Artikel ini pertama kali tayang di VICE Germany.
Sepanjang pengalaman saya bekerja sebagai wartawan VICE, saya sering mendapati komentar (atau sindiran?) pembaca kalau anak-anak VICE tukang nyimeng. Ada anggapan lo mesti pro ganja kalau mau kerja di sini. Yah, saya tidak heran juga kenapa bisa muncul asumsi seperti itu. Coba ketik saja kata kunci “ganja” di kolom pencarian VICE, kalian akan menemukan ratusan artikel tentang tanaman tersebut.
Videos by VICE
Pada kenyataannya, saya acuh tak acuh soal ganja. Saya berpegang teguh pada keyakinan ganja bikin kita malas dan suka ngelantur – setidaknya begitulah yang saya lihat di televisi dan media lainnya.
Namun, pandangan masyarakat mengenai mariyuana sudah banyak berubah seiring perkembangan zaman. Di negaraku, Jerman, pemerintah tengah berupaya melonggarkan aturan kepemilikannya, khususnya untuk konsumsi pribadi. Jika seandainya benar dilegalkan, itu artinya 4,5 juta warga Jerman tak perlu lagi diam-diam memakai ganja.
Saya merasa tertantang untuk mengenal lebih dekat tanaman ini. Apa sih yang spesial darinya? Mengapa mariyuana diperlakukan berbeda dari jenis narkoba lainnya? Rasa penasaran itulah yang membawaku sampai di depan bangunan bekas rumah jagal yang berada di kota Ebersbach, selatan Jerman. Bangunannya telah beralih fungsi menjadi ladang ganja medis. Di sana, saya hendak melihat langsung tanaman obat yang siap panen.
Setibanya saya di lokasi, kedua mata seketika membeliak ke arah kamera CCTV yang terpasang di setiap sudut bangunan. Saya menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menghampiri seorang laki-laki yang telah menunggu kedatanganku. Hari itu, Muhammad Abd El Qadir berperan sebagai tour guide yang akan mendampingi saya berkeliling di ladang seluas 100.000 meter persegi.
“Santai aja. Saya yang bawa dia ke sini,” kata El Qadir saat kami dicegat satpam. Pemandu saya ini aslinya anggota pers Demecan, salah satu perusahaan yang diizinkan menanam ganja medis di Jerman.
Ladang yang lebih mirip laboratorium itu bisa memproduksi hingga satu ton bunga setiap tahun. Hanya saja, hasil panen Demecan belum memenuhi permintaan ganja medis yang cukup tinggi di negara ini. Menurut Federal Institute for Drugs and Medical Devices, Jerman mengimpor sebanyak 20 ton ganja per tahun untuk pengobatan.
Demecan bisa saja menghasilkan lebih banyak ganja di lahan seluas itu, tapi sayang terhambat batasan dari pemerintah.
Saya mengikuti El Qadir ke ruang tunggu. Ternyata, untuk bisa masuk ke dalam laboratorium, kita perlu pakai sandal yang sudah disediakan di sana. Kami kemudian menuju ruangan lain untuk cuci tangan dan ganti sandal lagi. Sebelumnya saya pakai Crocs merah, sekarang saya pakai sandal hijau yang bunyi cit cit cit di lantai.
Tiba-tiba, El Qadir menyodorkan baju hazmat putih dan penutup kepala transparan. Kami wajib mengenakan pelindung supaya tanamannya tidak terkontaminasi kuman. Dan yak… Saya disuruh cuci tangan lagi setelahnya. Baru, deh, kami boleh masuk ke ladang.
Aroma tajam khas jeruk sekonyong-konyong menusuk indra penciuman sewaktu kami memasuki ruangan. Akan tetapi, saya tidak melihat apa pun selain lorong putih panjang dengan deretan pintu di setiap sisinya. Lagi-lagi, CCTV terpasang di sekeliling saya. Seolah-olah membaca pikiranku, El Qadir berbisik kalau dia sering tersesat di sana.
“Nah, ini bayinya,” ujarnya sambil menunjuk ke arah lemari es raksasa. Kulkas itu penuh wadah plastik berisi tunas pohon ganja. Pupuknya terlihat seperti cairan kental.
Menurut El Qadir, Demecan menanam bahan stek yang berasal dari strain bubba kush dan orange velvet. Hmm, pantas saja saya seperti mencium aroma jeruk. Rupanya dari tanaman ini.
Setelah mencapai ukuran yang ditentukan, pohonnya akan ditanam di pot busa kuning yang dilengkapi alat GPS. Kenapa dipasang GPS? Ya biar enggak dicolong lah.
Selanjutnya, kami mengunjungi “ruangan bunga” yang sejuk. Di sana, barisan pohon setinggi hampir satu meter mendapat pencahayaan lampu kuning. Usia tanaman sekitar 3-4 bulan, dan sedang berbunga. Pohon-pohon itu terus tumbuh hingga siap dipanen. Ladang Demecan bisa panen sebulan dua kali.
El Qadir kemudian mengajakku ke ruangan lain. Kedatangan kami disambut sekelompok anggota lab berjubah hijau yang sibuk memetik bunga di atas meja besi. Sisa-sisa batang tumbuhan berceceran di lantai. Musik hip-hop era 90-an menggelegar seisi ruangan.
Hari itu, mereka sukses memanen 50 kilo ganja. Beberapa mahasiswa dan pejabat pemerintah turut membantu meringankan tugas staf laboratorium. Para mahasiswa yang saya temui di sana berasal dari Berlin. Mereka semua bekerja paruh waktu di kantor pusat.
‘Wah, enak dong mereka kebagian memetik ganja. Bisa sekalian teler gratis, gak tuh?’ Eits, kalian salah besar. Aroma yang keluar dari tanaman kalah sama pengharum ruangan.
Saya bertanya kepada seorang karyawan, pernah teler gak selama bekerja di divisi ini?
“Entah ya, saya sendiri kurang yakin. Kebetulan saya sedang menjalani perawatan pakai ganja,” jawab Michael Müller. “Teman-teman dulu suka bergurau, saya gak ada bedanya dengan bandar narkoba. Tapi saya tidak peduli. Sampai sekarang pun saya masa bodoh dengan gurauan-gurauan itu.”
Faktanya, tetrahidrokanabinol (THC) yang merupakan senyawa utama tanaman ganja, dilepaskan selama proses pemanasan. Zat ini bersifat psikotropika yang bisa menimbulkan efek halusinasi. Dengan kata lain, kamu tidak akan teler kalau cuma berada di dekat tanamannya. Efek itu baru terasa ketika tanamannya dibakar.
Ganja bermanfaat bagi kesehatan jika dipakai sewajarnya. Tanaman obat ini dapat mengurangi rasa nyeri hebat, meredakan gangguan kecemasan, dan mengatasi insomnia. Tak hanya itu saja, ganja bisa menjadi obat epilepsi, kejang otot hingga sklerosis ganda. Bahkan ganja bisa membantu mengurangi rasa mual selama kemoterapi, atau meningkatkan nafsu makan bagi penderita anoreksia.
Semua tanaman yang sudah dipetik akan dibawa ke ruangan lain. Di sana, mesin otomatis siap membabat habis bunga dari daunnya. Semua staf wajib memakai masker oksigen mirip helm astronot supaya tidak kena percikan yang menyembur dari mesin.
Pucuknya dituang ke dalam bak logam, lalu dikeringkan dengan oven selama beberapa hari. Setelah kering, staf laboratorium akan membungkusnya dengan plastik, dan ganja siap dikirim ke apotek.
Saya belajar banyak dari penjelasan El Qadir dan staf yang bekerja di ladang ganja itu. Setelah saya pikir-pikir kembali, klaim ganja membuat pemakai bermental lembek mungkin tidak sepenuhnya benar. Tanaman ini mungkin bisa memberikan efek positif jika kita tidak menyalahgunakannya.
Ikuti petualangan penulis lewat foto-foto berikut: