FYI.

This story is over 5 years old.

Kombatan Anak

Sulitnya Menghentikan Rekrutmen Kombatan Anak oleh Sel Teror di Indonesia

Ratusan anak di bawah umur dibujuk sel teror agar mau bertempur untuk ISIS, tapi pemerintah tak mampu melacaknya.
Ilustrasi kombatan anak oleh Dini Lestari.

Pada pertengahan September 2016, sembari menenteng senapan AK-47 andalannya, Hatf Saiful Rasul, bocah usia SMP asal Indonesia, berjalan bersama dua temannya di kota Jarablus. Kota ini berjarak 159 kilometer di utara Raqqa, Suriah. Hatf saat itu ditugaskan berpatroli oleh atasannya di komando Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Sehari sebelumnya, Hatf mendapat jatah libur tiga hari. Tak berapa lama kemudian bom yang diluncurkan serangan udara koalisi AS meledak di dekat tempat Hatf berdiri, tubuhnya terpental dan tercerai berai. Hatf tewas seketika, hanya dua bulan sebelum ulang tahun ke-13.

Iklan

Hatf hanya satu dari 99 anak WNI yang teridentifikasi bergabung dengan ISIS di Suriah, menurut data pemerintah. Ayah Hatf adalah Syaiful Anam alias Brekele, terpidana hukuman 18 tahun penjara pada 2007 karena menjadi otak serangan bom di Tentena, Poso, yang menewaskan 20 orang dan melukai lebih dari 40 orang pada 2005. Problemnya, ada banyak bocah macam Hatf di luar sana. Itu kesimpulan seminar membahas persoalan kombatan anak di Jakarta pada 2 Mei lalu. Ketika warga Indonesia terpanggil ikut terlibat jaringan militan, ratusan anak turut serta bersama keluarganya untuk menjadi kombatan. Masalah berat muncul lantaran pemerintah tak memiliki program khusus untuk mendata, lebih-lebih merehabilitasi anak-anak tersebut.

Kembali ke Hatf. Bagaimana bisa bocah seumurnya lolos hingga Suriah? Rupanya modus keberangkatan Hatf menyeupai kombatan anak dari jaringan khilafah lain. Dia berangkat ke Suriah bersama paman dan bibinya Agustus 2015. Beberapa bulan sebelum berangkat, Hatf mengunjungi ayahnya di lapas Nusakambangan. Dia meminta restu. Keinginan Haft angkat senjata di Suriah telah menggebu. Ia ingin mengikuti jejak ayahnya untuk berjihad. Maka Brekele pun merestui kepergian Hatf.

“Alhamdulillah, sebenarnya Abi [Brekele] juga sangat menginginkan Hatf berangkat, hanya Abi belum yakin apakah Hatf siap atau tidak. Maka saat itu Hatf sendiri yang meminta, apalagi Ummi [ibu] juga setuju, urusannya jadi lebih mudah,” tulis Brekele dalam memoarnya untuk mengenang Hatf.

Iklan

Setiba di Suriah, Hatf langsung bergabung dengan kamp pelatihan militer Mu’asykar Tadhrib Al’am selama dua bulan. Bersama orang dewasa dan anak-anak lain, di sana ia belajar teknik dasar militer selama dua bulan dan dinyatakan lulus dengan baik. Konon Hatf sanggup membongkar pasang senapan AK-47 hanya dalam 32 detik. Ia dibekali satu pucuk senapan AK-47, pistol kaliber 9 mm, dua granat tangan, dan kompas.

Hatf adalah anak mandiri dan lancar berbahasa Arab. Merujuk memoar Brekele, Hatf adalah anak yang rajin membantu orang tua dan adik-adiknya. Ia kerap membantu memasak dan mencuci pakaian selama ditinggal Brekele dalam pelarian. Setelah lulus pelatihan militer, Hatf bergabung bersama Kitabah Prancis (unit militer ISIS yang terdiri dari militan asal negara-negara berbahasa Prancis) dan ditempatkan di Aleppo.

Selama bertempur bersama ISIS, Hatf sempat terluka saat serangan udara koalisi menggempur Raqqa. Tiga temannya tewas. Hatf kehilangan fungsi pendengarannya namun kembali bertempur beberapa minggu kemudian setelah pulih.

Kabar kematian Hatf baru terdengar di Indonesia pada September 2017, setelah Reuters melaporkannya. Sebelum Hatf, putra sulung terpidana mati bom Bali Imam Samudera, Umar Jundul Haq, juga dilaporkan tewas pada Oktober 2015 saat berusia 19 tahun di kota Deir ez-Zur.

Hatf dan Umar hanya dua nama yang terdeteksi menjadi tentara anak dalam komando ISIS. Dalam sejarah sebuah konflik insurjensi, anak-anak seusia Hatf kerap dijadikan sebagai tentara anak.

Iklan

Sesudah konflik pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, konflik sektarian Ambon, Poso, konflik integrasi Timor Leste, hingga sekarang direkrut ISIS, ratusan anak Indonesia dipaksa untuk terlibat dalam kegiatan paramiliter. Mereka ditugaskan menjadi kombatan, mata-mata, tukang masak, hingga tukang angkut. Terkadang paksaan tidak selalu jadi isu utama. Dalam banyak kasus 10 tahun terakhir, anak di bawah umur secara sukarela ingin mengangkat senjata. Terutama jika terkait operasi ISIS di Timur Tengah.

Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones, mengatakan pemerintah wajib lebih peduli atas kombatan anak. Sebab kini bukan cuma konflik yang memaksa anak-anak ikut mengangkat senjata. Dalam jaringan jihad, justru keluarga dan peran pendidikan yang membuat anak terpapar dengan ideologi kekerasan.

“Dalam propagandanya, ISIS justru menyasar para perempuan untuk membawa anak-anaknya dalam janji sebuah negara Islam yang murni,” kata Sidney. “Anak-anak perempuan dan laki-laki secara sukarela atau tidak, tak memiliki pilihan di sana.”


Tonton dokumenter VICE mengenai sekolah di Deli Serdang yang berusaha membebaskan anak terpidana terorisme dari stigma dan doktrin jihad menyimpang:


Pendidikan juga berperan besar dalam pembentukan karakter anak. Meski semua sekolah memiliki standarisasi kurikulum dari pemerintah, kebanyakan pesantren tak memiliki kurikulum dari pemerintah. Kelompok militan seperti Darul Islam, Jamaah Islamiyah, dan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) banyak membangun pesantren di seluruh Indonesia.

Iklan

Dari data UNHCR, JI yang disinyalir memiliki 900 anggota di Indonesia pada masa puncaknya, memiliki sistem indoktrinasi sistematis mulai dari taman kanak-kanak lewat pesantren-pesantren yang tersebar di Pulau Jawa. Sementara itu, Darul Islam yang bertransformasi menjadi Negara Islam Indonesia (NII), kemudian terpecah menjadi JAD, memiliki basis kuat di Jawa Barat dan mendirikan sekolah-sekolah dari TK hingga SMA sejak 1990-an.

Hatf, sebelum pergi ke Suriah, terlebih dulu mengenyam pendidikan di pesantren Ibnu Masud di Bogor yang memiliki sejarah panjang radikalisasi Islam di Indonesia dan terindikasi memiliki hubungan dengan JAD. Pesantren tersebut menjadi tempat persembunyian otak bom Bali, Dulmatin, saat dalam pelarian. Sepanjang kurun 2013-2016, delapan pengajar dan empat murid—termasuk Hatf—berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam dari Kementerian Agama Kamaruddin Amin dikutip Reuters, mengakui pihaknya belum memiliki standardisasi untuk mengatur kurikulum di semua pesantren. Karenanya sulit bagi pemerintah mengontrol materi yang diajarkan di pesantren.

Perkara perlindungan anak dari perekrutan untuk menjadi kombatan tampaknya tak cuma berhenti pada peran keluarga dan pendidikan, tapi juga upaya pemerintah. Dari data pemerintah, lebih dari 600 orang telah bergabung dengan ISIS di Suriah. Dilaporkan 166 di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Ketika sekarang ISIS tak lagi menguasai kota-kota besar, pemerintah masih tidak tahu menahu soal nasib warga Indonesia yang bergabung dengan militan khilafah. Di luar angka tersebut tak kurang dari 482 warga Indonesia baik dewasa maupun anak-anak telah dideportasi oleh pemerintah Turki selama 2015 - 2017 karena mencoba masuk ke Suriah.

Iklan

Anak-anak seringkali dikesampingkan dalam narasi kontraterorisme pemerintah. Pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lebih fokus terhadap penanggulangan dan deradikalisasi narapidana dewasa. Padahal dari sumber BNPT setidaknya ada 3.000 anak di Indonesia yang rentan atau sudah terpapar ideologi radikal. BNPT, selain hanya mengandalkan deradikalisasi di dalam penjara, tak memiliki program untuk menangani anak-anak secara khusus.

BNPT sebatas bekerja sama dengan Kementerian Sosial ketika menangani anak-anak dari keluarga yang dideportasi dari Turki, lewat program rehabilitasi sebelum diperbolehkan pulang ke rumah. Program rehabilitasi tersebut biasanya dilakukan oleh Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani di Jakarta Timur.

Neneng Heryani, kepala PSMP Handayani, mengatakan program rehabilitasi untuk anak-anak yang dideportasi meliputi konseling psikologi, pendidikan Pancasila, dan pendidikan agama. Untuk melakukan program tersebut pihaknya juga bekerja sama dengan beberapa LSM, kata Neneng.

“Kami hanya melaksanakan program tersebut ketika BNPT atau Densus 88 mengamankan keluarga yang dideportasi,” kata Neneng kepada VICE Indonesia. “Kebanyakan dari mereka masih trauma dan tertutup, mungkin karena kecewa tidak bisa masuk ke Suriah.”

Selebihnya tak banyak yang dilakukan oleh pemerintah untuk secara aktif merangkul anak-anak dari berbagai latar belakang konflik.

Sidney Jones sendiri pesimis melihat kemampuan pemerintah mengelola reintegrasi anak-anak yang sempat terlibat dalam konflik untuk kembali ke masyarakat dan melanjutkan hidup. Negara ini, menurut Sidney, selalu terbentur birokrasi dan keterbatasan sumber daya. LSM menurut Jones, justru lebih memiliki inisiatif, jejaring, dan sumber daya yang memadai untuk membantu anak-anak keluar dari lingkaran konflik dan trauma psikologis.

Sidney belum melihat kesiapan pemerintah seandainya 600 lebih warga Indonesia yang berada di Suriah memutuskan untuk pulang. Pemerintah sendiri tidak belajar banyak soal rehabilitasi anak-anak pasca konflik Aceh, Ambon, ataupun Poso. Padahal menurut Sidney, konflik berdarah memiliki dampak jangka panjang pada psikologi anak.

“Jujur saja, kegiatan seperti dialog lintas agama itu sia-sia,” kata Sidney. “Karena hal tersebut tidak menyentuh akar permasalahan. Akar permasalahannya ada di level bawah, maka perlu pendekatan dan penyelesaian di akar rumput.”