Konon media sosial adalah ruang demokratis yang bisa dipakai siapapun tanpa peduli latar belakang. Tapi kalau ditilik-tilik lagi sebenarnya enggak segitu setara kok. Misalnya saja predikat influencer. Kalau ditilik-tilik lagi, sebutan itu tak berlaku adil bagi semua content creator. Ada yang rajin banget bikin postingan, tapi karena dianggap norak enggak pernah diakui sebagai influencer.
Di sisi lain, ada orang yang gampang banget naik derajat diakui sebagai influencer semata-mata karena suka riya alias pamer kekayaan. Kalau kaya beneran sudahlah ya. Yang repot kalau orang berusaha keras sok kaya karena mencari jalan pintas menjadi influencer.
Videos by VICE
Nah di belantara media sosial ini ada orang-orang yang memilih jujur saja apa adanya. Apa yang ada di media sosial, itulah realitas kehidupan mereka sehari-hari. Salah satunya adalah apa yang dilakukan para vlogger-vlogger buruh migran yang tersebar di banyak tempat, mulai dari Korea Selatan, Hong Kong, Timur Tengah, hingga Cina.
Konten vlogger buruh migran ini kalau diperhatikan kocak-kocak banget. Umumnya mereka sangat jujur di depan kamera. Mereka juga berada di barisan terdepan mengangkat harkat martabat profesi mereka yang terhormat, melawan anggapan umum bahwa buruh migran adalah pekerjaan hina.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan cuma bikin video lucu-lucuan. Mereka tanpa disadari menggugat dan melawan anggapan umum yang menyatakan orang bakal makin keren hanya kalau bisa pamer kekayaan di media sosial. Lebih jauh lagi, mereka membantu sesama pekerja migran melindungi diri dari risiko kekerasan domestik dan perdagangan manusia.
Sebagai pengantar cerita tentang vlogge buruh migran ini, mari kilas balik ke peristiwa yang terjadi pada September 2017 lalu. Kala itu beredar viral unggahan seorang guru asal Kalimantan, Agas Saptoadi, di Facebook yang dianggap menghina para buruh migran yang berbunyi:
Kalian para babu
Hidup di bawah garis kemiskinan sampai rela meninggalkan keluarga menjadi babu di negara lain. Apa masih ada yang tersisa dari diri kalian kecuali keinginan untuk mencari uang biar gak miskin?”
Unggahan tersebut mendapat respons keras dari masyarakat. Namun, salah satu yang paling populer adalah video balasan berdurasi 2 menit 45 detik dibuat dua orang pekerja migran yang saat itu menetap di Hong Kong. Video tersebut berhasil ditonton sebanyak 15 ribu kali dan dibanjiri komentar dukungan.
Perempuan di dalam video itu adalah Elly Agustina, seorang tenaga kerja migran Indonesia di Hong Kong yang juga seorang… vlogger! Akun YouTube-nya di EllyAgustina26 yang di-subscribe lebih dari 8.700 orang.
Awalnya Elly tak punya niat menjadi seorang konten kreator YouTube. Ia mengaku hanya doyan dua hal, bicara dan kamera. Alasan lain Elly doyan nge-vlog, karena Ia ingin berbagi banyak informasi teknis pada para buruh migran dan calon buruh migran agar mendapat informasi terang. Harapannya sesama buruh migran tidak ditindas pihak manapun, termasuk majikan. Bersama kawannya sesama pekerja migran dan vlogger di Hong Kong, Andi Kers, Elly sempat menginisiasi pelatihan vlog bagi para pekerja migran di Hong Kong yang didukung sebuah provider telepon dan Internet asal Indonesia.
“Aku suka aja ngomong di video, kadang suka nge-video apapun. Dulu aku enggak tahu duitnya segitu besarnya,” ujar Elly yang dihubungi VICE Indonesia. “Aku pengennya TKW itu tahu peraturan biar kita enggak ditindas majikan, makanya nge-vlog.”
Apa yang dilakukan Elly di Hong Kong tidak jauh beda dengan yang dilakukan pekerja migran lain yang juga merangkap sebagai vlogger. Di Taiwan, ada Putri Ariyanti yang lebih dikenal lewat kanal PutriOshyn16. Putri telah bekerja di Taiwan sejak 2012, tetapi baru Mei 2017 lalu memulai channel YouTube-nya.
Kebanyakan vlog yang diunggah putri seputar kehidupan sehari-hari sebagai pekerja migran di ranah domestik. Putri tidak menyembunyikan fakta bahwa ia sehari-hari bertugas mengurus seorang lansia yang ia sebut “nenek”. Dalam kanalnya, terlihat Putri mencoba melakukan perlawanan. Pekerja migran yang hampir selalu digambarkan menderita dan tidak punya waktu libur dipatahkan Putri. Videonya sering menunjukkan kedekatannya dengan “nenek”, orang yang mempekerjakannya di Taiwan. Ia pun seringkali mengunggah video saat berjalan-jalan menikmati Taiwan dan tampil modis, jauh dari stereotipe buruh migran yang tak punya akses ke dunia luar.
Vlog yang dibuat para pekerja migran Indonesia di luar negeri dapat disebut sebagai upaya simbolis menggoyang ‘aturan’ dunia vlogging yang seakan mapan. Vlogging di Indonesia dipenuhi oleh konten kelas menengah atas, lazimnya berupa roomtour rumah dan apartemen mewah, unboxing barang-barang mahal, tips skincare Korea terkenal, video liburan di kapal pesiar, atau review makanan di restoran mahal.
Para pekerja migran sekaligus vlogger ini mengunggah berbagai konten yang bertolak belakang. Tayangan yang mereka unggah sukses membuat kita terperangah atau berpikir betapa membosankannya vlog-vlog mewah yang selama ini jadi hiburan banyak orang. Alih-alih mempertontonkan rumah mewah, mereka tetap bisa roomtour di lokasi unik. Misalnya tempat tinggal pekerja migran Indonesia di Korea Selatan yang menetap di kontainer; ada pula tips skincare pencerah wajah murah alakadarnya dengan pasta gigi jauh dari harga skincare Korsel yang mencapai jutaan Rupiah itu, atau bahkan makan lalapan seadanya dengan sambal buatan sendiri di rumah majikan saat kangen Tanah Air.
“[Vlog] ini kayak perlawanan lah, bahwa enggak semua anggapan negatif orang yang kerja di luar negeri itu begitu. Enggak semua dari kita jual diri,” ujar Putri kepada VICE. “Banyak dari mereka yang memandang rendah TKW, seolah-olah ‘kok kamu mau sih jadi kesetnya orang luar?’ kok mau sih disuruh-suruh.”
Ketua Dewan Pengurus Migrant Care, Mulyadi menyebut fenomena ini memang sedang sering dilakukan para pekerja migran domestik Indonesia di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Literasi digital bagi para pekerja migran ranah domestik diakui Mulyadi memiliki efek signifikan, karena selama ini informasi lebih banyak dibuat oleh pemerintah dan agen-agen pekerja migran yang belum tentu bisa dipercaya. Mengetahui informasi langsung soal pekerja migran dari pekerja itu sendiri membuat informasi lebih jujur dan praktikal.
“Kami melihat eksistensi mereka di dunia maya menggunakan media sosial itu sebenarnya suatu bentuk eksistensi diri, satu bentuk dia merekonstruksi identitas mereka,” ujar Mulyadi ketika dihubungi VICE. “Saya rasa ini suatu politik identitas dan bentuk budaya perlawanan atas stigma yang mengsubordinate buruh migran yang masih diyakini banyak orang.”
Sayangnya, tren serupa belum dialami pekerja migran domestik di Timur Tengah. Bentuk literasi digital ini menurut Mulyadi penting diberikan pada para pekerja migran di Saudi dan sekitarnya, terutama jika pemerintah Indonesia hendak kembali membuka moratorium pengiriman tenaga kerja migran ranah domestik ke Timur Tengah. Setidaknya, dengan literasi digital, maka publik bisa ikut memantau. Dengan begitu, hak-hak pekerja migran Indonesia di Timur Tengah bisa dijamin.
“Saya optimistis ada semangat yang lebih demokratis, terbuka, dan mengandung penghargaan terhadap perempuan di Arab Saudi,” kata Mulyadi. “Artinya akses dunia maya akan membuka ruang privat yang selama ini dikungkung oleh majikan. Kalau akses publik di ranah domestik dibuka, maka akan diikuti oleh pembatasan jam kerja tidak lagi 24 jam, ada fasilitas dan tunjangan sehingga memungkinkan bagi mereka untuk membeli pulsa, kuota, dan melakukan hal lain.”