Mari Jadikan 2021 Momen Berhenti Bikin Resolusi Tahunan Muluk

Mari Jadikan 2021 Momen Berhenti Bikin Resolusi Tahunan Muluk

Manusia berencana, semesta tertawa. Entah berapa banyak anak muda Indonesia menangis melihat daftar resolusi 2020 yang terbengkalai. Tahun yang diharapkan lebih baik dari 2019 ini malah udah brengsek sejak hari pertama. Setahun belakangan kita merasakan sendiri, jangankan mimpi mengejar target, bisa bertahan hidup saja sudah bersyukur di tengah situasi ekopolsosbudhankam negara yang karut-marut.

Namanya juga tradisi menjelang pergantian tahun, pertanyaan klasik tetap muncul: berkaca dari 2020, perlukah kita membuat resolusi 2021? Keraguan kali ini terasa lebih besar sebab untuk pertama kalinya, mengejar ambisi di tahun anyar menimbulkan lebih banyak pesimisme.

Videos by VICE

Sebenarnya enggak perlu kena pandemi, resolusi sendiri udah terbukti kebanyakan omong kosong doang. Menurut survei 2017, cuma 8 persen orang Amerika yang berhasil mencapai resolusi tahun barunya. Sebanyak 27, 4 persen langsung gagal dalam tempo tujuh hari, ditambah 31 persen yang gagal di dua minggu pertama. Emang sih, kita belum punya data model gini di Indonesia, mungkin karena resolusi untuk bikin survei tentang kegagalan resolusi juga batal terus, hahaha….

Di sisi lain, banyak pihak bilang seberapa pun kita skeptis terhadapnya, resolusi tahunan terbukti membantu dan tetap dibutuhkan banyak orang. Hengchen Dai dkk. dari Institute for Operations Research and the Management Sciences (INFORMS) mengatakan resolusi tahun baru adalah implementasi teori The Fresh Start Effect. Intinya, hadirnya momen waktu, istilahnya temporal landmarks, berdampak psikologis penting: ia bisa menghilangkan ketidaksempurnaan manusia di masa lalu, makanya kerap dijadikan titik baru sebagai batas pemisah kualitas diri masa lalu dan masa depan. Selain tahun baru, momen waktu lain yang biasa dipakai adalah awal minggu, ulang tahun, pindah rumah, atau pindah kerja.

Editor rubrik “Smarter Living” di The New York Times Tim Herrera turut sepakat soal pentingnya dampak psikologis resolusi. “Tahun Baru memberikan alasan bagus untuk ngomongin soal evaluasi diri dengan diri sendiri atau orang sekitar. Semua orang suka mencibir resolusi, tapi untuk banyak orang lain resolusi beneran ngebantu,” kata Herrera.

Oke, sebab masih dianggap membantu meskipun sering kali jadi pepesan kosong, VICE coba ngasih beberapa saran terkait resolusi. Bukan cara membuat resolusi, tapi perilaku dan pola pikir apa yang sebaiknya digunakan dalam menyikapi target tahun baru tersebut. Ini kami anggap penting mengingat pandemi kayaknya belum akan berakhir tahun depan setelah pemerintah memprediksi seluruh masyarakat baru akan selesai divaksinasi pada Maret 2022. 

Pertama, tahu situasi diri dan bersikap terbuka atas kegagalan memenuhinya. Psikolog David DeStefano bilang resolusi suka gagal terwujud karena kita sibuk, capek, atau stres. Jadi, kalau misalnya kamu berniat punya tubuh kekar di 2021 tapi kamu harus ngantor dari pagi sampai sore, pastikan kamu bisa bangun lebih pagi atau olahraga malam untuk mencapai target.

Kalau enggak bisa, ya enggak apa-apa. Resolusi juga enaknya diset lebih teknis daripada berorientasi hasil. Jadi misal, daripada bertujuan punya tubuh kekar, resolusi bisa diubah jadi jogging seminggu sekali. Dengan begini, metode evaluasinya bisa dibuat per minggu sehingga lebih mudah dipantau. Sekali lagi, kalau gagal ya enggak apa-apa.

Kedua, enggak usah ngoyo. Bukan semata-mata ngajarin nrimo ing pandum ala Jogja, tapi ini demi kesehatan kita. Psikolog Gregory Miller dari Northwestern University menunjukkan bahwa punya niat baja mengejar target, termasuk resolusi, menambah peluang seseorang mendapat sukses lebih. Namun, kesehatan yang jadi tebusannya.

Kata Miller, mereka yang terlampau ambisius mengejar target akan membuat tubuh menderita akibat stres berlebih dan sel imun yang menua prematur. Efek ini akan semakin parah ketika niat baja diganjar semesta dengan kegagalan. Jadi, santai aja. Resolusi emang ada untuk dikejar, tapi enggak harus lari kenceng dari awal sampai akhir.

Ketiga, pikirin kehidupan sosial juga. David DeStefano juga nulis di The New York Times bahwa kesuksesan mengejar target pun dipengaruhi langsung oleh ikatan sosial yang kuat. Bukan melulu soal jaringan pertemanan yang luas, tapi lebih ke menjaga hubungan antarmanusia dengan bersikap jujur, dermawan, dan setia. 

Kata David, menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri dengan memberikan waktu, uang, atau makanan kepada teman yang membutuhkan memicu rasa syukur, bangga, dan peduli. Tiga rasa ini dianggap David mampu menurunkan tendensi pola pikir manusia dalam meremehkan masa depan. Resolusi, sebagai bagian dari masa depan, otomatis dapat pengaruh langsung. Penelitian David melaporkan, rasa bangga dan peduli atas sesama meningkatkan ketahanan dan rasa pantang menyerah mengerjakan tugas sulit hingga lebih dari 30 persen.

Resolusi bukan melulu soal capaian, tapi juga proses mencapainya. Selamat tahun baru 2021 dari segenap awak redaksi VICE!