Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.
Sangat mudah bagi sosok perempuan menjadi pusat perhatian di industri musik Korea Selatan. Biarpun boyband dengan dandanan menawan lebih banyak memperoleh penggemar dan menjadi mesin uang terbesar di negara Ginseng itu, grup musik beranggotakan perempuan tetap mendominasi tangga lagu. Kombinasi dari melodi mudah diingat dan tarian yang menawan ala K-pop menyebar dari Seoul hingga pedesaan Korsel setiap beberapa jam sekali. Demam K-pop bahkan sudah mewabah ke seluruh benua, termasuk Indonesia.
Tarian khas Wonder Girls hingga hook Sistar yang groovy membuktikan girlband asal Korsel menjadi musik pop pilihan anak muda berbagai negara dalam satu dekade terakhir.
Videos by VICE
Kendati demikian, ada yang janggal dari kancah musik pop Korsel. Biarpun Girls’ Generation berhasil membawa kita kembali ke era perempuan merajai musik pop, tidak banyak perempuan yang terlibat dalam tahap produksi musik di Negeri Ginseng. Bahkan anthem populer yang menyanyikan lirik tentang pemberdayaan wanita dari grup seperti 2NE1 (“I Am The Best”) dan Miss A (“I Don’t Need a Man”) masih dibuat oleh segerombolan pria eksekutif perusahaan rekaman yang membentuk grup-grup tersebut. Bisa dibilang, grup perempuan K-pop hanyalah titisan klise industri hiburan Korea yang sudah ada sejak era 80-an. Idol populer seperti Wan-Sun dan Kim Sisters adalah perempuan yang dikemas agar populer, tapi tidak menciptakan karya musik mereka sendiri. Intinya, benar banyak perempuan dalam kancah K-Pop. Tapi kalau bicara eksistensi musisi perempuan dari Korsel, mendadak jumlahnya berkurang drastis.
Belakangan, musisi perempuan Korsel tak lagi bersedia terkungkung. Mereka mencuri perhatian. Muncul rapper-rapper perempuan di Korea. Banyak pula idola pop yang berusaha menulis lagu hit. Tangga lagu Korsel dalam beberapa tahun terakhir kebanjiran perempuan yang bisa menulis lagu sendiri. Tahun lalu, misalnya, Wonder Girls menguasai chart musik sepanjang musim panas berkat sebuah lagu yang mereka tulis dan mainkan sendiri sebagai band.
Anggota Girls’ Generation dan Apink membantu kelompok lain menulis lagu hit. Sementara CL dari 2NE1 berkolaborasi dengan banyak artis, mulai dari Diplo hingga Asher Roth untuk mendorong dirinya memasuki pasar musik Amerika. Di saat bersamaan, girlband ‘standar’ seperti Twice dan GFriend masih memuncaki tanggal lagu. Tapi tak bisa dipungkiri, kehadiran kelompok-kelompok baru yang lebih ambisius seperti DIA—yang masuk dokumenter NOISEY SEOUL—mengindikasikan pergeseran di musik Korsel dan peran musisi perempuan yang lebih luas dalam industri musik mereka.
Hal paling menyenangkan dari perubahan ini adalah banyaknya produser perempuan keren semakin aktif di kancah musik bawah tanah Korea. Scene yang dulunya sepi sekarang penuh berbagai musisi yang berusaha menciptakan sound khas masing-masing. Kebanyakan dari mereka baru merintis karir dua atau tiga tahun terakhir. Banyak dari produser muda ini aktif berkolaborasi, seperti layaknya Solange duet bersama FKA Twigs. Banyak juga yang sangat mandiri ala-ala bintang pop Kanada Grimes. Para musisi bawah tanah inilah simbol baru masyarakat Korsel yang tidak puas hanya mendengarkan suara merdu dan wajah cantik vokalis perempuan, tapi juga peduli pada pesan yang ingin disampaikan para musisi perempuan.
CIFIKA
Sebagai mantan penata artistik yang memulai karirnya menggunakan keyboard Casio seharga US$100 dari kampus di Los Angeles, CIFIKA semakin berkembang dua tahun terakhir. Terinspirasi oleh album Within and Without milik Washed Out yang direkam di kamar tidur, musik CIFIKA memiliki banyak kemiripan dengan Jamie xx, Fever Ray, FKA Twigs, hingga bintang pop Korea 90-an Lee Sang-eun. Penulis lagu dan bintang besar K-pop Jonghyun memuji CIFIKA. Dia mengatakan kehadiran CIFIKA sudah mulai terasa di kultur mainstream Korea. Ternyata ambisi CIFIKA jauh lebih besar dari itu: musisi muda itu mencoba bernyanyi dalam bahasa Korea untuk festival-festival musik dunia.
HOODY
Hoody baru saja membuat sebuah mixtape berisikan campuran R&B Korea bagi situs musik The Fader. Mix yang menawan ini wajib didengarkan. Jangan salah, Hoody sudah mulai mendapat perhatian publik internasional sejak awal karirnya. Kelela mengaku menggemari Hoody ketika menontonnya konser di Seoul beberapa tahun lalu. Teengirl Fantasy juga meminta Hoody turut bernyanyi di hit single “U Touch Me” akhir 2014. Salah satu lagu Hoody yang paling menawan adalah “Like You” (video di atas) yang mengingatkan kita akan hits klasik Mariah Carey era 2000-an.
NEON BUNNY
Sempat muncul di awal dekade dengan sound ala-ala synthpop Perancis yang mengingatkan kita pada Phoenix dan Ed Banger, sekarang Neon Bunny sudah mulai menemukan soundnya sendiri. Di lagu “Forest of Skycrapers” (video di atas), dia menunjukkan pengaruh budaya otaku Jepang sembari mencampur estetika Wong Kar Wai, Akira, dan video karaoke klasik Korea. Lagu barusan diambil dari album Stay Gold yang juga menampilkan banger “It’s You” dan lagu lintas genre “Romance in Seoul.” Lucu menyebut Neon Bunny sebagai salah satu bagian dari scene produser kamar Korea generasi pertama mengingat betapa mudanya dia. Namun sangat menyenangkan untuk membayangkan seperti apa scene ini nantinya beberapa tahun ke depan.
ASEUL
Salah satu rekan Neon Bunny adalah Yukari yang muncul kurang lebih dalam waktu yang bersamaan. Mengusung sound yang lebih gelap dan tipis, dia menggunakan nama Aseul dan memoles musik synthpop berbumbu shoegazenya untuk menciptakan album penuhnya yang pertama, New Pop. Sama-sama memiliki perasaan yang campur aduk soal Seoul dan kondisi modern Korea, Neon Bunny dan Aseul menjalani tur Taiwan bareng bulan lalu dan pastinya bukan yang terakhir kali.
SURAN
Pasca menulis lagu hit bagi Lim Kim dan AOA, Suran mungkin bisa jadi salah satu penulis lagu K-pop paling sibuk sekarang. Untungnya musisi talenta yang bisa bernyanyi dan memainkan piano ini punya proyek idealis. Biarpun sering berkolaborasi dengan produser ternama di Korea, lagu terbaik Suran biasanya tercipta ketika dia bekerja sendiri. Contohnya? “Calling in Love” (video di atas) yang dia aransemen dan produksi secara independen.
OOHYO
OOHYO yang tinggal di Seoul dan London. Dia merilis EP debutnya pada 2014 berisikan lagu-lagu berbasis keyboard ceria yang penuh percaya diri. Sejak itu, dia berkembang dan mulai menciptakan lagu-lagu yang lebih rumit dengan tema-tema konseptual. Contohnya dua video klip lagu “Youth” dengan aransemen yang berbeda (salah satunya di atas). Atau pandangannya tentang masa depan manusia yang penuh dengan headset virtual reality di video “Perhaps Maybe.” OOHYO pernah mengatakan bahwa musiknya dibuat oleh “seseorang yang percaya kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan mendesain ‘kasih sayang’.” Tampaknya dia adalah pelopor synthpop Kristiani Korea.
YESEO
Lahir 1995 dan belum setahun aktif di dunia musik, Yeseo adalah salah satu musisi muda paling ambisius di Seoul. Dia menulis, memproduksi, dan menangani mixing maupun mastering semua musiknya. Salah satu karya Yeseo yang mencuri perhatian adalah ‘Margo’. Di lagu itu, Yeseo menunjukkan sound R&B yang edgy, memamerkan teknik produksi hasil pendidikan musik yang dia tempuh selama kuliah. Halaman Soundcloudnya berisikan eksplorasi-eksplorasi sound yang lebih kontemporer. Biarpun belum mengeluarkan rilisan resmi, Yeseo pernah ditunjuk sebagai artis pembuka konser Honne di Seoul, November 2016. Beberapa tahun ke depan, Yeseo sudah pasti akan menjadi salah satu penggerak kancah musik independen Seoul.
More
From VICE
-
Robert Prange/Getty Images -
Screenshot: Blizzard Entertainment -
Screenshot: Xbox/Microsoft -
Front and back of the iPhone 16e — Credit: Apple