Bahasa

Megawati Ingin Kembali Populerkan Sapaan 'Bung', Saat Kita Sudah Punya 'Kak'

Ketum PDIP Megawati merasa sapaan 'bung' yang populer di masa revolusi harusnya kembali dipakai karena egaliter. Problemnya, menurut periset sejarah, upaya menghidupkan 'bung' gagal berulangkali.
megawati-usul-ke-jokowi-agar-kembali-populerkan-sapaan-bung-seperti-masa-orde-lama-karena-lebih-egaliter
Bung Karno [tengah, berpeci] bersama kabinetnya pada 16 April 1949 membahas persiapan konferensi meja bundar di Den Haag Belanda. Foto oleh Bert Hardy/Picture Post/Hulton Archive/Getty Images

Kandidat ketua umum seumur hidup Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, tak pernah dikenal sebagai penggila sepak bola. Semua orang dekatnya tahu, hobi Bu Mega adalah berkebun. Sibuk mengurus tanaman bahkan kadang jadi dalih politikus gaek itu ketika malas menemui tokoh politik yang tak disukainya.

Iklan

Jadi kalau Bu Mega baru-baru ini menyatakan kehendaknya ingin memopulerkan lagi istilah bung, sudah pasti bukan karena pengaruh kebiasaan komentator sepakbola di televisi memanggil kolega siaran. Bu Mega kelihatannya masih dibayang-bayangi laku bapaknya seumur hidup.

Niat memopulerkan lagi panggilan bung dicetuskan Mega kepada publik pada acara PDIP memperingati harlah Bung Hatta ke-119, pada 12 Agustus 2021. "Saya bilang ke Pak Jokowi, saya cerita ini, ‘Pak Jokowi lucu enggak kalau saya panggil Bung Jokowi? Tapi kayaknya enggak [lucu] juga loh.’" Menurutnya, sebutan “bung” layak dikembalikan karena jadi contoh panggilan yang egaliter, tidak membeda-bedakan pangkat seseorang.

Penjelasan ini seirama dengan banyak artikel sejarah tentang alasan popularitas sapaan tersebut di masa awal kemerdekaan. Bung laris digunakan semasa Revolusi 1945-1949, bersinonim dengan sebutan revolusioner lain, seperti “kamerad” di Soviet dan “citoyen” di Prancis.

Historia menyebut Bung Karno adalah orang pertama mengampanyekan bung sejak 1927, dengan kesadaran bahwa kata ganti ini egaliter. Gagasan ini sukses. Menurut memoar indonesianis Ben Anderson, di periode 1945-1949, bung dan catur jalanan berhasil membongkar segregasi hierarkis lama. Kepada VICE, periset sejarah Yosef Kelik mengatakan bahwa panggilan bung memang mendapat momentumnya.

Iklan

“[Panggilan itu] moncer pas Revolusi Kemerdekaan ketika banyak pemuda mengambil posisi kaum tua dan ada sekat-sekat senioritas yang cenderung dilanggar,” ujar Kelik kepada VICE.

Sebagai pasangan bung yang ditujukan bagi pria, dipakailah zus untuk menyapa perempuan. Tokoh perjuangan S.K. Trimurti, misalnya, biasa disebut “Zus Tri”. Tapi berbeda dengan muasal zus yang terang diambil dari kata Belanda, dari mana asal bung malah sumir. Ada yang menyebut dari Betawi, sumber lain mengatakan panggilan ini dipakai di Bengkulu. Teori kedua memperkirakan istilah ini diadaptasi Sukarno yang sempat dibuang di tempat ia bertemu lalu memperistri Fatmawati itu.

Semakin lama Revolusi berlalu, panggilan bung juga menyongsong senjakalanya. Sebutan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan Bung Kecil (julukan untuk Sutan Sjahrir) memang tak lekang, namun panggilan itu membeku pada keempat figur tersebut, sementara penggunaannya dalam keseharian makin luntur.

Kapan bung mulai hilang? Tak bisa ditera dengan tepat. Pada 1977, misalnya, jurnalis Mochtar Lubis telah menyorot bahwa bung dan saudara makin pudar pemakaiannya karena tergeser pak. Tapi jangan jauh-jauh ke 1977. Pada 1949 atau cuma berselang empat tahun usai Proklamasi, budayawan Ajip Rosidi sudah menengarai bagaimana bung tergusur oleh sapaan bapak dan saudara. Aktivis Saleh Abdullah yang lahir di Jakarta pada 1960-an menjadi saksi perubahan ini. Ia mengatakan kepada VICE, bahwa di era kanak-kanaknya hingga dekade ’70-an, sudah jarang baginya mendengar panggilan bung. Sementara itu, istilah zus malah masih sering digemakan.

Iklan

Pertanyaan selanjutnya adalah: Kenapa bung menghilang? Tampaknya penyebabnya adalah keengganan dari anak-anak revolusi sendiri untuk mewariskan panggilan itu. Terutama ketika kombatan Revolusi sudah berkedudukan sebagai birokrat berpangkat.

“Sepertinya bung mulai menghilang setelah [dekade] ’60-an,” kata Kelik, “ketika nilai-nilai lama, feodalisme Jawa, makin merebak dalam masyarakat Indonesia.” Ia menambahkan, “Orang yang muda di tahun ’40-an mulai menua di tahun ’60-an, mereka lama-lama merasa sapaan itu enggak lagi sesuai dengan status jabatan mereka.”

Kelik memberi perspektif menarik tentang proses hilangnya bung dari kosakata pergaulan di Indonesia. Menurutnya, meski panggilan ini masih hidup pasca-Revolusi, semangat egaliternya telah tergerus.

“Sebutan Bung Karno tahun ’60-an dan tahun ’40-an juga sudah beda rasanya. Di tahun ’60-an ia masih memakai panggilan itu, di saat yang sama juga ada sebutan paduka yang mulia. Jadi di satu sisi egaliter, di sisi lain penuh puja-puji,” terang Kelik.

Keengganan generasi lama yang sewaktu muda santai “ber-bang-bung” tampak dalam keterangan yang ditulis arsitek Marco Kusumawijaya di Tempo pada 2010. “Seorang mantan aktivis 1960-an yang menjadi menteri Orde Baru, dan biasanya akrab disapa dan menyapa dengan ‘Bung’, pernah berbisik kepada sahabatnya, ‘Kalau di hadapan staf saya jangan menyapa saya dengan ‘Bung’ ya!,’” kenang Marco.

Iklan

Sejarawan UI Kasijanto Sastrodinomo menulis pada 2008 bahwa sebutan bung sempat dipopulerkan lagi di antara menteri dan politisi Orde Baru, namun gagal karena “terasa artifisial dan kurang menggigit”.

Yang dikatakan Kasijanto terekam dalam arsip Tempo 1992. Tahun itu, Menteri Penerangan Harmoko tiba-tiba mengenalkan rung sebagai panggilan untuk perempuan, berpasangan dengan bung yang ia coba populerkan setahun sebelumnya. Upaya ini juga gagal. Konyolnya, ketika Harmoko mengklaim rung diadaptasi dari bahasa lokal di Sumatera Selatan, ahli bahasa setempat yang diwawancarai TEMPO justru baru tahu ada panggilan seperti itu untuk perempuan.

“Begitulah, bung menguap seperti asap. Mungkin karena revolusi telah selesai. Mungkin sebutan bung memprasyaratkan penyandangnya berbuat sesuatu tanpa pamrih, hal yang terasa langka pada masa sekarang. Mungkin hubungan antara pemimpin dan rakyat cenderung semakin berjarak sehingga tidak perlu sebutan aneh-aneh bagi seorang pemimpin. Cukup yang formal dan standar saja,” tulis Kasijanto. Cukup masuk akal untuk menjelaskan kegagalan demi kegagalan memasyarakatkan kembali panggilan bung

Iklan

Tak perlu bung, publik telah ciptakan panggilan egaliternya sendiri

Menurut Kelik, sebelum bung muncul, panggilan di Nusantara didominasi bahasa daerah. Dalam khazanah lingua franca Melayu, yang dominan adalah sebutan tuan, nona, nyonya, sinyo, serta varian Belandanya semacam meneer ‘tuan’, mevrouw ‘nyonya’, dan juffrouw ‘nona’. Belakangan, tambah Kelik, Orde Baru memopulerkan pak dan bu di kalangan birokrat untuk menyederhanakan panggilan yang mulia yang terlalu berlebihan.

Bung memang tak sepenuhnya lenyap, setidaknya ia masih identik untuk komentator sepak bola—entah siapa yang memulai. Kalangan terbatas lain yang masih memakainya adalah kolektif Kiri yang selain menggunakan bung, juga akrab dengan istilah kawankamerad, atau bahkan pemuda. Dari tulisan di internet, kami menemukan tulisan lama Anton Sujadmojoko, salah satu ketua DPD Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Bantul, yang memberi tafsir menarik. Ia menyebut bahwa bung dipakai di lingkungan Gafatar karena identik sebagai sebutan untuk pahlawan.

“Silakan bertanya kepada orang-orang yang tergabung dalam GAFATAR mengenai sapaan ‘Bung’. Mereka akan menjawab bahwa ‘Bung’ adalah salam perjuangan dan salam kebersamaan di antara mereka yang sedang dan akan berjuang,” tulis Anton.

Iklan

Kalangan lain yang masih menggunakan bung—dan zus—kami ketahui dari Saleh. “Di Eropa, khususnya Belanda dan Jerman, sampai tahun ‘90-an, di antara para eksil, panggilan bung dan ses terus mereka lestarikan.”

“Mereka orang-orang lama. Bahkan kadang mereka masih pakai istilah segobangseketip, juga panggilan mek seperti pada kalimat ‘Gila, mek.’ Mungkin juga karena romantisme lama. Tapi satu teman orang lama dan temannya Sartre bilang: bung dan ses itu lebih equal, lebih cocok dengan budaya Eropa,” tambah Saleh.

Yang bisa kita tangkap sampai di sini, makna kata telah berubah seiring waktu. Bukan cuma bung, Kelik bercerita bahkan panggilan mas yang umum sekarang dulu adalah sebutan untuk ningrat rendah. Di masa lalu laki-laki Jawa biasa lebih umum disapa kang. Kisah ini nyambung dengan fenomena aku dan kau yang mestinya bernada netral, namun di kalangan anak muda Jakarta hari ini dianggap ganjil dipakai karena formal atau kelewat puitis.

Almarhum Harmoko, Bu Mega, Gafatar, sampai anak Kiri boleh saja mencoba populerkan bung, tapi sebagai panggilan egaliter, masyarakat hari ini sudah punya banyak koleksi lain. Alias, jangan terpaku pada masa lalu lah.

Iklan

 Sebutan gus untuk anak kiai, misalnya, memang tak egaliter, tapi ketika penyandangnya makin tua atau bahkan mencapai derajat sangat tinggi, justru membuat suasana terasa santai (terjadi pada Gus Dur dan Gus Mus). Panggilan ikonik yang seolah menyetop waktu juga melekat pada advokat senior almarhum Adnan Buyung Nasution yang hingga akhir hayatnya terus dipanggil “Bang Buyung”. Kasus serupa terjadi pula pada Ali Sadikin, mantan gubernur DKI. Dan jelas tak boleh dilupakan, psikolog anak Seto Mulyadi masih dipanggil “Kak” hingga usianya menginjak 69 tahun.

Apabila Bu Mega mau lebih progresif, sebenarnya ada temuan menarik jika berbagai panggilan lain yang sempat populer satu dekade terakhir didaftar. Gelagatnya sih, bukan sifat egaliter yang dibutuhkan masyarakat sekarang, melainkan panggilan netral gender. Kami duga, ini akibat penggunaan internet yang kerap membuat identitas gender lawan bicara tak diketahui.

Kami coba rangkum variannya: bro, sis, cyin, beb, sheyeng, mak, dik, bos, bosqu, dan gaes. Yang disebut terakhir masih segar asal-usulnya, dari imitasi berulang para YouTuber. Dari khazanah organisasi pemuda, kakanda dan adinda (HMI) atau sahabat (PMII, oke ini juga panggilan untuk fans grup musik Peterpan sih). Masih dari lingkungan yang sama ada IMMawan dan IMMawati dari IMM, yang menurut kami sebenarnya rada maksa dan terkesan hard selling.

Bagaimana untuk pemimpin? Bu Mega tak perlu repotkan diri dengan bikin-bikin panggilan “Bung Jokowi”, toh masyarakat sudah akrab dengan pakde. Lagian bung bisa jadi pisau bermata dua untuk Bu Mega. Sebab, begitu Bu Mega berusul memopulerkan panggilan bunglangsung muncul celetukan, “Berarti selanjutnya Bung Ganjar, tidak mungkin Bung Puan.” Bahaya kan, sayap kebinekaan bisa berhenti mengepak. 

Yang perlu kami garis bawahi di sini adalah: memaksa bung bangkit kembali semakin tak relevan karena sudah ada temuan lain yang hari ini jelas bernuansa egaliter, sudah pasti netral gender, dan yang paling penting, telah digunakan secara massal. Kata itu adalah kak, diperkirakan dimasyarakatkan oleh para pedagang online. Cirinya, kepraktisannya, dan nilai-nilai kepramukaan yang dikandungnya membuat kami tak ayal lagi perlu mendaulat kak sebagai sapaan terbaik dekade ini.