Game FIFA Membentuk Selera Musik Generasi Kita

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik dan Game

Game FIFA Membentuk Selera Musik Generasi Kita

Sadar ga? Soundtrack game sepakbola buatan EA Sports ini mempengaruhi jutaan millenial lho. Berkat FIFA kita mengenal Blur sampai perubahan genre drum ’n’ bass.
ED
Diterjemahkan oleh Emily DiSalle

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey Italia.

Saya mengalami kekalahan beruntun, tanpa henti selama bertahun-tahun berada di ranking terbawah tiap ikut turnamen bersama teman-teman dalam game sepakbola FIFA. Mereka yang enggak jago main FIFA seperti saya pasti tahu rasanya dihadapkan pada pekan terakhir bulan September, ketika versi terbaru dari permainan tersebut keluar. Seperti tahun-tahun sebelumnya, FIFA 18 keluar. Bagi gamer pecundang kayak saya, sejarah tentu saja terus mengulang dirinya kembali.

Iklan

Pada dua pertandingan pertama yang bertempat di rumah salah satu teman penggila FIFA saya (mereka, patut disebutkan, sangat jago sekaligus jahat) dikelilingi oleh teman-teman yang fanatik banget main FIFA. Hasilnya sudah bisa diduga. Saya mengalami dua kekalahan beruntun: 2-1 dan 6-0. Saya sadar enggak jago main game sepakbola. Tapi saya suka main FIFA. Gimana dong?

Karena itulah, daripada mengulas game-nya, dalam artikel ini saya pengin fokus sama satu aspek yang sering terlewatkan dari game ini. Seiring waktu, hal yang saya maksud malah makin meningkat perannya, supaya kita bersemangat main game ini. Apalagi kalau bukan perkara soundtrack-nya.

Selama bertahun-tahun, FIFA telah (dan masih) menjadi pembentuk selera musik para gamer awam. FIFA memfasilitasi diversifikasi dari selera dalam sebuah jaman dimana perbedaan antara genre masih menjadi batuan dasari dari kritik terhadap musik- dan dinamika sosial antara remaja. FIFA merupakan sebuah game yang sukses menyetir tren musik mulai dari awal 2000-an, walaupun saat itu genre populer masih campur aduk. Hal ini memungkinkan hibridasi silang dari satu genre menjadi subgenre tanpa batas (sama halnya seperti trance dan EDM). Meski murni bermotif kapitalistik, pada akhirnya gamer bisa mendaratkan tren musik yang tak terhitung di tengah dunia yang terglobalisasi.

Sebelum saya mulai membedah playlist dari edisi terbaru maupun seri terdahulu sepanjang sejarah game FIFA, saya harus menyebutkan lebih dulu fakta bahwa bagi banyak orang, FIFA bukan semata-mata game. FIFA merupakan pengukuh eksistensi. Indikator yang mengatur hierarki sosial teman-teman sepermainan. FIFA adalah candu. FIFA adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kamu jauhi sepenuhnya. Makanya, terlepas dari berbagai kekalahan beruntun, pertemanan yang rusak, dan kontroler yang melayang ke dinding rental. (Btw, Kalau kamu belum pernah merusak sebuah kontroler dalam keadaan ngamuk-ngamuk, kamu emang enggak cocok ngumpul bareng pecinta FIFA).

Iklan

Di luar permainannya yang bikin kecanduan, FIFA membuka pintu bagi musik untuk masuk ke kehidupan saya. Seruan Damon Albarn yang bernyanyi, "woo-hoos' bersama Blur yang diputar saat loading FIFA 98, menginvasi kuping saya dan jutaan kuping anak-anak lainnya dari seluruh dunia. Momen loading game tersebut merubah hits rock menjadi sebuah karya klasik yang terus kita kenang. Bisa jadi, Blur saat main FIFA adalah salah satu kenangan terindah dari gamer 30-tahunan masa sekarang.

Eits, kita bahkan belum sempet membahas mengenai FIFA yang 16-bit…Engga deng, bercanda. Kita tidak akan membicarakan itu. Lagu-lagu dari edisi terdahulu FIFA, dari Nintendo 1994 hingga debutnya di PlayStation sejak 1997, direkam Electronic Arts Sports sendiri dan secara diametris berlawanan memakai percikan indie dan elektronika modern. Lagu-lagu tersebut merupakan suara-suara sangat kasar. Mendengarkan ulang deretan soundtrack tersebut, setelah 20 tahun berselang, rupanya masih sukses membangkitkan kemarahan masa muda. Lima lagu pertama berpindah dari genre grunge (yang pada saat itu masih jamannya) serta riff gitar yang sangat brutal sehingga membuat Joe Satriani malu.

Kemudian muncul FIFA 99. Edisi tersebut memajang wajah pahlawan timnas Italia, Christian "Bobo" Vieri, pada cover keluarannya di Italia (Vieri masih striker muda potensial saat itu). Dibanding game sebelumnya, sudah ada konsep European Dream League. Liga tersebut merupakan konsep aneh yang merupakan persilangan antara Champions League dan sebuah kejuaraan biasa antar tim-tim terbaik di Eropa. Tahun tersebut juga merupakan tahun genre trance-elektronika sedang melejit ke seluruh benua.

Iklan

Ketika memulai permainannya, kamu akan mendengar remix Dub Pistols Sick Junkie dari "Gotta Learn" oleh Danmass, yang kemudian diikuti oleh "Naked and Ashamed" dari Dylan Rhymes; Lagu-lagu utama untuk menciptakan atmosfer trance, ala-ala film Trainspotting. Kemudian, muncul mahkota emasnya: Fatboy Slim dengan lagu super nge-beat "The Rockafeller Skank" yang mewarnai gameplay options dan layar saat pergantian kesebelasan. Lagu tersebut menganggu, tapi tidak sampai mempengaruhi keseruan game yang telah berevolusi dari edisi sebelumnya.

FIFA 2000 mempertahankan sebagian besar musik elektronik dari versi sebelumnya dan menambahkan sedikit penyimpangan pop, yang pada tahun-tahun berikutnya secara bertahap makin mendominasi genre lagu soundtrack game tersebut. Pada tahun-tahun tersebut, program tangga lagu seperti Top of the Pops sedang kuat-kuatnya, dan MTV masih memonopoli musik dalam layar kaca secara global.

Seiring munculnya digital sharing platforms, terasa perubahan. Tim EA Sports mengetahuinya. Pilihan lagu seperti "It's Only Us" oleh Robbie Wiliiams atau "Sell Out" by Reel Big Fish dalam OST FIFA jelas kesengajaan. Musik pop namun hanya bisa memberi nilai tambah permainan yang tidak signifikan. Itu karena adanya tekanan yang meningkat dari pesaing utama mereka, Konami, yang mengeluarkan ISS (atau Winning Eleven, seperti yang dikenal di Jepang) untuk PlayStation.

Dengan datangnya millenium yang baru, EA Sports mulai melakukan banyak modifikasi kecil baik kepada permainannya dan pilihan lagunya, yang makin memperkaya game tersebut. Contohnya, inget gak ketika permainannya akan berakhir kalau tidak terdapat cukup pemain di lapangan? Saya ingat betul: FIFA 2001 betul-betul datang dengan sebuah tackle keras, baik dalam pasar video game (berserta dengan PlayStation2) dan pada kaki dari lawannya.

Iklan

Versi ini lah yang mengenalkan pelanggaran secara disengaja, yang setidaknya buat saya, mengubah seluruh pandangan dari game. Lupain cara terbaik mencetak goal, coba dan lumpuhkan pemain lawan sebanyak mungkin. Mod ini merupakan cara yang paling berguna bagi saya melampiaskan hasrat masa puber saya yang terpendam, kepada siapapun yang sedang main FIFA bareng saya dan sedang tidak beruntung.

Dalam versi ini, soundtrack gamenya didominasi elektronika mengungguli berbagai genre lainnya, mulai dari dari lagu Moby "Bodyrock" yang evergreen hingga lagu Utah Saints yang elektro-funk. Kemudian munculah lagu-lagu pertama yang di dubbing, yang di FIFA 2002 dikurasikan oleh DJ Tiësto. Cuma ada satu pengecualian—walaupun masih tergolong electronica—yakni remix Soulchild dari "19/2000" oleh Gorillaz.

Tahun berlalu, teknologi makin maju, dan genre game berkembang. Ketika "Complicated" oleh Avril Lavigne sedang membanjiri radio, Electronic Arts dan perusahaan produksi video game lainnya meningkatkan perhatiannya terhadap genre drum 'n' bass dan hip hop. Alat pemutar game mengalami pengingkatan kapasitas dan kecepatan, sehingga juga terdapat ruang lebih untuk menyimpan musik.

Sejak saat itu, tracklist FIFA makin berkembang, mencapai 28 lagu di FIFA 2004, dan itu sudah termasuk semua genre yang populer pada masanya. Pilihan potongan lagu pada tahun itu menampilkan gabungan megah dan tak terlupakan dari The Dandy Warhols, DJ Sensei, serta "L.S.F" oleh Kasabian; belum termasuk Kings of Leon, Caesars, Goldfrapp dan Radiohead (iya, lagunya adalah "Myxomatosis"); sampai akhirnya ada The Stone Roses dan Tribalisitas. Hebatnya, semuanya muncul di game yang sama. Ensiklopedia musik yang ringkas dan menghibur.

Iklan

Walaupun telat jika dibandingkan sama FIFA, tahun tersebut 2004 Konami juga mulai memeluk filosofi serupa soal musik, kemudian meluncurkan serangan balasan buat EA. Desain suara pada Pro Evolution Soccer mulai bergerak seputar hak musik serta artis yang harus dikompensasi, sehingga Kasabian bersedia membuka PES 2005 dengan "Club Foot."

Sampai pada titik, lagu-lagu PES sebagian besar direkam oleh Nekomata Master, moniker dari Naoyuki Sato, seorang penulis lagu dan juga produser game Konami sejak 1999. Akan menjadi beberapa tahun lagi sebelum perusahaan tersebut mengerti kepentingan strategis dari memperkenalkan lagu-lagu dari artis international di menu utama mereka, sebagai tambahan dari soundtrack standar yang ada dalam PES. Awal 2009, perubahan bertahap mulai berjalan berkat "People Power" dan "Do It Again" dari Anderson Shelter ke PES. Tren ini kemudian berlanjut pada 2010, dengan masukknya The Chemical Brothers (yang memajang lagu-lagu keren mampus seperti "Midnight Madness" dan "Galaxy Bounce"), Stereophonics mengusung "A Thousand Trees," dan juga lagu alarm saya selama bertahun-tahun- "Dakota"; juga Keane, Kaiser Chiefs, Hoobastank dan DJ Shadow. Sejak saat itu, playlist PES disusun kurang lebih dengan cara yang sama seperti FIFA- sebuah campuran berbagai genre dengan artis-artis international dan percikan techno/trance di mana-mana.

2005 sekaligus menjadi tahunnya dari FIFA Street, sebuah experimen jahat yang dibuat oleh orang-orang yang punya masalah sama sepak bola, ditujukan buat gamer kayak saya, jenis orang-orang yang sama-sama memiliki masalah main game sepakbola. Untung musiknya tak berubah. Lagu-lagu dari FIFA Street keren banget: Gelombang suara tropical dan irama reggae yang sempurna dikawinkan sama atmosfer game tersebut yang sureal. FatboySlim masih turut berkontribusi dalam game ini dengan lagunya "Jin Go La Ba."

Iklan

Kembali ke FIFA 2005 (dan mumpung kita lagi ngebahas game sepakbola, izinkan saya mengingat beberapa dari pemain andalan saya kala itu: Kaka, van Nistelrooy, Shevchenko, Henry, Del Piero, Fernando Morientes, Ronaldinho, Owen, Zidane, Beckham, dan yang mulia, kapten Francesco Totti), terdapat Flogging Molly dan Franz Ferdinand diatas Brother dan Sandro Bit yang sebelumya disebutkan. Pilihan musisi ini mendemonstrasikan bagaimana EA berusaha menghormati tuntutan gamer terhadap musik berkualitas untuk mengiring game mereka. Setidaknya selama menunggu loading. Dalam kata lain, mereka berusaha mempertahankan ciri khas sebagai developer game yang peka sama musik bagus untuk dijadikan soundtrack.

Sejak itu, pilihan musik FIFA mulai mengarah ke pop-rock, secara tegas menjauhkan dirinya dari suara elektroniknya yang ekslusif dari tahun-tahun awalnya, namun tidak melupakan genre ngetop lainnya. Sebagai contohnya, beberapa hari yang lalu EZ mengeluarkan playlist resmi dari versi tahun ini: 39 lagu, yang bisa diulang-ulang selama dua setengah jam secara beragam. Dari Run the Jewels hingga ODESZA, dari The National, xx, dan Alt-J hingga Slowdive. Bisa dibilang ini playlist yang sekali lagi menunjukan bagaimana musik bisa memperkaya pengalaman bermain game dan mendorong budaya musik bagi generasi tua dan muda tanpa terkesan menggurui.

Sekarang saya ingin pamit undur diri, karena tim Paris Saint-Germain yang saya mainkan bersiap dipermalukan di hadapan teman-teman. Jika kamu ingin kembali membenamkan diri dalam memori masa mudamu, yang sudah hilang selamanya (terima ajalah), saya sengaja membuat playlist buat kalian. Playlist ini dipilih dari pilihan lagu-lagu terbaik dari sejarah FIFA, sebuah game yang mampu meninggalkan bekas kepada anak-anak diseluruh dunia selama dua dekade terakhir. Dan ingat: Penggila FIFA itu jahat, apalagi kalau mereka tahu bagaimana cara menggunakan jurus rabona.

Follow Noisey di Twitter.