Artikel ini pertama kali tayang di VICE Canada.
Saya ingat ketika saya sadar M. Night Shyamalan terancam jadi sebuah stereotip sutradara tertentu.
Videos by VICE
Pertama, ada versi olok-olok dari namanya: Shamalamadingdong. Saya enggak tahu pasti siapa yang mulai menggunakan nama konyol ini. Namun, Quentin Tarantino pernah terekam menyebutnya dalam rekaman tahun 2009, sembari memuji Unbreakable sebagai sebuah maha karya. (Mungkin ada hubungannya juga sih, tapi entahlah.)
Nama konyol itu terus digunakan untuk merisak Shyamalan sampai sekarang, miriplah kasusnya seperti Jono dipanggil temannya dengan Joni biar terdengar keren padahal aslinya secara tidak langsung kita bilang “nama Jono itu kampungan.” Selain itu, Manoj, nama depan sutradara penggemar twisted ending ini, selalu disingkat. Alasannya: biar lebih menjual. Ini kan kurang ajar, memangnya nama macam Manoj itu kesannya kurang komersil apa?
Kedua, ada sketsa dalam serial stop-motion Robot Chicken yang mengolok-olok dirinya. Seth Green, sang kingmaker Hollywood, membuat sketsa satu menit berjudul “The Twist” untuk salah satu satu seri Adult Swim yang tayang 17 April 2005. Bisa jadi kalian belum pernah nonton, tapi pasti pernah dengar punchline-nya.
“What a twist.”
Semua olok-olok terhadap Shyamalan ada di sana mulia dari keputuan untuk memberi aksen pada karakter pria berkulit coklat yang sebelumnya tak pernah bicara dengan aksen tebal, kesalahan menyebut nama yang terus diulang, dan punchline tiga kata yang selalu dijadikan hujatan sepanjang karir shyamalan.
Omong-omong, kenapa ya kita benci M. Night Shyamalan?
M. Night Shyamalan. Dia adalah salah satu nomintor sutradara terbaik termuda sepanjang sejarah Oscar. Shyamalan juga tak malu-malu menunjukkan pengaruh Alfred Hitchcock dalam karya-karyanya. Di awal karirnya, dia harus berjuang keras untuk menemukan suaranya sendiri—atau gaya penyutradaraanlah biar lebih cool kedengarnnya—di berbagai genre, dari film seni personal tentang pengalaman menjadi penduduk keturunan India di Amerika Serikat (Praying With Anger), film komedi keluarga yang dibintangi Rosie O’Donnell (Wide Awake) hingga menulis skenario Stuart Little (Khusus yang ini, twistnya adalah manusia ternyata enggak bisa mengadopsi tikus. Ya iyalah). Namanya baru dikenal banyak orang lewat The Sixth Sense yang beredar 1999.
M. Night Shamalamadingdong. Raja twist ending, yang kemudian jadi twist ending. Namanya memuncak terlalu cepat, dan kerap dapat kecaman parah kita twist yang disuguhkan olehnya terlalu konyol (The Village, The Happening) atau sebaliknya, engga begitu jelas (Ingat Lady in the Water yang jeblok itu?). Lewat pemilihan pemain dalam The Last Airbender, Shamalamadingdong tak sengaja memulai diskusi tentang “Racebending” dan menghancurkan masa depan live action dari sebuah film animasi yang digemari seluruh orang di penjuru dunia,
M. Night fucking Shyamalan. Semua andilnya dalam film yang memadukan pasangan ayah dan anak—Will dan Jade—dihapus dari materi promosi dan trailer karena Sony tak berani memasang namanya dalam poster After Earth). Membuat dua film berbudget rendah (The Visit dan Split). Keduanya laris manis di pasaran. Glass, film M. Night Fucking Shymalan berikutnya, adalah bagian terakhir dari sebuah trilogi yang digarap selama dua dekade lamanya. Kemungkinan film ini bakal jadi penebus dosa Shyamalan.
Terus Kenapa Kita Dulu Kita Suka Shyamalan?
Kebanyakan orang menyederhanakan karya Shyamalan sebagai film dengan twist ending tok. Tapi, kalau boleh urun pendapat, menurut saya sih, kekuatan film Shyamalan tak melulu di endingnya yang tak terduga. Misalnya The Sixth Sense, meski dikenal dengan twist endingnya yang memulai tren SPOILERS pada masanya, sejatinya tak melulu tentang ending yang bikin kaget. Cerita utamanya tentang seorang psikolog anak yang berusaha mengakrabi pasien terbarunya yang mengaku bisa melihat hantu. Bagi saya, plotnya sudah mencapai klimaks sebelum twist kondangnya terungkap.
Di situlah twistnya: plot terbaik yang pernah dibuat Shyamalan sesungguhnya tak harus diakhiri sebuah twist. Kalau pun harus diakhiri twist (seperti Unbreakable), penonton sudah tahu ujungnya bakal seperti apa.
Nama Shyamalan awalnya harum gara-gara bikin thriller keren yang cerdas tapi gampang dimengeri penonton mainstream. Sedekade kemudian Christopher Nolan yang melanjutkan kiprahnya dengan membuat film serupa. Belakangan, kita punya Denis Villeneuve.
Tapi beneran deh: Shyamalan tahu caranya merekam adegan.
Coba tonton adegan pembuka Unbreakable, ketika seorang dokter memberikan berita buruk—satu persatu—pada seorang perempuan yang baru jadi ibu, kita melihatnya adegan ini lewat pantulan kaca (ini yang kemudian jadi simbolisme keren jika kamu nonton lagi film itu sekarang)
Lihat juga, paras muka Mel Gibson yang melongok para penyelinap di sekitar rumahnya dalam Sign, atau adegan pengakuan impromptu di toko serba ada, Shyamalan membuat kedua aktor melihat lurus ke kamera.
Shyamalan juga mendahului masanya. Di tahun 2000, dia ingin memasarkan Unbreakable sebagai sebuah film komik yang membumi. Idenya ditolak mentah-mentah oleh Touchstone Pictures, yang kukuh ingin menjualnya sebagai thriller psikologis.
Lima tahun kemudian, Christopher Nolan menjungkirbalikan dunia dengan Batman Begins, sebuah film adaptasi komik yang sangat dekat dengan kenyataan
Apakah dia berhak dapat kesempatan kedua?
Banyak sutradara ternama pernah punya serangkaian film yang jeblok, baik artistik atay komersil, namun tak lantas jadi bulan-bulan orang seperti Shyamalan. Ridley Scott, Oliver Stone, Ron Howard adalah beberapa di antaranya.
Shyamalan bukannya tak pernah bikin blunder. Semua pasti tahu bahwa Shyamalan pernah memanfaatkan wewenangnya sebagai sutradara dengan tolol, terutama ketika menukangi The Village. Untuk ukuran seorang sutradara berkulit berwarna, dia sebenarnya bisa saja memilih lebih banyak banyak pemain dari golongan minoritas. Tapi itu tidak ia lakukan. Pun, Shyamalan mendobrak banyak aturan di Hollywood. Salah satunya, dia menolak tinggal di Los Angeles. Shyamalan sampai sekarang lebih nyaman bermukim di Philadelphia.
Ada banyak alasan untuk tidak menyukai Shyamalan. Kalian juga bisa mengganggap Shaymalan telah menyia-nyiakan banyak kesempatan emas di Hollywood.
Tapi, entalah. Mungkin nasib buruknya berkorelasi dengan kulitnya yang coklat dan nama yang sudah dieja. Karena jika memang Hollywood—dan pecinta film pada umumnya—bisa menyambut dan merayakan sutradara yang jelas-jelas terbukti sebagai pemerkosa atau sebut saja Woody Allen cuman gara-gara piawai membesut film, kenapa mereka tak bisa memaafkan lelaki yang baru saja meraup keuntungan sebesar $140 juta (sekitar Rp1,8 triliun) dari film berbudget $9 juta (sekitar Rp12 miliar).
Mereka bisa mulai memaafkan Shyamalan, misalnya, coba belajar melafalkan namanya dengan tepat tanpa nada mengolok-olok.
di Twitter.More
From VICE
-
Screenshot: Level-5, Nintendo -
Let's be real. This is reason you'll probably be hearing most of this ringtone – Credit: d3sign via Getty Images -
Carol Yepes/Getty Images -
Artur Dancs/Getty Images