Artikel ini pertama kali tayang di VICE Serbia.
Bulan lalu, tepat 25 tahun sejak dimulainya peristiwa pengepungan Sarajevo. Kala itu Tentara Republik Serbia menyerbu Bosnia Herzegovina karena hendak memisahkan diri, selepas Federasi Yugoslavia bubar. Bosnia dan Serbia tak bisa bersatu akibat berbagai faktor. Selain etnis, agama juga menjadi pemicunya. Penduduk Bosnia, mayoritas beragama Islam, merasa lebih bahagia jika merdeka. Berbagai insiden yang menandai pecahnya perang sudah terjadi sejak 1991, namun kekerasan sporadis baru benar-benar meledak setahun berikutnya. Insiden terbunuhnya keluarga etnis Serbia dalam pesta pernikahan 3 Maret 1992 akibat ulah milisi Bosnia, menjadi alasan yang dipakai militer menggempur Sarajevo.
Videos by VICE
Pada 5 April 1992, ribuan pasukan Serbia mengelilingi Sarajevo yang hanya dilindungi segelintir tentara Bosnia. Peperangan berlangsung tidak seimbang. Pengepungan berlangsung selama 1.425 hari, artinya benar-benar sepanjang Perang Bosnia terjadi. Selama itu pula, warga sipil Sarajevo harus bertahan menghadapi desingan peluru, bom yang bisa meledak kapan saja, serta serangan mortir sewaktu-waktu, siang-malam. Insiden itu menjadi pengepungan militer terlama sepanjang sejarah Eropa modern. Akibatnya pengepungan Sarajevo, 13.925 orang tewas, sebanyak 5.434 korban adalah warga sipil. Perang itu, yang akhirnya berakhir dengan kemerdekaan Bosnia, menelan korban lebih banyak lagi. Dilaporkan nyaris 100 ribu orang tewas, sementara 2,2 juta penduduk etnis Bosnia terpaksa menjadi pengungsi, menyebar ke seluruh dunia. Rangkaian peristiwa itu menjadi tragedi kemanusiaan terburuk Eropa modern setelah Perang Dunia II.
Berjarak seperempat abad, luka-luka akibat peperangan itu tak hanya ditanggung oleh warga, melainkan juga bangunan di seantero Sarajevo. Nyaris di seluruh rumah penduduk, bangunan di ruang publik, fasilitas olahraga, maupun komplek apartemen, masih ada sisa-sisa insiden pengepungan. Sebenarnya ini tidak mengherankan, mengingat rata-rata 329 mortir dilontarkan ke kawasan Sarajevo setiap hari, selama tiga tahun nonstop. Fotografer VICE Serbia, Irfan Ličina, memutuskan memperingati tragedi itu dengan merekam trauma kolektif yang masih disimpan dari sudut-sudut kota Sarajevo—wilayah yang pernah didapuk sebagai “Yerusalem-nya Eropa” berkat kekayaan sejarah dan keragaman budaya, sebelum pecah perang dengan Serbia.
Simak foto-foto Irfan Licina yang merekam berbagai sudut Kota Sarajevo setelah seperempat abad berlalu dari tragedi pengepungan Serbia.