Dari satu ruang Zoom Meeting menuju zoom meeting yang lain, disertai kewajiban untuk memberi makan, menghibur, dan memomong bayi karena tempat penitipannya sedang tutup benar membuat saya membutuhkan istirahat, namun saya tidak bisa mengambil waktu istirahat satu pun untuk beristirahat di April 2020.
Maka bermuncullah berbagai macam meme. Di antara pekerjaan-pekerjaan, berpindah ke penatu, dan mengurus anjing-anjing saya, saya bisa mengintip Instagram dan menertawakan foto-foto anak anjing yang sangat menggemaskan, karena menyadari bahwa majikan mereka ada di rumah sepanjang hari.
Videos by VICE
Saya mempelajari proses dan efek media, tepatnya berkaitan tentang bagaimana pesan media dapat mempengaruhi psikologis Anda. Ketika pandemi berlanjut, saya semakin tertarik pada bagaimana orang-orang menggunakan media sosial – dan meme yang menampilkan foto-foto lucu, khususnya – sebagai cara untuk berpikir dan berkomunikasi dengan orang lain tentang kehidupan selama pandemi.
Meme adalah bagian kecil dari budaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain. Mereka telah ada sejak jauh sebelum kelahiran internet, [tetapi teknologi digital menambah dimensi baru], mengingat kemudahan membuat, mengedit, dan berbagi meme secara online. Meme internet populer sering mengembangkan nama mereka sendiri, seperti “[Pacar yang Terganggu],” “[Wanita Menyipitkan Mata]” dan “[Berjabat Tangan].”
Saya bekerja sama dengan Robin Nabi dan Nicholas Eng untuk menyelidiki efek potensial dari jeda pengiriman meme terhadap stres dan emosi pandemi orang.
Sebuah percobaan meme
Langkah pertama dalam [penelitian kami] adalah menyisir ratusan meme yang kami temukan di media sosial. Kami meminta peserta untuk menilai seberapa lucu dan imutnya meme-meme tersebut, serta seberapa autentiknya mereka sebagai meme internet populer.
Dengan menggunakan data itu, kami mengembangkan dua kumpulan meme menggunakan gambar yang sama: Satu kumpulan memiliki teks tentang Covid-19 dan kumpulan lainnya memiliki teks yang tidak terkait dengan Covid-19.
Dalam studi utama kami, kami merekrut hampir 800 peserta untuk melihat serangkaian gambar menggunakan perangkat lunak survei online. Satu kelompok melihat meme tentang Covid-19, sementara kelompok kedua melihat meme bukan tentang Covid-19. Kelompok ketiga melihat teks biasa tanpa gambar yang merangkum gagasan umum meme, tetapi tidak sedikit pun lucu.
Kemudian, apa pun rangkaian konten yang dilihat peserta kami, semua orang selanjutnya menjawab pertanyaan tentang bagaimana perasaan mereka saat itu. Kami bertanya secara khusus tentang bagaimana perasaan mereka tentang Covid-19 dan kemampuan mereka untuk mengatasi tekanan pandemi.
Meme sebagai mood booster
Orang yang hanya melihat tiga meme menilai diri mereka pada skala 1-7 sebagai orang yang lebih tenang, lebih puas, dan lebih terhibur dibandingkan dengan orang yang tidak melihat meme. Misalnya, orang yang melihat meme mendapat skor rata-rata 4,71 pada skala emosi positif yang kami buat, dibandingkan dengan rata-rata 3,85 bagi mereka yang tidak melihat meme. Singkatnya, melihat beberapa meme imut atau lucu – terlepas dari topiknya – memberikan dorongan emosi positif bagi banyak orang.
Selain itu, kami menemukan bahwa peserta yang menilai diri mereka memiliki emosi positif yang tinggi juga lebih mungkin merasa percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menangani stres atas kehidupan yang disebabkan oleh pandemi global. Tampaknya ada nilai yang tercipta saat kita mencoba memaknai kembali sesuatu yang terus-menerus membuat stres dan menakutkan, menjadi topik yang lebih mudah didekati dengan menggunakan humor.
Topik terkait meme itu penting. Orang-orang yang melihat meme tentang Covid-19 menilai tingkat stres atas kehidupan selama pandemi berkurang dalam diri mereka. Mereka yang melihat meme terkait Covid-19 juga dilaporkan berpikir lebih dalam tentang meme dan makna yang tersirat di dalamnya – yang oleh psikolog media disebut “[pemrosesan informasi].” Lebih banyak pemrosesan informasi ini kelak akan berhubungan dengan rasa percaya diri atas kemampuan mereka untuk menangani stres karena pandemi. Ada kemungkinan bahwa mengerahkan lebih banyak upaya untuk memikirkan topik ini dapat membantu kita [ melatih mental untuk mengatasi] stres karena pandemi, alih-alih menghindarinya sama sekali.
Penelitian ini menambah semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa orang menggunakan media untuk membantu mereka mengatasi stres. Misalnya, kolaborator saya Robin Nabi telah menemukan [dalam penelitian sebelumnya] bahwa menggunakan media – baik televisi, buku, atau media sosial – adalah salah satu strategi utama untuk mengelola stres. Dalam surveinya terhadap mahasiswa dan pasien kanker payudara, orang yang memilih media untuk manajemen stres melaporkannya sebagai cara yang efektif untuk mengatasi rasa stres.
Bersama-sama, studi ini menunjukkan bahwa penggunaan media tidak selalu menjadi [pengalaman yang memicu stres] atau aktivitas [buang-buang waktu] seperti yang kerap digambarkan. Sebaliknya, kemungkinan itu tergantung pada jenis pesan media tertentu yang Anda konsumsi, jenis orangnya, dan situasi di mana Anda mengonsumsinya.
Pandemi, yang lekat dengan pembatasan ruang gerak terkait perjalanan, pekerjaan, dan proses berinteraksi, telah menjadi [masa yang sangat melelahkan]. Beristirahat sejenak untuk melihat dan berbagi budaya pop yang lucu dalam bentuk meme terkait Covid-19 dapat menjadi cara cepat dan mudah untuk terhubung dengan orang lain dan mengatasi stres pandemi secara langsung melalui tawa.
Jessica Myrick adalah guru besar bidang kajian media di Penn State University, Amerika Serikat.
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.