Kebanyakan orang bepergian sekadar untuk liburan dan melepas penat setelah melewati minggu yang panjang. Tetapi bagi lelaki 20 tahun ini, traveling sudah menjadi gaya hidupnya.
Menjuluki dirinya “pelancong ekstrem”, Shubham Yadav sukses menjelajahi dunia dengan modal pas-pasan. Dia telah menempuh 55.000 kilometer dan melintasi 40 negara dalam kurun empat tahun saja. Tak sekali pun dia menaiki pesawat, semuanya dilalui jalur darat. Dari menyelami pasar uang gelap di Sudan hingga mengunjungi bekas rumah Osama Bin Laden, dia hanya mengandalkan kedua kakinya dan tebengan pengendara di tiap negara.
Videos by VICE
Kontennya di kanal YouTube Nomad Shubham disajikan apa adanya — sederhana, spontan dan penuh cerita. Meski tidak seglamor influencer lain, dia mampu mengumpulkan lebih dari 1,7 juta subscriber.
Bagi Shubham, mempersiapkan visa dan berkas-berkas lainnya merupakan hal utama yang perlu dilakukan sebelum memulai perjalanan ke suatu negara. Sisanya dibiarkan mengalir begitu saja.
“Saya bisa menunggu hingga berhari-hari di tepi jalan sampai ada yang memberi tumpangan,” tuturnya. “Di lain waktu, saya sampai tidur di pom bensin, kantor pemadam kebakaran atau bahkan kantor polisi. Saya tidak pernah membuat rencana dan cuma mengikuti arus. Kalau beruntung, seseorang akan mengajak saya menginap di rumah mereka.”
Kadang-kadang, dia juga menggunakan Couchsurfing — situs yang menghubungkan pelancong dengan penduduk setempat yang bersedia memberi penginapan gratis di rumah mereka — atau bekerja di hostel sebagai ganti biaya sewa. Anggaran hariannya sekitar Rs 500 (Rp96 ribu), berasal dari pemasukannya sebagai guru les online dan YouTuber.
Petualangan demi petualangannya memacu adrenalin. Selalu ada momen menantang di setiap langkah lelaki India. Dia pernah berenang di perairan Siberia yang sedingin es, juga duduk berdesakan di truk yang mengangkut batu bara di Rusia.
Sosoknya yang masih remaja mungkin tak pernah menyangka suatu saat nanti akan menjadi pengembara. Jika bergerak mundur hingga 2017 silam, satu-satunya ambisi bocah 16 tahun ini adalah belajar dengan giat supaya bisa masuk universitas unggulan dan mendapat pekerjaan bagus. Dalam angan-angannya, uang gaji nantinya ditabung untuk keliling dunia.
Impian Shubham memang tercapai, tapi dengan cara yang tak pernah dia duga sebelumnya. Dia pertama kali mengenal hitchhiking dari video TEDx Talk berjudul “Cara berkeliling dunia tanpa keluar banyak uang”. Dalam video yang ditonton di sela-sela jam belajar, vlogger Tomislav Perko menekankan kita dapat bepergian jauh hanya bermodalkan menumpang kendaraan. “Saya belum pernah bepergian sebelumnya, tapi ingin sekali jalan-jalan,” ungkap Shubham saat berbicara dengan VICE melalui telepon. “Saya bahkan tidak tahu apa itu hitchhiking […] tapi tertarik mencobanya.”
Dia segera memantapkan hati untuk melakukan ekspedisi pertamanya sejauh 673 kilometer. Dia berangkat dari desanya di Kota menuju Jaisalmer, kota di negara bagian Rajasthan yang kaya sejarah dan terkenal akan padang pasir serta seni tradisionalnya.
“Baru kali itu saya merasakan semangat yang menggebu-gebu dalam hidup,” kenang Shubham. “Sejak perjalanan pertama, saya sadar tidak bisa berhenti.”
“Saya ingin menguji seberapa jauh saya bisa bepergian tanpa pesawat, yang merupakan moda transportasi utama bagi pelancong,” terangnya. “Jadi saya berangkat dari India menuju Bangladesh, Myanmar, Azerbaijan, Mongolia, Afrika Selatan, Kazakhstan dan bahkan Rusia melalui jalur darat.”
Tahun lalu, petualangan Shubham terpaksa terhenti untuk sementara. Dia menetap di Azerbaijan selama beberapa bulan akibat lonjakan kasus COVID-19. Pembatasan berskala bebas juga mempersulit proses pengajuan visa ke Irak, negara yang sangat ingin dia kunjungi sejak kecil.
Walaupun begitu, sisa perjalanannya dikemas dalam kisah mendebarkan, seperti saat dia tidak sengaja mengonsumsi narkoba lokal, mencicipi kelezatan makanan tradisional dan berurusan dengan penegak hukum.
“Saat di Etiopia, seorang perempuan menawarkan saya dedaunan,” dia menceritakan kembali kejadian di masa lalunya. “Saya baru sadar setelah makan kalau itu narkoba lokal bernama Khat, yang legal dan banyak dikonsumsi di Afrika Selatan, sama seperti bhang (makanan yang mengandung perasan ganja) di India. Orang memakannya sebagai lauk sarapan. Mulut akan mati rasa dan kepala kliyengan selama berjam-jam.”
Shubham mengungkapkan keterbatasan bahasa menjadi tantangan terbesar dalam perjalanannya. Kesalahan dalam pemilihan kata, sekecil apa pun itu, bisa memberikan arti yang sangat berbeda.
“Kita mustahil bisa mempelajari semua bahasa, jadi saya biasanya mengandalkan Google Translate. Saat saya naik kereta di Mongolia, saya meminta diambilkan sendok oleh kondektur. Sendok berarti ‘chammach’ dalam bahasa Hindi, tapi aplikasi mendengarnya ‘chumma’ yang berarti ciuman. Rasanya benar-benar canggung.”
Hidup di jalanan tidaklah mudah dan bisa sangat berbahaya.
“Saya pernah pergi ke Oymyakon di Rusia, yang merupakan wilayah terdingin di dunia. Saat itu suhunya minus 60 derajat Celcius. Saya beruntung mendapat tumpangan dari truk, tapi bannya kempes saat kami melewati jalanan beku selicin kaca. Kami nyaris terkena radang dingin saat mengganti ban.”
Shubham bersyukur tidak pernah menghadapi situasi yang mengancam nyawa, dan dia sadar sebagian besar alasannya karena dia laki-laki. “Saya biasanya bepergian di malam hari, sedangkan pelancong perempuan yang pernah saya temui tidak nyaman melakukannya. Saya memang pernah merasa risi disentuh sembarangan di Thailand, tapi pengalaman saya sebagai laki-laki jauh lebih aman daripada mereka-mereka yang perempuan.”
Dia juga menyinggung konsep hitchhiking yang relatif belum lazim di banyak negara. Tak sedikit warga lokal yang mengira Shubham menjajakan sesuatu pakai papannya. Padahal aslinya, dia sedang mencari tumpangan. Beberapa bahkan mencurigai gerak-gerik pemuda itu, dan melaporkannya ke polisi.
“Kayaknya saya sudah 10 kali digiring ke kantor polisi karena ‘mencurigakan’, terutama saat di Tiongkok,” ujarnya. “Saya juga ditahan tentara di Afghanistan sebulan sebelum Taliban berkuasa. Mereka mengira saya mata-mata dan menahan saya selama delapan jam. Setelah itu, saya diminta untuk segera pergi dari negara itu.”
Terlepas dari bahaya yang mengintai, Shubham percaya setiap pengalaman bisa memberi pelajaran berharga. Orang-orang yang tadinya tidak memercayai kita juga dapat berubah menjadi teman. “Seorang polisi di Tiongkok berbaik hati memberi saya tumpangan dan mengajak saya bertemu keluarganya di rumah. Saya rasa dengan bepergian seperti ini, kalian akan menyadari kalau sebenarnya manusia memiliki banyak kemiripan daripada perbedaan.”