Banyak klub sepakbola perempuan di Inggris diperlakukan lebih rendah dibanding klub-klub lelaki. Itulah realitasnya. Biarpun kini pertandingan sepakbola perempuan semakin sering disiarkan televisi—berkat kesuksesan timnas perempuan Inggris—dan publik tengah menaruh banyak perhatian, kondisi pengembangan sepakbola perempuan di Inggris masih bisa dibilang suram. Makanya, mencuatnya popularitas AFC Unity, klub sepakbola perempuan profesional yang menggabungkan ide-ide sosialisme dan feminisme, bisa dibilang sebuah anomali.
Beberapa waktu lalu, sebelum dimulainya musim Liga Super Perempuan, klub Notts County Ladies tutup buku. Menurut penuturan presiden klub Alan Hardy, “Bunuh diri secara finansial” akan terjadi apabila klub terus dijalankan. Bayangkan kehebohan dan usaha pengumpulan dana yang akan dilakukan apabila ini adalah sebuah klub lelaki. Beberapa bulan lalu Sunderland Ladies diusir dari lapangan pelatihan Academy of Light karena harus mengalah kepada tim lelakinya. Biarpun beberapa klub—terutama Manchester City—telah banyak berinvestasi untuk tim perempuan mereka, mayoritas tim perempuan menyadari bahwa mereka dianggap tidak sepenting tim-tim lelaki.
Videos by VICE
Banyak orang mengatakan perbedaan profit antara pertandingan tim lelaki dan perempuan adalah penyebab ketimpangan popularitas olahraga ini dari sisi gender, biarpun perbandingan macam ini reduktif. Faktanya, perempuan memang terpinggirkan dalam sejarah sepakbola Inggris. Apabila pertandingan sepakbola perempuan tertinggal dari segi popularitas dan pendapatan, mungkin ini disebabkan karena memang mereka berusaha ditekan secara aktif selama hampir 50 tahun. Pada 1921, kabarnya cemburu karena tingginya angka penonton menghadiri pertandingan perempuan dan takut ini akan dijadikan alat politik untuk menuntut hak pilih perempuan, FA melarang tim perempuan bermain dalam stadium keanggotaan. Larangan ini baru diangkat di akhir dekade 1960’an, sementara kurangnya investasi, isolasi, serta kebencian terhadap sepakbola perempuan masih berlangsung hingga kini.
Ketika membicarakan pengasingan dan kebencian, para perempuan yang terlibat dengan tim indie AFC Unity menghadapinya dengan cara mereka sendiri. Ditemukan pada 2014, berbasis di Sheffield dan dijalankan sebagai organisasi nirlaba, klub ini memiliki etos yang mengabadikan semua kualitas tradisi akar rumput sepakbola perempuan. Mereka menekankan inklusi dan ekualitas sebagai nilai utama, dan membuang sikap saling-makan yang mengkarakterisasikan banyak klub lainnya, dan juga menempatkan diri mereka di jantung komunitas setempat. Klub ini juga mengedepankan pemberdayaan perempuan; sebagai reaksi terhadap dianaktirikannya sepakbola perempuan.
Tidak seperti klub sepakbola perempuan profesional lainnya, AFC Unity adalah organisasi tunggal tanpa afiliasi dengan klub lelaki manapun. Fakta ini poin utama yang ditekankan oleh pendiri klub, Jay Baker bersama Jane Watkinson. Jay adalah manajer klub AFC Unity. Hingga 2015, dia satu-satunya lelaki dalam Jajaran Direktur (pengunduran dirinya untuk berfokus dalam tugas manajerial, berarti kini klub memiliki jajaran direktur khusus perempuan), sementara Jane terlibat operasional klub sehari-hari, sambil bermain untuk tim utama. Menurut Jane, narasi sebuah tim perempuan berjalan sendiri masih sulit diterima banyak orang. “FA masih mendeskripsikan kami sebagai AFC Unity Women’s, dan sebetulnya ‘Kamu tidak perlu menaruh kata “Women’s” di sana. Kami adalah klub sepakbola perempuan independen—emang ada yang nyebut Arsenal sebagai ‘Arsenal Men’s?’”
Bagi Jane, kemandirian ini adalah bentuk junjungan klubnya terhadap feminisme. “Dengan klub ini, memberikan perempuan kekuasaan adalah pusat dari segalanya,” jelas Jane. “Bahkan termasuk dalam hal pelatihan, menjalankan klub dan sebagainya, yang penting adalah menciptakan lingkungan di mana perempuan mengambil peran kunci, nyaman bersuara dan berpendapat dalam hal bagaimana klub ini dijalankan, dan apa yang akan kita lakukan ketika berkampanye.”
Sebagai bagian dari aksi komunitasnya, klub ini telah mengumpulkan persediaan makanan dan meningkatkan kesadaran untuk makanan setempat lewat kampanye “Football For Food”, dan pemain didorong untuk terlibat membantu mengorganisir aksi sukarelawan. AFC Unity juga bangga akan kesadaran sosial mereka, dan ini terlihat dari apa yang mereka lakukan di dalam dan di luar lapangan.
Coba liat lambang klub dan tidak sulit untuk menyimpulkan nilai yang mereka junjung secara politik. Menggunakan sebuah bintang merah bertuliskan kata “Integrity”, klub ini memamerkan nilai sayap kiri mereka (hampir secara tersurat) secara gamblang. Jay menjelaskan bahwa dirasa penting untuk membuat klub ini sosialis dan feminis, sebagai bentuk reaksi “Red Stars” terhadap status kuo sepakbola Inggris. “Saya adalah penggemar Doncaster Rovers, dan saya terlibat dengan Perserikatan Suppoternya, tapi semakin banyak saya tahu tentang sepakbola di level atas, semakin saya merasa jijik,” jelas Jays. “Ini membuat saya kembali ingin melakukan sesuatu di tingkat akar rumput, dan mengembalikan sepakbola ke nilai awalnya: kecintaan terhadap olahraga, kedekatan dengan komunitas setempat, dan komunitas tersebut tercermin dalam kolektivisme dalam sebuah tim sepakbola.
“Tim ini didominasi oleh pemain dengan sudut pandang politik kiri atau kiri-tengah, dan banyak mendukung Partai Buruh,” tawa Jay. “Banyak pemain di sini bekerja dalam bidang kepedulian sosial, seperti dokter dan perawat dan sebagainya, jadi memang mungkin kita menarik tipe-tipe orang tertentu, tapi kami tidak dogmatik…kami mengatakan, “Ayo fokus ke sepakbola dulu, lihat bagaimana ini bisa menghubungkan kita dengan komunitas, kemudian barulah kita bahas apa yang menjadi kepedulian,’ alih-alih menjadikannya sebagai semacam kriteria politik.”
Klub ini tidak malu-malu mempromosikan ideologi kolektifnya lewat sepakbola. Diluar tim utama, tim cadangan AFC Unity mengadakan sesi pelatihan bagi perempuan dengan kemampuan apapun lewat sebuah program bertajuk “Solidarity Soccer.” Mereka memainkan pertandingan persahabatan melawan grup-grup dengan ideologi serupa, seperti Clapton Ultras dan Republica Internationale, dan bahkan memberikan diskon ke anggota serikat buruh sebagai bentuk kontribusi simbolik mereka ke gerakan buruh.
Bagi banyak pemain yang masuk ke dalam skuad inti beranggotakan 25 perempuan, inilah yang membedakan AFC Unity dari banyak tim perempuan lainnya, dan memberikan klub daya tariknya yang unik. Sarah Choonara, anggota dari tim utama yang terlibat dalam inisiatif dengan serikat dagang, berbicara dengan penuh gairah tentang daya tarik sosial dan politikal klub. “Ini adalah salah satu hal yang membuat kamu sangat berkomitmen terhadap klub, bahwa mereka sangat jelas mendukung hak LGBT, hak pekerja, dan kampanye ‘Football for Food’, dan sangat sadar tentang intrik politik di belakang semua isu tersebut,” jelas Sarah. “Misalnya diskon untuk anggota perserikatan…rasanya luar biasa bermain untuk sebuah klub yang menjunjung tinggi nilai-nilai macam ini.”
Klub ini juga sangat serius tentang komitmen mereka mengenai inklusi. Jane dan Jay menekankan bahwa tidak ada patokan politik untuk bisa ikut berpartisipasi. Ini adalah kesan yang diberikan oleh Sophie Mills, anggota tim utama AFC Unity lainnya yang telah bergabung semenjak awal. “Yang membedakan AFC Unity adalah atmosfir ramah dan suportif yang muncul ketika saya bergabung…mereka tidak mentoleransi tindakan kasar dan atmosfir negatif,” jelas Sophie. “Selain itu, kamu juga menjadi fokus utama, di banyak tempat, tim perempuan kerap diremehkan…ada elemen politik dalam klub, tapi bukan berarti kami berdiri di sesi pelatihan berdiskusi tentang politik atau semacamnya.”
Fokus utama manajemen dan setiap pemain adalah saling menghormati, keadilan, dan sikap sportif. Topik tersebut diharap selalu muncul dalam percakapan setiap anggota klub. Jane, misalnya, berhenti bermain sepakbola di masa remaja biarpun sudah bermain dalam level tinggi, akibat sikap disiplin pelatihnya yang berlebihan dan sudut pandang yang-kuat-yang-menang. Pandangan macam itu dulu membebaninya sebagai pemain sepakbola amatir. Kini, setelah gabung dengan AFC Unity, Jane berniat menjadi kebalikan dari sudut pandang macam ini, sebuah penangkal bagi kultur bullying yang kerapkali muncul dalam sepakbola profesional. Mengingat akar ideologi sosialisnya, tim ini berfokus terhadap tanggung jawab kolektif, daripada menyisihkan pemain individual yang melakukan kesalahan dalam pertandingan.
Biarpun AFC Unity terhitung baru aktif bermain selama beberapa musim, staf dan pemain di AFC Unity menunjukkan sepakbola perempuan bisa diusung dan ditampilkan berbeda. Tidak hanya menyediakan alternatif bagi orang-orang yang tidak menyukai kultur sepakbola pada umumnya. Setiap punggawa AFC Unity melakukannya dengan cara mengutamakan para perempuan yang membela tim. Tambahkan kesadaran politik dan idealisme yang kuat, kita bisa melihat dengan jelas bahwa Sheffield telah diberkahi kehadiran sebuah klub sepakbola yang spesial. Jalan masih panjang untuk melawan marginalisasi perempuan dalam sepakbola, tapi lewat upaya akar rumput macam ini, perubahan nyata bisa terjadi.
Follow penulis artikel ini di akun @W_F_Magee