Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.
Merpeople. Selkies. Zoras. Deni Manusia Ikan.
Itulah ragam manusia imajiner yang hidup di bawah laut, alias “piscine humanoid” sebagaimana disebut peminat kryptozoologi. Cerita macam itu sangat kaya pada fiksi maupun legenda rakyat. Tukang dongeng sejak lama menceritakan kisah manusia yang bersembunyi jauh di dalam hutan atau di antara bintang-bintang, begitu pula dengan peradaban rahasia yang menetap di bawah gelombang sungai, laut, samudra, hingga danau.
Dalam “ABYSSAL“, kisah sains fiksi ditulis Lorraine Scheine, piscine humanoid adalah hasil imajinasi ulang dari era Anthropicene. Seiring perubahan iklim seluruh dunia, bongkahan es di kutub utara meleleh, permukaan laut meningkat, banjir dan angin topan menjadi semakin intens, dan sebuah komunitas akan tenggelam dalam waktu dekat.
Schein memandang tren ini secara ekstrem, mengeksplorasi kemungkinan di masa depan. Tokoh utama cerita ini bernama Katexa, salah satu dari “segelintir manusia yang tersisa untuk melawan ketinggian permukaan laut yang terus meningkat,” bersama keluarganya. Para penyintas terakhir ini menghargai hidup di daratan dengan integritas tinggi, dan berjanji tidak akan mengabaikan patch mereka yang semakin menurun, terra firma. “Kita bisa terus menjadi manusia, selama kita tetap berada di daratan,” kata sang ibu pada Katexa.
Tidak semua manusia yang hidup di dunia bawah laut ala Schein membuat komitmen yang sama merawat kehidupan terrestrial. Rumor beredar bila terdapat “sebuah benua manusia dari darat berusaha membangun koloni di bawah laut.” Dengan berevolusi secara dramatis menjadi manusia bawah laut, kemungkinan manusia bertahan hidup di saat permukaan laut terus meningkat.
Katexa melawan tradisi, memutuskan bergabung bersama makhluk-makhluk ini. Dia menolak menuruti tekad keluarganya untuk terus berada di darat sampai ditelan gelombang laut.
Skenario macam ini tak hanya ada dalam fiksi. Banyak ilmuwan sudah berspekulasi kalau manusia suatu hari kelak menjajah wilayah lain Planet Bumi entah untuk bertahan hidup atau secara sukarela. Misalnya saja, istilah Homo spaciens mendeskripsikan spekulasi manusia-manusia di masa depan yang diadaptasi ke kehidupan luar angkasa atau planet lain. Sementara konsep penjelajah dengan kemampuan bertelepati mengeksplor apakah kesadaran seorang individu bisa dipertahankan dalam tubuh robot.
Merujuk pada latar belakang umat manusia yang evolusioner, saat ini saja kita sudah bisa mengirim tetrapod dari bawah samudra. Tidak terlalu mustahil untuk membayangkan keturunan kita di masa depan hidup dalam bentuk berbeda, bahkan mungkin di dalam kerangka tubuh yang dapat beradaptasi di bawah laut. Lagi pula, kita kan punya banyak sepupu jauh mamalia—seperti lumba-lumba, singa laut, dan paus—yang katanya kembali hidup di bawah laut setelah ratusan tahun hidup di darat.
“ABYSSAL” menuangkan kekaguman kita dengan merpeople untuk mendramatisasi tantangan lingkungan hidup yang akan dihadapi manusia selama beberapa abad mendatang. Ditambah potret mengerikan soal kehidupan bawah laut, kisah ini memaksa kita mengenang betapa tubuh kita sangat penting bagi kelanjutan kemanusiaan.