FYI.

This story is over 5 years old.

kultur media sosial

Budaya Pencitraan Instagram di Kalangan Ibu Baru Melahirkan Bisa Bahaya

Di dunia nyata, tak ada yang sempurna. Sayangnya di media sosial, yang ada hanya sebaliknya, kesempurnaan yang kita tahu semu
mencitrakan kebahagiaan
MaaHoo Studio / Stocksy

Aku sedang iseng buka Instagram ketika melihat foto selebgram yang baru saja menjadi ibu. Wajahnya sempurna bak model iklan Sephora. Rambutnya tampak lembut dan berkilau. Dia berpose menggendong bayinya sambil memamerkan kuku mengkilap habis dimanikur. Kamarnya, sih, agak berantakan. Ada celemek yang diletakkan di lengan sofa, dot di atas meja, dan mainan yang berserakan di lantai. Aku lalu membaca captionnya, “Hidup itu tidak selamanya sempurna.”

Iklan

Aku penasaran bagaimana dia masih bisa mengurus rambut dan riasannya, padahal aku sendiri sudah lupa kapan terakhir kali mandi. Kalau bukan sedang menggendong anakku sendiri, mungkin aku sudah melempar ponsel karena kesal melihat fotonya. Aku cuma bisa menangis.

Orang-orang mengira mereka paham soal depresi pasca melahirkan dan kecemasan pasca-melahirkan . Banyak sekali media yang memberitakan aksi nekat ibu untuk menyakiti diri sendiri atau anaknya. Padahal, depresi pasca persalinan tidak melulu seperti itu. Gejalanya kadang bisa sama seperti yang kualami.

Depresi dan kecemasan memang tidak mudah dipahami, dan masalah psikologis ini akan terus ada. Faktanya, ada lebih dari separuh perempuan yang mengidap depresi dan kondisinya tidak terdiagnosis. Hal ini disebabkan oleh standar tidak realistis yang membuat perempuan enggan menceritakan masalahnya kepada teman dan keluarga.

Para ibu baru mengalami perubahan identitas dan tanggung jawab. Kita biasanya mencari semacam solidaritas dan hiburan di media sosial. Akan tetapi, obsesi kita untuk terkenal di Instagram membuat para ibu baru ini terjebak dalam konsep “kesempurnaan semu”, yang pada akhirnya membuat mereka merasa tersingkir atau berbeda dari ibu-ibu lainnya.

Kalian pasti ngerti jenis postingan Instagram yang kumaksud. Para ibu yang tetap menjaga penampilan meskipun hidup itu “sulit.” Berat badannya memang sudah turun pasca kelahiran tetapi bentuk tubuhnya “tidak akan sama.” Menjadi ibu itu adalah suatu keajaiban kehidupan. Dan memang kadang-kadang penampilan ibu-ibu berantakan, tapi akan berdandan cantik kalau punya waktu kosong buat posting foto ke Instagram.

Iklan

Tipe ibu baru seperti ini sama sekali tidak membantu perempuan lain yang sedang melewati matrescence atau masa transisi menjadi ibu. Kenyataannya, sikap mereka justru berdampak jauh lebih negatif dibanding para ibu yang memang berusaha tampil sempurna total. Konsep “kesempurnaan semu” ini adalah cara untuk menaruh simpati tanpa menunjukkan keadaan mereka yang sebenarnya. Hal ini dapat memperburuk perasaan terisolasi dan membuat para ibu enggan mencari bantuan ahli ketika mereka sangat membutuhkannya.

“Dalam upaya untuk memvalidasi susahnya menjadi ibu, media sosial mungkin meremehkan pengalaman patologi nyata seperti depresi atau kecemasan pasca melahirkan,” ucap Leslie Ackerman, psikolog berbasis di New York. “Akibat dibombardir informasi, kemungkinan ibu-ibu baru yang mengalami PPD atau PPA untuk meminta bantuan menjadi lebih kecil, karena media sosial telah menormalisasikan reaksi-reaksi atipikal pada stress dan emosi yang sebenarnya memerlukan intervensi klinis.”

Saat putraku lahir setahun lalu, aku kewalahan dan tertegun. Aku sayang dengan anakku, tapi aku benar-benar ketakutan. Kamarku di rumah sakit memang kecil, tapi aku tidak mau pulang ke rumah. Di rumah tidak ada suster dan ranjangku tidak mempunyai tombol kecil yang aku bisa pencet kalau butuh bantuan. Ternyata anakku menderita penyakit kuning dan kita diminta untuk menginap satu malam lagi. Aku sih lega.

Pas kita pulang, suasananya gelap—bukan karena sudah jam 8 malam. Gelapnya terasa seperti ada yang menutupi duniaku dengan selimut. Setiap kali aku mengingat minggu-minggu setelah kami pulang dengan anak, aku hanya terbayang kegelapan, seakan-akan sepanjang hari itu malam.

Iklan

Aku penuh dengan kecemasan. Aku tidak mau mengganti popoknya, karena dia terus menerus berteriak dan menangis. Aku tidak bisa menyusuinya, dan aku tidak bisa tidur. Aku juga mengalami mastitis, sebuah abses di payudaraku dan tidak hanya satu atau dua, tetapi tiga reaksi alergi pada antibiotik yang aku harus minum untuk mengatasinya. Aku takut akan sindrom kematian bayi mendadak sehingga aku tidak bisa tidur dan mengalami mimpi buruk. Aku takut mengajak anakku keluar rumah karena virus, suara keras, suhu, matahari, orang yang tidak dikenal, serangga, anjing, dan hal-hal lain.

Saat aku menemui dokter enam minggu setelah melahirkan, aku menjelaskan kepada dokterku bagaimana perasaanku, dan dia hanya memberi aku sebuah tes PPD pilihan ganda. Aku mencari artikel tentang PPD yang sesuai dengan gejala yang aku alami dan cerita-cerita ibu-ibu baru yang mengalami kecemasan yang sama. Aku tidak menemukan banyak—hanya blogpost sederhana yang mengandung link ke situs-situs kesehatan mental.

Penelitian menunjukkan bahwa 70 sampai 80 persen ibu-ibu baru mengalami yang namanya baby blues (gangguan yang cenderung tidak separah depresi pasca melahirkan), sedangkan sekitar 15 persen mengalami depresi. Belum-belum, kami sudah dikasih tahu apa yang normal dan apa yang tidak—sebagian besar mengalami baby blues, dan hanya persentase kecil mengalami depresi. Kita mengaitkan depresi dengan rasa malu karena membuat kita merasa gagal sebagai ibu yang sempurna dan bahagia. Lebih parah lagi, yang sebenarnya merupakan psikosis pasca melahirkan seringkali hanya dikira depresi. Psikosis pasca melahirkan adalah gangguan terstigmatisasi yang membuat ibu segan mengungkapkan perasaan mereka.

Iklan

“Banyak orang tidak meminta bantuan karena tidak tahu depresi pasca melahirkan itu sebenarnya apa,” ujar Ariela Vasserman, psikolog di Pusat Kesehatan Langone NYU. “Ada juga yang menganggap gejala depresi dan kecemasan sebagai hal biasa saat baru melahirkan. Ada banyak hal yang dapat menghalangi seorang ibu dari mencari perawatan: kekhawatiran mengenai kemampuannya menjadi ibu, ketakutan dihakimi orang lain, serta rasa malu dan stigma.” Berdasarkan pengalamanku, glamorisasi kekacauan pasca melahirkan yang menyebabkan perasaan ketidakmampuan membuat rasa malu ini semakin parah.

Aku tahu ada yang tidak beres. Untungnya, aku sudah mempunyai terapis sebelum aku hamil, jadi setelah melahirkan aku lebih sering mengunjunginya. Kami merancang sebuah rencana: Aku akan berusaha untuk tidur lebih lama, olahraga lebih banyak, dan keluar rumah setiap hari selama 15 menit. Jika dalam sebulan aku tidak melihat perubahan, aku akan pergi ke psikiater dan berobat.

Untuk aku, rencana tersebut sukses. Jalan-jalan, udara segar, pertemuan dengan sesama ibu-ibu baru yang simpatik—ini semua membuat tangisanku berkurang. Aku bisa melihat betapa buruknya kondisiku dulu sebelum aku mulai melihat cahaya matahari. Masih ada tantangan tentunya (misalnya ketika aku terjebak macet dengan anakku yang sedang menangis di kursi belakang. Aku berteriak sekencang-kencang mungkin dan membuat anakku takut), tapi kini aku mempunyai cara untuk memahami apa yang memicuku dan bagaimana aku harus mengatasinya. Setelah beberapa bulan menjalankan rencana terapiku, aku akhirnya mengerti apa yang dikatakan ibu-ibu lain dan aku bisa menikmati waktu bersama anakku.

Aku selalu berbicara secara terbuka tentang pengalamanku, bahkan dalam masa depresi, tapi aku melihat banyak perempuan tidak ingin membicarakan pengalaman keibuan dalam konteks kesehatan mental. Daripada hanya memproyeksikan sebagian dari pengalamanmu dengan foto-foto Instagram paradoksal, kita harus menghancurkan apa yang membuat kita merasa malu dengan berperilaku lebih terbuka, jujur, dan baik hati dengan satu sama lain.

Kita harus menghadapi perasaan kita secara langsung demi menormalisasikan perasaan itu, entah di media sosial atau bukan. Terlalu banyak dari kita menderita diam-diam karena kita tidak jujur. Ingin mengaku kamu tidak mau mengganti popok penuh kotoran dari bayi yang berteriak tanpa henti saat vaginamu masih bengkak dan berdarah? Itu namanya jujur.

Ibu-ibu baru: Ayo kita bicara tentang memakai jeans yang berlumuran muntah, yang sebenarnya juga merupakan jeans kehamilan karena cuma celana itu yang masih muat. Buatlah postingan anak kamu yang mengencingi dirinya sendiri karena kamu kehabisan popok dan mengira popok renang adalah hal yang sama (tip: popok renang tidak menyerap cairan). Akui secara terbuka bahwa kamu telah merasakan tidak hanya kebahagiaan, tetapi juga kesedihan. “Kesempurnaan semu” tetap menyiratkan adanya kesempurnaan. Kunci untuk menghancurkan perbatasan dan ekspektasi-ekspektasi tidak realistis adalah dengan berkomunikasi dan membuat tempat yang aman untuk perempuan yang ingin meminta bantuan jika mereka perlu.