FYI.

This story is over 5 years old.

Krisis Marawi

Perlukah TNI Terlibat Operasi Pembebasan Marawi dari Militan ISIS?

Bukan ide bagus, setidaknya itu kesimpulan pengamat militer maupun terorisme terhadap gagasan Menkopolhukam Wiranto.
Prajurit Filipina berlindung di salah satu rumah sebelum menyerang posisi militan. Foto oleh REUTERS/Jorge Silva.

Pertempuran merebut Kota Marawi, Filipina tak kunjung berakhir, setelah teroris berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) menyerbu rumah-rumah penduduk nyaris tiga bulan lalu. Upaya militer mengusir sepenuhnya militan Klan Maute dan Abu Sayyaf dari kota di Kepulauan Provinsi Mindanao ini belum membuahkan hasil. Kota terbagi dua, antara yang sudah dikuasai militer dan sudut-sudut lain yang masih diduduki militan. Di tengah-tengah, lebih dari 500 warga sipil terjebak.

Iklan

Indonesia, bersama negara lain di Asia Tenggara, belum mengambil bagian dalam upaya militer memberantas militan ISIS di Marawi bersama pemerintah Filipina. Belakangan opsi tersebut kini menjadi lebih terbuka. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Wiranto menyatakan probabilitas mengirim pasukan militer untuk membantu tentara Filipina di Marawi tak sepenuhnya tertutup.

"Bukan tidak mungkin jika suatu saat kami memutuskan untuk secara bersama-sama memerangi mereka (kelompok pendukung ISIS) di Marawi," kata Wiranto dikutip BBC Indonesia.

Bukan kali ini saja Wiranto menyatakan kemungkinan intervensi militer Indonesia ke Marawi. Juni lalu Wiranto mengatakan bahwa pemerintah Filipina telah memberikan lampu hijau untuk operasi militer gabungan Indonesia dan Malaysia demi membasmi militan ISIS.

"Sudah dari dulu diberikan izin. Kemauan kita melawan terorisme itu enggak bisa mandiri, mesti bersama-sama," ujar Wiranto.


Baca juga liputan VICE Indonesia mengenai setiap perkembangan dari pertempuran Marawi:

Setidaknya 453 militan, 109 personel militer, dan 45 warga sipil tewas akibat pertempuran di Marawi yang berlangsung sejak 23 Mei lalu, berdasarkan keterangan Angkatan Bersenjata Filipina (AFP). Lebih dari 400.000 orang mengungsi dari kota itu, sejak Presiden Rodrigo Duterte menetapkan darurat militer di seantero Mindanao.

Merespons berlarut-larutnya ancaman keamanan di Filipina, pertemuan Sub-Regional Meeting on Foreign Terrorist Fighters and Cross Border Terrorism (SRM FTF-CBT) yang digelar di Manado, Sulawesi Utara pekan lalu, menghasilkan kesepakatan bilateral konkret. Indonesia, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam setuju melakukan kerja sama mengatasi krisis Marawi. Meski kerja sama tersebut bukan dalam bentuk operasi militer, Wiranto menegaskan salah satu poin utamanya mencakup hal penting seperti penguatan imigrasi, pertukaran informasi, dan kerjasama hukum.

Iklan

Indonesia, Malaysia, dan Filipina telah menggelar patroli laut bersama pada 19 Juni di Tarakan, Kalimantan Utara). Tujuannya demi mencegat militan yang berusaha kabur ke negara tetangga lewat jalur laut.

Pernyataan Wiranto soal operasi militer di Filipina mengundang reaksi kritis dari pengamat. Pakar keamanan dan militer Universitas Padjajaran, Muradi, mengatakan Indonesia tak seharusnya terlibat secara langsung dalam pertempuran di negara lain.

"Harus dilihat urgensinya apa dulu. Kalau mengirim personel militer untuk terlibat dalam pertempuran saya kira akan menyalahi kebijakan politik luar negeri kita," ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia.

Pasukan Filipina memantau posisi para militan di sudut kota Marawi. Foto oleh REUTERS/Jorge Silva.

Muradi tidak hendak menyepelekan kemampuan militer Indonesia—yang menurutnya masuk lima besar terbaik di dunia. Namun karena tidak ada perjanjian kerjasama militer antara Indonesia dan Filipina, prajurit TNI mustahil serta merta bergabung.

"Jika mengirim pasukan untuk melakukan pengawasan atau melakukan supervisi, itu tidak masalah," tambah Muradi.

Pengamat terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones mengatakan tambahan kekuatan militer di Filipina tak akan memecahkan masalah. Menurutnya negara-negara ASEAN lebih baik mempererat kerjasama dalam tukar menukar informasi dan penguatan peran intelijen.

Merujuk laporan IPAC soal Marawi, setidaknya 20 orang Indonesia teridentifikasi bertempur dengan militan pendukung ISIS. Hal ini memicu kekhawatiran jika mereka kembali ke Indonesia dan mengorganisir jaringan teroris lokal. "Harus ada informasi yang akurat tentang jaringan ektremisme, itu yang sangat diperlukan di Filipina, bukan kekuatan militer yang lebih banyak lagi," kata Sidney.

Menurut laporan saat ini, diperkirakan masih ada 40-60 militan yang bertahan di sudut-sudut kota Marawi. Mereka dilaporkan menyandera lebih dari 100 warga sipil sebagai tameng hidup.