Kriminalitas

Polisi Sumatra Barat Tangkap Komplotan Pencuri, Semuanya Masih Anak-anak

Saat menyidik kasus pembobolan rumah di Sijunjung, polisi mendapati usia enam pelaku masih belasan tahun. Merujuk data KPAI, kriminalitas anak meningkat, kemungkinan akibat minim perhatian ortu.
Polisi Sinjunjung Sumatra Barat Tangkap Komplotan Pencuri yang Semuanya Masih Anak-Anak
Ilustrasi upaya maling membobol rumah via Getty Images

Enam remaja di Sumatera Barat (Sumbar) terpergok berserikat, berkumpul, dan menjalankan aksi kriminal selama empat hari berturut-turut mulai Rabu (22/9) hingga Sabtu (25/9) lalu. Geng ini terdiri atas GAH (15), AZI (15), AP (15), MAZ (13) yang berasal dari Kabupaten Sijunjung, HR (15) dari Kota Padang, dan IN (14) dari Kota Sawahlunto. Total, mereka berhasil membobol lima rumah warga di Sijunjung dan menggasak uang serta benda berharga.

Iklan

Saat tertangkap, polisi menyita dari mereka barang bukti Rp5,2 juta, empat unit ponsel, dan pakaian baru yang dibeli pakai uang curian. “Awalnya kita mendapatkan laporan adanya tindak pidana pencurian dengan pemberatan atau bongkar rumah pada Kamis (23/9),” kata Kasat Reskrim Polres Sijunjung Abdul Kadir Jailani, dilansir Tribunnews

Penangkapan kelompok ini diawali saat aparat berhasil mengidentifikasi wajah HR dari rekaman CCTV di lokasi kejadian. HR lalu dicokok pada Sabtu (25/9) jam tiga sore bersama barang bukti. Dialah yang lantas mengaku punya komplotan perampok cilik.

“Saat diinterogasi, inisial HR mengakui telah membongkar rumah [lain] pada Rabu [22/9], Kamis [23/9], Jumat [24/9], dan pada Sabtu [25/9]. Jadi, barang bukti [hasil curian] tersebut mereka bagi-bagi setelah melakukan aksi pencurian dengan pemberatan atau bongkar rumah tersebut. Akhirnya, lima pelaku lain ditangkap,” tambah Abdul.

Kriminalitas yang dilakukan anak berulang kali terjadi di Indonesia. Maret kemarin misalnya, Polda Metro Jaya menangkap tiga dari enam pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang masih usia anak. Kelompok ini sudah beraksi di setidaknya sepuluh lokasi. Tiga yang tertangkap adalah MIR (16) yang bertugas melukai korban yang melawan, FYS (16) berperan mengambil paksa barang korban, dan IP (15) yang mengawasi keadaan sekitar. 

Iklan

Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menjelaskan kelompok menyasar sepeda motor dan ponsel, dengan modus pura-pura nanya alamat kepada korban.

“TKP banyak, ada sepuluh TKP yang baru diakui pelaku, korban ada empat yang melapor. Pengakuannya sepuluh kali,” kata Yusri Yunus pada konferensi pers, dilansir Republika. “Tersangka ada enam orang, [ditambah] dua penadah MF [20] dan MA [19]. Peran utamanya anak di bawah umur, ada tiga lagi jadi DPO anak di bawah umur. Ketika korban melakukan perlawanan pelaku melukai dengan cara membacok korban dan pelaku langsung mengambil barang-barang milik korban.”

Aksi kriminal yang diprakarsai oleh anak di bawah umur juga terjadi dari JakartaRiau, sampai Kalimantan Timur.

Per Mei 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH) jadi jenis terbanyak yang diadukan kepada mereka. Dari 1.885 pengaduan yang masuk ke KPAI, ada 504 kasus ABH. Menanggapi fenomena ini, Psikolog anak dan remaja Irma Gustiana menyampaikan kurangnya perhatian orang tua dan pengaruh media sosial jadi pemicu anak berbuat kriminal.

“Yang pasti soal bagaimana orang tua mendidik dan mengasuh anak di rumah. Anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar,” kata Irma kepada Tirto. “Banyak aktivitas kurang baik yang ditayangkan, misalnya lewat social media dan internet sehingga anak-anak secara tidak sadar menganggap perilaku mereka adalah sesuatu hal yang normal.”

Psikolog sosial dari Universitas Mercu Buana Intan Savitri menggarisbawahi pengaruh dari sekitar. “Anak-anak yang dibesarkan dari lingkungan yang penuh dengan kekerasan baik dia melihat, mengalami, atau melihat orang tuanya menjadi korban kekerasan, jadi paparan kekerasan ada, sehingga potensi melakukan kekerasan lebih besar dibanding dengan mereka dengan pola asuh non-kekerasan,” kata Intan kepada Tagar.

“Biasanya anak-anak seperti itu yang terlebih dahulu jadi korban dan kemudian dia merasa bahwa kekerasan itu boleh dilakukan. Karena dirinya pernah sebagai korban maka ia juga akan melakukan kekerasan pada orang yang menurut dia lebih lemah atau bisa diintimidasi.”