Ganja medis belum bisa legal dipakai untuk terapi kesehatan di Indonesia, meski sudah diperjuangkan lewat jalur hukum. Gugatan Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafia Muharyanti ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk uji materi, alias mengubah poin-poin dalam Pasal 6 dan Pasal 8 UU no. 35/2009 tentang Narkotika, ditolak dalam sidang yang berlangsung Rabu, 20 Juli 2022. Ketiganya adalah orang tua dari anak penderita lumpuh otak, atau cerebral palsy, yang berharap bisa mendapatkan akses ganja medis demi kesehatan anaknya.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat pembacaan putusan sidang yang ditayangkan secara daring lewat akun YouTube MK.
Videos by VICE
Menurut pertimbangan MK, fakta hukum bahwa banyak penyakit yang bisa disembuhkan terapi mariyuana medis, dianggap tidak sebanding dengan kerugian besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan aturan di Tanah Air. Pelarangan ganja medis disebut sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga kesehatan warga negaranya berdasarkan Pasal 54 UU NO. 36/2009 tentang Kesehatan.
Mengenai banyaknya negara lain yang sudah melegalkan ganja medis, seperti diutarakan pemohon dan para saksi ahli, MK menyebut hal itu tidak serta-merta bisa menjadi parameter bahwa Indonesia juga harus melakukan hal yang sama. “Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana,“ ujar Hakim Suhartoyo saat membacakan putusan.
MK memutuskan menolak gugatan pemohon, sehingga tetap melarang Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan sesuai UU Narkotika, hanya memperbolehkannya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Meski demikian MK mendorong negara segera melakukan kajian dan penelitian apabila Narkotika Golongan I benar dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan terapi. “Diperlukannya peraturan pelaksana. Pemerintah bersama pemangku kepentingan harus mengatur secara detail, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus-menerus,” kata Anwar.
Keputusan ini menjadi hasil getir dari perjuangan pihak pemohon uji materi sejak 2020, yakni Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Tiga nama individu itu adalah ibu dari anak yang mengidap cerebral palsy, yang mengalami perbaikan kondisi setelah menjalani terapi ganja di luar negeri.
Di samping gugatan hukum, Santi juga mendapat banjir dukungan masyarakat kala aksinya menuntut legalisasi ganja di Car Free Day (CFD) di Jakarta setelah fotonya viral. VICE sendiri pernah ngobrol dengan Dwi terkait keputusannya berjuang dengan berbagai cara, termasuk membuat film dokumenter, meski sang anak gagal terselamatkan. Wawancara tersebut bisa dibaca di tautan ini.
Saat VICE meminta komentar awalnya terkait putusan, kuasa hukum pemohon Erasmus Napitupulu mengaku terkejut atas hasil putusan MK, mengingat banyak bukti kuat yang sudah pihaknya hadirkan di persidangan. Selama hampir dua tahun, para pemohon mendatangkan setidaknya enam saksi ahli termasuk peneliti Thailand Pakakrong Kwankhao, negara tetangga di ASEAN yang baru saja melegalkan ganja.
“Kecewa dan kaget dengan semua bukti dan ahli yang kita ajukan ke ruang sidang. Tapi, ada yang menarik. Karena, MK mengakui pentingnya riset, sesuatu yang pemerintah belum lakukan. Jadi agak aneh, pelarangan dibuat tanpa riset, tapi untuk membuka pelarangan itu, kita harus riset,” ujar Erasmus saat dihubungi VICE.