FYI.

This story is over 5 years old.

harry potter

Kota Edinburgh Jadi Enggak Indah Lagi Gara-Gara Wisata Harry Potter

Kota ini dipenuhi gimmick-gimmick cerita populer si penyihir seleb. Warga setempat mulai mengeluh.
semua foto oleh penulis

“Apa yang terjadi saat kita mati?” adalah salah satu pertanyaan eksistensial yang sering muncul di benak manusia sejak kita menyadari bahwa semuanya fana. Tapi, hanya segelintir manusia yang bisa bertanya-tanya apakah namanya yang tertera pada makam akan diadaptasi seorang penulis laris untuk karakter penyihir fiktif yang jahat, dan apakah makamnya akan menjadi tujuan wisata turis mancanegara.

Nyatanya begitulah nasib Thomas Riddell, yang meninggal dunia di Edinburgh pada 1806. Makamnya, berlokasi di Greyfriars Kirkyard, telah menjadi tujuan ziarah bagi ratusan pengunjung tiap harinya, yang ingin melihat prasasti yang mungkin menginspirasi penamaan sebuah karakter dalam sebuah buku.

Iklan

Nama Riddell, kautahu, mirip dengan Tom Riddle, yang lebih akrab dikenal sebagai Lord Voldemort, antagonis primer di serial buku Harry Potter karya penulis terkaya sejagat JK Rowling. Di dekat makamnya, seseorang telah mengukir “Sirius Black, 1953-1996,” kemungkinan besar merujuk pada karakter lain dalam seri itu.

Wisatawan di makam Thomas Riddell (Foto oleh Liam Turbett)

Bagian taman pemakaman ini dipadati pengunjung, dan rerumputan di taman ini telah rusak terinjak-injak oleh ratusan pengunjung tiap harinya. Hal ini hanyalah suatu gejala dari tren yang menyeruak: turisme Harry Potter semakin merusak Edinburgh tiap harinya.

Tahun 2018 baru saja dimulai saat sebuah pub terkenal di tengah kota, bernama Conan Doyle, kini berubah nama menjadi J K Rowling. Di sana ada papan gantung yang menampilkan sang penulis duduk dengan pesanannya: tiga telur rebus (tiga!) dalam satu piring. Ternyata perubahan itu nyambung dengan tema festival seni visual, sekaligus merupakan cara marketing yang jitu, dan media di seluruh dunia meliputnya.

Yakali dah (Photo by Liam Turbett)

Pemilik pub ini bukan satu-satunya perusahaan yang menyadari potensi viral segala hal yang berbau Harry Potter. Tahun lalu, angka wiraswasta yang ingin meraup untung dari karakter ini terus meningkat.

Kota ini kini memiliki dua toko yang khusus menjual pernak-pernik Harry Potter—kedua toko ini mengaku bahwa tampilan depan toko mereka terinspirasi dari Diagon Alley, area belanja imajiner di dunia sihir. Setiap harinya banyak wisatawan yang berkeliling area itu mencari dan mengagumi segala hal terkait Harry Potter dan murid-murid sekolah drama yang mengenakan piyama—sori, jubah penyihir maksudku—memimpin gerombolan wisatawan tersebut. Ada pula bar dadakan bertema Potter yang akan dibuka selama tiga bulan sejak Februari.

Iklan

Bahkan, ada pula apartemen mewah yang bertemakan Harry Potter. “Saya sudah memesan papan berbunyi ‘Wizards welcome (Muggles Tolerated)’,” ujar pemiliknya pada sebuah situsweb properti baru-baru ini, mengungkapkan bahwa dia telah menyusun rencana untuk membangun apartemen “bertema Slytherin.” Euforia soal Potter ini bahkan sampai pada level institusional; seorang YouTuber asal Amerika didanai pemerintah Skotlandia untuk berkeliling negara tersebut dengan cosplay Hogwarts tahun lalu.

Lalu ada pula Elephant House café, di mana, katanya nih, Rowling menulis sebagian dari buku pertamanya. Café tersebut menghadap ke Greyfriars Kirkyard dan, dari bangku tertentu, kita bisa melihat pemandangan terbaik dari Istana Edinburgh. Nah, di sana ada pula papan besar di jendela bertuliskan (dengan font yang saya kira sudah mati) “Tempat kelahiran Harry Potter.”

Di dalam café lebih heboh lagi. Ada papan tulis kapur bertuliskan “tidak ada Wi-Fi, ngobrol lah dengan orang lain dan berpura-pura ini tahun 1995!” itulah tahun Rowling menulis novel pertamanya. Ini sedikit ironis, mengingat bahwa satu-satunya alasan seseorang datang ke sana adalah supaya mereka bisa posting di Instagram.

Kalau kamu lagi menulis buku, Elephant House adalah tempat terakhir di dunia yang ingin kamu datangi untuk nulis, kecuali kamu enggak keberatan melihat turis-turis enggak berhenti foto dan pelajar Universitas Edinburgh bersorak-sorak sambil mengenakan syal asrama Hogwarts.

Iklan

Toilet di the Elephant Café (Foto oleh Liam Turbett)

Produk budaya Edinburgh lainnya di 19000an— Trainspotting—yang mengklaim pernah menunjukkan toilet terburuk di Skotlandia. Padahal tidak. Toilet terburuk di Skotlandia adalah di dalam Elephant Café.

Mungkin terlalu optimis untuk percaya bahwa Rowling suatu hari akan keluar dari rumah gedong yang ia tinggali saat ini dan kembali ke café di mana dia menulis buku pertamanya, tapi para fans mengubah toilet itu menjadi kotak kecil penuh grafiti berbunyi pesan-pesan mengenaskan untuk jagoannya. Pernah mules sekaligus mikirin “Jo kamu adalah patronusku, mimpiku adalah bertemu denganmu dan belanja bareng,” atau “nice shot! Gryffindor dapat 10 poin!” di atas toilet? Ya, berarti cocok lah sama toilet ini.

Beberapa tahun lalu, ada peringatan bahwa angka wisatawan di Edinburgh, bersamaan dengan meningkatnya liburan tak teregulasi dan pembangunan hotel baru yang berlebihan, menjadikan Kota Tua di kota itu tidak aman dan nyaman bagi penduduk lokal, dan bahkan mengancam status peninggalan mereka. Bulan lalu, misalnya, kanon sastra Edinburgh lainnya, Alexander McCall Smith, memberi peringatan bahwa kota tersebut menghadapi risiko menjadi “daerah penuh sampah berisi wisatawan dan toko cinderamata, hotel-hotel besar dan itu saja.”

Peningkatan turisme secara mendadak yang berhubungan dengan Harry Potter mengubah esensi kota ini. Di Northern Ireland, langkah penutupan jalan telah diambil setelah negara tersebut dipenuhi turis-turis penggemar serial televisi Games of Thrones.

Kalau turisme Harry Potter terasa kosong, itu karena dibangun di atas fantasi. Tapi bagaimanapun, Edinburgh—dan tentunya, Gretfriars Kirkyard—telah lebih dahulu menyuapi omong kosong pada turis, dan dieksploitasi oleh pemilik bisnis sekitar dan dikompori oleh media. Ini sudah terjadi selama 150 tahun. Kisah soal Greyfriars Bobby, anjing terrier setia yang terus menunggui makam tuannya—yang dibuatkan patung dan filmnya—sebetulnya hanyalah omong kosong yang diciptakan seorang wiraswasta lokal yang ingin cari duit. Setelah kisahnya menjadi sensasi di koran di Victorian Edinburgh, kisah itu menjadi begitu lukratif sehingga saat anjing pertamanya mati, mereka membeli anjing baru untuk menggantikannya.

Pada hari minggu, warga lokal mengingati 146 tahun kematian sang anjing. Mungkin, di abad-abad selanjutnya, orang-orang akan melakukan hal sama untuk Thomas Riddell.

Colek Liam di twitter @parcelorogues