas lengkap berkumpul dan ngasih tahu Helmy kalau pembelaan dirinya ditolak, yang artinya, Helmy resmi dipecat. Dalam surat pemberhentian, Helmy dinyatakan diberhentikan dengan hormat.
“Kemarin (16/1) saya dipanggil (Dewas), saya datang jam 4. Dewasnya lengkap berlima, dan saya diberikan surat cinta Dewan Pengawas. Ini dia surat cintanya, dan itu lampirannya. (Isinya) pemberitahuan pemberhentian, saya diberhentikan karena pembelaan saya (18 Desember) ditolak,” kata Helmy dalam konferensi pers Jumat pekan lalu (17/1), dikutip Asumsi.
Dalam surat pemberhentian itu, ada lima pertimbangan mengapa Dewas TVRI menolak surat pembelaan diri Helmy. Pertama, Helmy tidak memberi penjelasan soal pembelian program siaran berbiaya besar seperti Liga Inggris.
Kedua, terdapat ketidaksesuaian antara rebranding TVRI dan rencana kerja yang sudah ditetapkan, serta produksi siaran yang tidak mencapai target akibat tidak tersedianya anggaran. Ketiga, mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma dan standar manajemen ASN. Keempat, penunjukan kuis Siapa Berani yang dinilai berpihak dan karena itu, melanggar UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kelima, pembelaan diri yang diajukan Helmy tidak meyakinkan Dewas.
SK pemberhentian langsung disambut karyawan TVRI lewat aksi protes. Dilaporkan, ruangan Dewas disegel dengan lakban merah yang diduga dilakukan oleh sekelompok karyawan pada 17 Januari 2020.
21 Januari 2020: DPR RI memanggil Dewas untuk mendengar pembelaan mereka soal drama PHK ini. Kelima anggota Dewas hadir lengkap, yakni: sang ketua Dewa Arief Hidayat, Made Ayu Dwie Mahenny, Maryuni Kabul Budiono, Pamungkas Trishadiatmoko, dan Supra Wimbarti. Arief memimpin pembelaan kelompoknya terkait keputusan tidak populer ini. Dalam paparannya, Dewas merasa TVRI di bawah Helmy telah kehilangan jati diri karena malah menyiarkan Liga Inggris, Discovery Channel, dan film-film asing.
“Seolah-olah direksi mengejar rating dan share seperti TV swasta. Kita ada APBN harus bayar keluar negeri dalam hal ini BWF, Discovery, dan Liga Inggris. Artinya APBN kita dibelanjakan keluar (untuk acara luar negeri) yang Presiden (sudah) menyatakan (harus) dibatasi, dan ini terjadi. Sempat ketika banjir, kami sedang menayangkan Discovery Channel, ini kami dapat protes dari publik. ‘Kok banjir-banjir, Discovery Channel-nya tayang terus, enggak peduli banjir’. Ini sangat miris, kami sudah tegur, ternyata direksi melanjutkan,” ucap Arief dikutip Liputan6.
Tapi kata Helmy Yahya, acara asing banyak diputar di TVRI justru biar hemat gara-gara anggaran siaran yang mepet.
“Kalau Anda bagi Rp132 miliar (anggaran siaran TVRI setahun) dibagi 365 hari dibagi 22 jam, sebenarnya kami dapat biaya program per episode Rp15 juta. Bayar Soimah pun tidak cukup,” kata dia. “Kami putar otak ini dan dari dulu selalu terjadi re-run karena biaya program itu kurang. Kami sudah fight, terus ditambah sedikit-sedikit sama Menteri Keuangan. Sebelum kami masuk, re-run itu ya 55 persen, setelah kami masuk, 2018 re-run itu berkurang menjadi 49 persen dan 2019 tinggal 45 persen,” ucap Helmy dikutip Kompas.
“Kami juga membeli program-program Discovery. Katanya mahal, tidak tuh! Discovery cuma 800 dolar atau Rp12 juta. Kalau kita bikin sendiri dengan mutu kayak begitu, saya tidak tahu berapa (biaya yang dibutuhkan),” kata dia. Bener juga sih.
Selain itu, Anggota Dewas Pamungkas Trishadiatmoko menyampaikan, Liga Inggris berpotensi menimbulkan utang besar seperti skandal Jiwasraya. Dengan tagihan US$9 juta atau Rp126 miliar untuk 3 musim, ada potensi kerugian mencapai Rp69 miliar dari keputusan direksi menayangkan Liga Inggris.
Menanggapi argumen ini, Helmy bilang kalau Dewas adem-adem aja tuh waktu rapat terkait Liga Inggris tempo hari, ngapa malah protes dan ngasih data-data kerugian sekarang?
“Siaran Liga Inggris sudah kami sampaikan ke Dewas pada 17 Juli 2019. Rapat dipimpin Ketua Dewas Arif Thamrin. Kami sampaikan jenis kerja samanya, programnya, dan sebagainya. Dewas minta meningkatkan peluang penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari program Liga Inggris. Bahkan, Dewas juga hadir waktu launching program Liga Inggris. Anggarannya memang enggak ada. Kami mengusahakan dari PNBP itu untuk membiayai program ini. Iklan, sewa pemancar, dan lain-lain,” bela Helmy dalam konferensi persnya.
Ada satu anggota dewas yang punya pandangan berbeda: Supra Wimbarti. Ia mengaku tidak setuju Helmy buru-buru dipecat. Alasannya, ia merasa masih banyak celah informasi yang mesti digali.
“Bukankah itu hanya hal yang biasa (untuk berbeda pendapat). Kalau ada argumentasi dari rekan saya terus saya tanya, ‘Kok begitu ya, apakah ada buktinya. Apakah ada notulen rapatnya dari pertemuan-pertemuan itu’. Nah, itu yang sampai sekarang belum saya dapatkan jawaban di dalam rapat-rapat kami,” ujar Supra dilansir Antaranews. Ya kalau belum ada buktinya, ngapa dipecat.
Polemik ini dipastikan akan terus berlanjut mengingat niatan Helmy membawa kasus ini ke jalur hukum. Memegang prinsip ada kesempatan dalam kesempitan, usul dari cuitan di atas boleh juga dicoba TVRI. Dijamin, ongkos produksi rendah, yang nonton banyak, dan menjunjung asas keterbukaan.