Ini minggu-minggu yang kelam bagi kebebasan berekspresi mahasiswa di kampus. Pada Selasa pagi (17/11), Ketua BEM KM UGM Sulthan Farras menentang kelakuan rektorat UGM yang tutup telinga atas aspirasi mahasiswa dengan bikin acara “telaah UU Cipta Kerja” dengan mengundang empat menteri.
Sehari sebelumnya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Frans Josua Napitu malah diskors enam bulan setelah melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan rektor Unnes Fathur Rokhman kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Videos by VICE
Berita ini dibenarkan Dekan Fakultas Hukum Unnes Rodiyah. Selama enam bulan ke depan, Frans “dibebaskan” dari seluruh kewajibannya sebagai mahasiswa Unnes untuk menjalani “pembinaan moral dan karakter” dalam keluarga.
Skors diberikan karena menurut kampus pelaporan Frans menurunkan reputasi Unnes. “Surat pemberitahuan sudah kami kirimkan kepada orang tua yang bersangkutan melalui PT Pos serta pemberitahuan melalui WhatsApp,” kata Rodiyah dilansir Tempo.
Ini bukan kali pertama Unnes merasa gerah dengan keberanian Frans bersuara. Rodiyah menjelaskan Frans sebelumnya pernah menyampaikan tuduhan plagiasi kepada rektor yang sama, memimpin aksi menuduh rektor melakukan penindasan, serta mengunggah dukungan kemerdekaan Papua di media sosial.
Waktu enam bulan diharap Unnes bisa digunakan Frans mengevaluasi sikapnya tersebut. Supaya fair, waktu enam bulan sebenarnya bisa juga digunakan Unnes untuk menyadari kenyataan bahwa kebebasan berekspresi mahasiswa adalah hak, dan apa yang dilakukan Frans adalah justru langkah sebenar-benarnya menjaga reputasi kampus dari jeratan pemimpin bermasalah.
Dalam laporan ke KPK tertanggal 13 November, Frans mengatakan ada kejanggalan dalam komponen anggaran kampus sehingga muncul indikasi korupsi. Mahasiswa semester 9 tersebut menyerahkan berkas berisi rincian dokumen dan data pendukung terkait anggaran uang kampus dari mahasiswa dan luar mahasiswa sebelum dan ketika pandemi. Frans menegaskan, tindak pidana korupsi di situasi bencana adalah kejahatan berat.
“Laporan kasus akan diproses sesuai prosedur hukum yang ada. Kami menyerahkan sepenuhnya ke KPK RI. Ancaman hukumannya [kejahatan berat] adalah hukuman mati sebagaimana diatur dalam UU 20/2001 juncto UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Frans kepada Kompas.
KPK menyatakan bukti permulaan yang dikirim Frans sudah cukup dan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku untuk selanjutnya diproses. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyayangkan respons Unnes sebab tindakan tersebut bertentangan dengan hukum. Nurul menegaskan pelaporan kasus dugaan korupsi adalah hak masyarakat yang dilindungi UU.
“Bukan saja [kampus] tidak terbuka terhadap kritikan, bahkan perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum. Pasal 41 ayat 1 UU Tipikor yang secara jelas menegaskan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Nurul dilansir dari Kumparan.
Cara main ancam pelajarnya yang ekspresif emang udah jadi kebiasaan kampus. Awal tahun ini, empat mahasiswa Universitas Khairun Ternate dikeluarkan kampus karena ikut demo yang mendukung rakyat Papua menentukan nasib sendiri.
Oktober kemarin Wali Kota Depok Dedi Supandi mengancam mengeluarkan siswa SMK dan SMA yang nekat ikutan unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja. Tahun lalu, AMAR Law Firm and Public Interest Law Office mencatat 37 perguruan tinggi mengancam akan memberi sanksi kepada mahasiswa yang ikutan demonstrasi #ReformasiDikorupsi.
Selain soal demo atau pencemaran nama baik, represi kampus terhadap kebebasan berpendapat mahasiswa juga terjadi kepada mereka yang menulis tentang kampus mereka lewat artikel di internet.
Pemimpin Redaksi situs opini Mojok Prima Sulistya menceritakan, sepanjang tahun ini Mojok sudah mendapati tiga penulis mahasiswa di medianya diancam kampus karena tulisan.
“Awal tahun ini ada tiga mahasiswa yang gara-gara tulisan mereka ngebahas kampus, kampusnya enggak terima. Ada yang emang nulis kritik, ada yang cuma lucu-lucuan. Tulisan itu nyampe ke dosen dan pejabat kampus, terus kampusnya ngontak si mahasiswa untuk nurunin tulisan itu,” kata Prima kepada VICE.
Dua dari tiga ancaman kepada mahasiswa tersebut berhasil karena kampus mengancam menghentikan beasiswa si penulis. “Cara kampus yang tekan mahasiswa itu lho yang aku aneh banget. Mereka enggak ngerti apa ya, urusan mereka kan harusnya sama publisher. Ketiga kasus itu di perguruan tinggi negeri. Ditambah baca berita-berita ada kampus berani ngasih skors bahkan DO ke mahasiswa yang kritis, aku kira emang ada kultur represif di dalam kampus,” lanjut Prima.
Setelah kejadian itu, Prima mengaku jumlah tulisan yang mengkritik kampus di medianya berkurang. “Ancaman beasiswa diputus, terutama buat penerima Bidikmisi, emang mengerikan. Setelah kasus tadi, ada [penulis mahasiswa] yang kesal, ada yang jiper dan jadi hati-hati. Aku pesan ke teman-teman penulis sih kalau merasa benar, enggak usah takut diancam. Lembaga pro kebebasan berekspresi kayak SAFEnet, Remotivi, dan LBH pasti siap bantu kok,” tutup Prima.