Wacana untuk menjaga politik tak masuk lapangan sepakbola tak pernah semenggelikan seperti dalam konteks Piala Dunia 1978 yang digelar di Argentina. Kepastian Argentina sebagai tuan rumah Piala Dunia sudah ditentukan 12 tahun sebelumnya. Saat itu, kondisi Argentina terhitung aman dan tenang, meski terjadi beberapa kali kudeta militer pelengseran sejumlah pemerintah sipil. Namun, begitu Piala Dunia 1978 digelar, kondisi sudah berputar 180 derajat.
Jorge Rafael Videla, yang jadi orang nomor satu di Argentina lewat sebuah kudeta yang terjadi dua tahun sebelumnya, sudah kebelet ingin mengubah citra Argentina dalam pandangan internasional. Kediktatoran Videla menjadi awal mula, “Dirty War,” masa-masa kelam ketika militer Argentina dan pasukan pembunuh ekstrem kanan menghabisi puluhan ribu orang dengan dalih memerangi pasukan pemberontak Marxis.
Videos by VICE
Kenyataannya, para korban dan desaparecidos (atau “orang hilang”) di antaranya terdiri dari trade unionist, mahasiswa, artis, pemuka agama, pekerja, intelektual Argentina(Gampangnya, semua orang yang menganut ideologi bersebrangan dengan Videla dan militer Argentina. “Dirty War” mencoreng muka Argentina dalam pergaulan global. Sejumlah organisasi hak asasi manusia di luar Argentina menuding pemerintahan junta militer Videla bertanggung jawab atas beragam pelanggaran HAM seperti penyiksaan, eksekusi tanpa peradilan dan teror yang diinisasi negara.
Seiring ramainya kecaman negara barat terkait desaparacidos dan seruan lantang pemboikotan di sejumlah negara, tak diragukan lagi bila Piala Dunia 1978 kental dengan nuansa propanda yang digalakkn junta militer dan Videla, kendati hal itu baru akan efektif jika Argentina keluar sebagai kampiun.
Alhasil, begitu peluang Argentina lolos dari fase grup ditentukan oleh pertemuan mereka dengan Peru, rasanya tak berlebihan jika pemirsa sepakbola saat itu berprasangka bahwa junta militer turun tangan mengatur hasil akhir pertandingan. Argentina—yang harus menang dengan selisih empat gol agar bisa menyingkirkan Brazil—akhirnya unggul dengan skor 6-0 tanpa banyak perjuangan.
Di bawah kepelatihan Cesar Luis Menotti, seorang sosialis yang kerap merokok bak kereta dan dimotori oleh pemain legendaris Mario Kempes yang memimpin kawank-kawannya yang sepakat mencukur rambutnya dengan gaya Shaggy, Albiceleste memang lebih diunggulkan dari Peru. Kendati demikian, meski sudah tak berpeluang melaju ke fase knockout, Peru dianggap sebagai skuad yang cukup kompeten sepanjang fase grup. Lebih dari itu, sepanjang fase grup margin kemenangan terbesar Argentina cuma 2-0 saat bertemu dengan Polandia.
Dari awal pertandingan, aroma konspirasi sudah kuat tercium. Argentina memulai laga setelah pertandingan yang dijalani Brazil dimulai. Artinya, Argentina tahu target skor akhir yang harus mereka capai. Setelah itu, bermunculanlah berbagai macam teori konspirasi. Salah satunya mengatakan bahwa Videla dan mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger—dua orang negarawan yang tangannya berlumuran darah rakyat tak berdosa—dikabarkan mengunjungi ruang ganti timnas Peru.
Tujuannya? mereka cuma ingin menegaskan aroma “persahabatan” dalam laga kontra Albiceste dan harapan rakyat Argentina akan hasil akhir pertandingan. Apakah yang disampaikan keduanya adalah pesan politik yang terselubung? entahlah. Yang jelas, Kissinger menyangkal dirinya pernah masuk ruang ganti timnas Peru.
Skor baru 2-0 untuk Argentina saat turun minum. Memasuki babak kedua, sebuah kejanggalan terjadi. Midfielder Jose Velasquez, salah satu pemain terbaik Peru, malah diganti tak beberapa lama setelah peluit tanda babak kedua berjalan ditiup. Velasquez sendiri sampai saat ini masih susah mempercayai pergantian itu. Saatdiwawancarai Channel 4 News pada 2012, Velasquez mengatakan: “Ya, kami memang ditekan untuk kalah. Bentuk tekanannya seperti apa? tekanannya datang dari pemerintah kami, menurun ke manajer tim dan akhirnya dari manajer turun lagi ke pelatih.”
Awal tahun ini, Valesquez bicara lebih banyak lagi dalam sesi interview dengan media Peru, Trome. Dia mengklaim setidaknya enam pemain Peru menerima suap sebelum laga lawan Argentina berlangsung. Klaim ini jelas langsung ditampik oleh keenam orang yang disebutkan oleh Velasquez, kendati beberapa anggota skuad Peru 1978 justru mendukung tudingannya Velasquez dengan mengatakan ada yang tak beres di tim Peru saat itu.
Saat teori konspirasi tentang kekalahan telak Peru oleh Argentina mulai mengemuka, banyak yang menyoroti fakta bahwa Ramon Quiroga, kiper Peru, ternyata dilahirkan di Rosario, Argentina. Quiroga menjadi warga Peru lewat proses naturalisasi. Tambahan lagi, dia adalah salah satu dari enam orang yang menurut Valesquez menerima suap, kendati tersiar kabar Quiroga melaporkan Velasquez kepada pihak berwenang Peru atas tuduhan pencemaran nama baik.
Beberapa teori lainnya yang sudah disingkirkan bertahun-tahun lalu mencakup: kemenangan Argentina adalah bayaran atas kiriman gandum besar-besaran dan pencarian aset Peru senilai $50 juta; Argentina unggul karena wasit memihak Argentina; atau pemain Argentina memakai Amphetamine untuk mendongkrak performa pemainnya hingga berjaya sepanjang Piala Dunai 1978 berlangsung.
Pada 2012, mantan senator Peru dan buronan Genaro Ledesma menuduh bahwa selama Operation Condor—gerakan kekerasan brutal yang dilakukan bersama-sama oleh sejumah pemerintahan diktator sayap kanan terhadap simpatisan sayap kiri—Peru mengirim 13 warganya ke sejumlah penjara di Argentina. Ketiga belas orang tersebut disiksa dan dipaksa menandatangani pengakuan palsu. Menurut Ledesma, Videla hanya menerima 13 warga negara Peru dengan syarat timnas Peru membiarkan Argentina menang.
Sampai saat ini, tak ada satupun dari teori di atas yang didasari bukti yang menyakinan. Tak pelak, mantan midfielder timnas Argentina, Ossie Ardiles—seakan memawakili pandangan sebagian besarnya di timnas Argentina 1978—mengatakan kepada The Daily Mail: “Semakin sering aku mendengar teori-teori itu, semakin aku yakin tak satupun yang benar.”
Lolos ke babak knockout, Argentina tak terbendung lagi. Di laga pamungkas, Mario Kempes cs menjungkalkan Belanda dengan skor 3-1. Argentina pun membawa pulang trofi Piala Dunia untuk pertama kali.
Di akhir kompetisi yang dijuluki Videla sebagai “Piala Dunia Perdamaian,” timnas Argentina mabuk dengan rasa bangga mereka, setelah berhasil mengukuhkan negaranya sebagai kampiun Piala Dunia. Sementara itu, pemerintah junta militer Argentina bisa puas lantaran kemenangan yang nilai propandanya tinggi itu sudah berhasil diraih.
Kediktatoran Videla mungkin hanya bertahan sampai 1981—pemerintah militer Argentina akhirnya runtuh setahun kemudian di bawah pimpinan Leopoldo Galtieri setelah kalah dalam Perang Falklands—namun kemenangan Argentina memungkinan junta militer Argentina terus melakukan berbagai jenis pelanggaran HAM. Dalam pengakuannya sekian tahun setelah jadi kampiun Piala Dunia 1978, gelandang Ricky Villa mengaku: “Kami sudah dijadikan alat politik. Saya yakin betul.”
Lalu, apakah semua penggemar sepakbola di Argentina diam-diam percaya bahwa Peru kalah karena inteferensi Videla? ternyata tidak. Peter Coates, penulis sepakbola yang bermukin di Buenos Aires dan pria di balik portal berita sepakbola Golazo Argentino adalah salah satu orang tegas menolak anggapan tersebut
“Terlepas dari pemberitaan tentang kunjungan Videla dan Henry Kissinger mengungjungi ruang ganti timnas Peru sebelum pertandingan dan adanya klaim Argentina mengirim gandum dan senjata mencairkan aset sejumlah aset milik Peru yang dibekukan, susah dipercaya kalau telah terjadi pengaturan skor,” ujarnya lewat sebuah surel. “Pasti, skuad Argentina tak memercayai desas-desus ini.
Mengingat Peru bermain baik di paruh pertama pertandingan. Beberapa tendangan pemain Peru membentur mistar gawang dan penjaga gawang Peru berulangkali melakukan penyelamatan penting. Ini jelas bukan performa sebuah kesebelasan yang akan kebobolan empat gol di babak kedua…Namun, kalau Argentina yang kalah, mungkin perilaku orang akan sangat berbeda.”
Yang jelas, dengan begitu banyaknya teori konspirasi menyangkut laga Argentina vs Peru di Piala 1978, pada akhirnya kita mungkin tak benar-benar usaha apa saja yang ditempuh pemerintah junta militer Argentina untuk memenangkan pertandingan itu. Yang pasti tak semua anggota skuad Argentina puas dengan hasil akhir pertandingan itu.
Leopoldo Luque, mantan penyerang Albiceleste yang mencetak empat gol selama Piala Dunia 1978, berbicara selang bertahun-tahun kemudian tentang caranya mengenang Piala Dunia 1978.
“Berbekal semua yang saya tahu sekarang, saya tak bisa bilang saya bangga dengan kemenangan timnas kami,” ujarnya. “Tapi kami tak menyadarinya—kebanyakan dari kami tak menyadarinya. Kami cuma bermain sepakbola.”
Follow penulis artikel ini di akun @W_F_Magee
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.