News

Ternyata, Pengelolaan Limbah Singapura Masih Bermasalah

Negara kecil ini berpotensi menghadapi masalah pengelolaan limbah signifikan jika tidak mengubah strateginya.
Pengelolaan Limbah Singapura Masih Bermasalah
Photo by cegoh/Pixabay

Singapura dikenal di seluruh dunia sebagai tempat di mana semuanya baik-baik saja. Jalan negeri kecil ini bersih tanpa cela, dan terakhir kali saya ke situ, masih dijual kaos-kaos turis “Fine City” lengkap dengan daftar pelanggaran publik. Persepsi publik melihat Singapura sebagai bangsa yang mengutamakan kebersihan.

Bagi negara tetangganya di Asia Tenggara, Singapura menjadi contoh standar. Pada awal tahun ini, Menteri Lingkungan dan Perairan Singapura (MEWR) menyatakan 2019 akan menjadi Tahun Menuju Zero Waste yang bertujuan mengubah “sampah menjadi harta” melalui pendekatan sirkuler dan mendaur ulang sumber daya secara terus-terusan.

Iklan

Namun, ternyata nama baik Singapura sebagai negara bersih sedikit ternoda dalam hal pengelolaan limbah. Menurut Agensi Lingkungan Nasional (NEA) Singapura, hanya sekitar enam persen limbah plastik dan 17 persen limbah makanan didaur ulang setiap tahun.

Ini karena Singapura masih membakar sampahnya dan berinvestasi dalam solusi ini. 94 persen dari 800 kilogram sampah plastik dibakar. Abunya dibuang ke Pulau Semakau, pulau buatan manusia yang kini dijadikan TPA, yang pada 2035 kemungkinan akan penuh, sepuluh tahun sebelum diantisipasi.

Sembari pemerintah mengulur waktu mencari cara membersihkan bangsa, sejumlah warga Singapura mulai bertindak demi mengatasi masalahnya.

Sky Greens, tanah pertanian vertikal di Lim Chu Kang, baru-baru ini mulai bekerjasama dengan Nespresso untuk membuat pupuk organik menggunakan kopi bekas. Segel kopi aluminium didaur ulang menjadi produk lain, sembari kopi bekas dicampur sampah sayuran dan kotoran hewan untuk menumbuh sayuran yang nanti dijual di supermarket.

Sementara itu, versi Singapura dumpster diving (mencari makanan di tempat sampah) menyoroti gerakan komunitas yang hendak “menyelamatkan makanan” dengan meminta pemilik usaha makanan dan minuman untuk membagikan sisa makanan mereka. Pembagian makanan tersebut lalu diumumkan di Telegram dan Facebook dalam sebuah grup dengan lebih dari 2.500 anggota.

Gerakan ini cukup signifikan dalam sebuah negara dimana 10 persen semua sampah terdiri dari limbah makanan. Pemerintah diharapkanakan menanggapi fenomena ‘dumpster diving’ secara positif dengan menerapkan undang-undang “Orang Samaria Murah Hati” demi melindungi bisnis-bisnis yang menyumbang makanan sisaan, karena mereka mengkhawatirkan konsekuensi legal terkait dengan pembagian makanan kadaluarsa.

Mimpi zero-waste Singapura masih jauh dari kenyataan. Tampaknya pemerintah bisa berinvestasi lebih banyak dalam infrastruktur pendauran ulang dan meluncurkan kampanye yang mendidik publik mengenai praktik pendauran ulang. Untungnya keputusan beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan dipimpin rakyat.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.