'NORIENTAL' Melawan Secara Kreatif Stereotipe Perempuan Asia
Foto oleh Elizabeth Wirija

FYI.

This story is over 5 years old.

Fotografi

'NORIENTAL' Melawan Secara Kreatif Stereotipe Perempuan Asia

Seri foto menakjubkan dari Elizabeth Wirija ini cerdas merekam keberagaman perempuan Asia yang selama ini tak diwadahi media-media mainstream.

Hasil jepretan foto Elizabeth Wirija harus diakui bak magnet, membuat mata siapapun tertarik memandangnya. Fotografer yang kini berusia 23 tahun ini meninggalkan Jakarta, merantau ke Amerika Serikat saat baru saja lulus SMA. Sebagai remaja perempuan 16 tahun kala itu, bekalnya cuma satu koper pakaian dan sebuah kamera DLSR yang didapatnya dari orang tua sebagai hadiah ulang tahun.

Setelah dua tahun belajar di community college di suburban Seattle, dia pindah ke School of Visual Arts di New York City. Ini adalah kepindahan yang mengkatalisasi proses kreatifnya, ujarnya.

Iklan

Karya Wirija pertama yang saya temui di media sosial adalah tiga foto perempuan Asia yang berpakaian serba kuning. Foto-foto tersebut merupakan bagian dari proyek Wirija, yang dinamakan NORIENTAL, yang dia mulai sejak Februari 2017. NORIENTAL adalah respons yang intim, mendalam, dan kuat untuk melawan minimnya representasi perempuan Asia di media mainstream berbagai negara. Dalam budaya populer, seringkali perempian Asia lebih sering melihat sesamanya digambarkan sebagai kutubuku atau pekerja seks. Sebaliknya, perempuan Asia dalam foto-foto Wirija merepresentasikan segala rupa, identitas, talenta, dan pengalaman.

Saya ngobrol-ngobrol dengan Wirija, membahas masa kecilnya, rasanya menjadi seniman di generasi media sosial, dan bagaimana dia menggunakan fotografi menciptakan narasi-narasi baru soal perempuan Asia.

VICE: Hi Eli! Motivasi apa yang mendorongmu memulai seri foto NORIENTAL?
Elizabeth Wirija: Setahun yang lalu saya cuma ngebayangin aja. Tahulah, proyek ini muncul dari berbagai faktor berbeda, tapi pada intinya berasa dari ketidakpuasan saya atas media [Amerika] dan bahwa kita selalu digambarkan dalam narasi satu dimensi. Di film, misalnya, kita selalu digambarkan sebagai sidekick atau tokoh sampingan yang melakukan hal-hal culun, apa banget kan?

Saya berpikir sebagai seorang seniman, bagaimana saya mengubah hal itu? Bagaimana saya menyalurkan narasi saya sendiri, serta suara saya pada permasalahan tersebut? Bagi saya, caranya adalah lewat fotografi dan saya ingin punya kemerdekaan untuk jadi orang yang menulis ceritanya. Dan mengkontribusikan suara soal bagaimana harusnya kita dipandang.

Iklan

Sebagian perempuan Asia sangat tertarik soal sains tapi merek ajuga tertarik soal seni dan bidang kreatif, jadi saya mencoba menghubungi perempuan Asia berbeda-beda, biasanya di Instagram atau Twitter dan saya nanya, ‘Boleh saya foto kamu dan mempertontonkanmu dari segi ini?’ Rupanya mereka selalu terbuka.

Saat kamu mencari subyek foto, apakah mereka sudah punya selera fesyen dari sananya atau kamu sempat ngasih arahan gaya?
Saya rasa gabungan keduanya, saya biasanya menunjukkan mereka sebuah konsep atau tema atau mood board. Saya juga mencoba menggabungkan 80 persen suara mereka. Tapi sebagian besarnya sih mereka. Beberapa foto baru-baru ini, dengan Pat dan Gabrielle, mereka jago banget main makeup. Jadi, saya mikir, gimana caranya saya menunjukkan hal itu dalam foto? Saya tanya ke mereka, “Kamu mau enggak melakukan makeup buat foto-fotonya?” dan mereka sangat terbuka dan foto-fotonya jadi keren banget. Saya rasa menunjukkan kreativitas mereka dalam foto-foto amat penting.

Kamu membangun karir sebagai seniman foto dari postingan media sosial. Apakah medium ini memengaruhimu saat membangun ritme bekerja? Apakah kamu merasa perlu menciptakan karya baru setiap hari?
Saya jelas merasa ada tekanan, hanya karena kita adalah generasi media sosial. Jadi sangat instan dan langsung. Segalanya harus ada dalam ritme cepat. Jadi saya merasakan tekanannya, dan tiga tahun terakhir ini saya mencipta dengan cukup konsisten. Dalam seminggu saya bisa melakukan dua hingga tiga pemotretan, dan saya bukan tipe orang yang berlama-lama dengan satu foto dan saya tidak menundanya. Saya membentuk konsepnya dan setelah kelar saya langsung mempostingnya setelah diedit.

Iklan

Namun tahun ini saya membentuk ide-ide untuk proyek yang lebih besar dan saya bisa punya lebih banyak waktu dan melibatkan lebih banyak orang dalam tim. Hanya karena selama beberapa tahun terakhir saya biasanya bekerja sendirian. Hanya saya dan subjeknya. Kini saya ingin membawa orang-orang yang mahir dalam bidangnya, seniman makeup, penata gaya, supaya semuanya terlihat bagus dan terangkat. Jadi saya ingin melakukan proyek yang lebih besar, namun berkualitas, jadi mungkin saya akan jarang posting foto tahun ini.

Kamu gugup enggak membayangkan sambutan orang buat proyek barumu ini?
Kayaknya iya, karena kita tahu orang-orang terbiasa mengonsumsi foto saya dengan cepat saya jadi merasa, “Oh, kamu enggak punya kesabaran untuk menunggu hasilnya.” Tapi enggak tahu ya, saya rasa saya ini baik-baik saja. Orang-orang yang bersedia nunggu akan menunggu kok.

Omong-omong, kayak gimana pengalamanmu dulu pas besar di Jakarta?
Saat saya di Jakarta, saya sekolah di sekolah internasional jadi saya selalu berada di tengah-tengah percampuran budaya dan orang tua saya lumayan ketat jadi habis sekolah saya harus langsung pulang. Saya enggak bisa keluar-keluar kecuali emang ada rencana pergi ke mal atau apalah.

Saya penasaran sama perasaanmu sebagai orang Indonesia yang sekarang mukim di AS. Bisa digambarkan pada pembaca?
Saya rasa menjadi orang Asia di Amerika adalah dua sisi yang berlawanan. Biasanya saya dikategorikan sebagai Asia Amerika atau dikategorikan sebagai FOB atau seseorang dari Asia. Dan rasanya aneh untuk berada di satu grup atau grup lainnya. Saat saya bilang saya dari Indonesia, saya rasa ada ketidakpedulian tertentu sehingga mereka berkata, “Oh bahasa Inggris kamu bagus banget!” seakan-akan bahasa Inggris bukan bahasa universal. Dan mereka bertanya, “Di Jakarta kayak gimana sih?” Dan saya biasanya bilang, Jakarta tuh kota juga kok. Ada beberapa bagian yang buruk, seperti sistem irigasi dan banjir dan lain-lain, tapi selain itu rasanya kota ini berkembang.

Iklan

kamu ngikutin perkembangan Indonesia?
Enggak sih, biasanya orangtua saya yang punya grup WhatsApp dan mereka ngepost video-video dan link-link soal kejadian terkini. Saya biasanya ngescroll aja tapi jarang terlibat dalam politik atau berita di dalam negeri, tapi saya tahu sebaiknya saya ngikutin.

Kapan terakhir kali ke Jakarta?
2014.

Udah rada lama ya.
Ya, tapi saya berencana balik di musim semi. Saya udah mengajukan visa seniman dan diterima pada bulan Agustus, dan saya harus ngambil visanya di Jakarta.

Apa kamu pernah merasa tidak yakin soal status imigrasimu atau dokumen legal di AS?
Itulah yang saya rasakan tahun lalu. Saya merasa saat kamu telah menyelesaikan OPT kamu mulai merasakan perasaan “Aduh saya mesti balik.” Ada lebih banyak kesempatan di sini yang membantu kelangsungan karir saya, tapi orangtua saya mikirnya, “Kamu mau jadi ikan besar di kolam kecil atau ikan kecil di kolam besar?” Saya masih mau di sini karena saya terpapar pada kesempatan yang berbeda-beda. Jadi saat saya mengurus visa seniman dan itu rasanya sangat rumit, kami mengurusnya dengan seorang pengacara. Saya senang sih, akhirnya lewat juga. Lega. Saat saya terima emailnya rasanya kayak, “Yes.”

Apakah pengalaman tinggal di New York menginspirasi karyamu?
Sewaktu saya ke New York, itu jelas jadi katalis sih. Saya dikelilingi banyak banget energi kreatif dari orang-orang di sekitar saya. Kota ini sangat menginspirasi. Jadi saya mulai menggeluti fotografi dengan lebih serius. Lebih banyak perusahaan menghubungi saya, setelah saya mendapatkan respon di media sosial. Saya selalu ngepost hal-hal yang penting bagi saya, dan kisah-kisah yang ingin saya ceritakan. Dan mereka menghubungi saya berdasarkan hal itu. Serial Muse dan NORIENTAL yang saya gagasa, selalu awalnya dari situ, jadi saya bangga sekali.

Iklan

Saya rasa NORIENTAL adalah proyek yang akan terus berlanjut seumur hidup saya. Ini keren banget sih melihat progresnya.

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.

"My full name is way too long for people to remember but it is DG Nur Atikah Binti Karim. I prefer to be called Atikah. “DG” stands for dayang represent. I’m half Bruneian from my mom's side and half Bajau from my dad's side. So I’m basically of bajau race, born and raised in east Malaysia : Kota Kinabalu, Sabah. I am passionate about fashion and the beauty during the 90’s era." Foto oleh Elizabeth Wirija

"We're Maham and Alvina. Our parents were born in Lahore, Pakistan. We're first generation. Growing up in Long Island, our parents wanted to preserve Pakistani traditions and beliefs so we were aware of our roots and culture." Foto oleh Elizabeth Wirija

"I'm Bea, I'm 23 years old. I was born in Cali but moved to NY when I was eight. Both my parents came from the Philippines and I am first of the first generation Asian American in my family." Pictured is a lion imperial statue. They usually guard temples or royal kingdoms. It represents a deity/spirit that protects a revered place. Foto oleh Elizabeth Wirija

"My name is Pat, I’m 19 years old and I’m Chinese-Indonesian. I was born in Indonesia and grew up in Queens, NY. What I’m passionate about is so fluid, constantly changing; I feel so much love for new things I discover, I’m all about investing my all into a cause, something that inspires me, whether it be an artist, an album, anything. Right now I’m passionate about Kelela’s new album, passionate about my friends & the queer POC community, about the fall and what has the capacity to change. I’m passionate about the brewing revolution underway, I’m excited for the intensity my generation will bring, and is bringing as we speak, in the politics of our actions & art. I love going out, getting dressed up and pulling crazy looks with my best friends and making these wild memories while we’re young. It’s so enticing because people pay attention. Strangers get inspired, they glean a sense of empowerment from our unapologetic boldness, and I’m all for that, breaking down cishet normativity one look at a time. We get our photos taken on the train, people are so surprised by our presence but we’re just having fun. Sometimes people are scared of us, but one day they won’t be, and that’s the point of all of this— normalizing what is strange and unnerving and ultimately beautiful. I fully support my friends & the art they make, so so proud of their strength & blind courage and want to spread that strength to as many people and communities as possible. I’m passionate about the velocity and transformative power of it all, and interested in how it will manifest over the coming years. I feel like the only “perfect” time for intense & shocking change is the present, and I know for a fact all the people around me, the queer POC I cherish so much, the work we do and the energies we put out is so contagious. The energy present in community and continuity, especially when it feels like the world wants the opposite from QPOC, is enough to spur true revolution." Foto oleh Elizabeth Wirija

"Asian american studies in itself is a way of life. I have learned so much through my research and experience. We experience so many micro-aggressions daily that we don't recognize because we are just not aware or have the capability to realize. I have a love-hate relationship with being angry. I'm always upset about something but I also think I deserve to be. I really appreciate being able to get offended. Because I know the full extent and implications of the injustices & discrimination happening to and around me. You just realize all these things about yourself and those around you. We all have different and specific struggles, but learning about asian american studies taught me about so much more than that. I'm definitely the black sheep of my family and I always have been. I think that my environment tries to put that pressure on me but I fight against it so hard that I forget that these expectations of being an asian woman exist." Foto oleh Elizabeth Wirija