Sebentar lagi, kamu bisa mengklaim kepemilikan atas warna yang sudah dibeli. Setidaknya itulah yang tengah diwujudkan oleh Color Museum, marketplace baru yang memperjualbelikan warna sebagai NFT. Segala hal yang menyangkut NFT disertai pro kontra, tak terkecuali proyek kolektif satu ini.
Penggagasnya adalah Omar Farooq, yang menyebut konsep ini “meta NFT”. Pemilik suatu warna nantinya menerima “royalti” setiap ada gambar NFT yang menggunakan warna tersebut dijual di marketplace. Harganya tergantung pada tujuan penjualan gambarnya dan proporsi warna yang digunakan.
Videos by VICE
“Kami akan mengubah warna jadi uang,” ungkap lelaki 31 tahun yang berada di New York saat dihubungi Motherboard, situs seputar teknologi bagian dari VICE.
Kolektif ini sudah mulai memperdagangkan 10.000 pilihan warna dari sRGB, ruang warna standar yang diciptakan oleh Microsoft dan Hewlett-Packard untuk program perangkat lunak pada 1996.
Pihak yang kontra berpandangan Color Museum merupakan contoh terburuk dari konsep Web 3.0 berbasis blockchain yang terdesentralisasi. Mereka mempermasalahkan bagaimana hal paling mendasar dalam hidup manusia dikomodifikasi, diperjualbelikan dan dimiliki segelintir orang. Namun, Farooq yakin proyeknya dapat memberi harapan akan bentuk kapitalisme yang lebih komunal, yang berarti keuntungan penjualan dibagi rata ke seluruh web. Dalam kasus ini, 10.000 pemilik NFT warna akan menerima sebagian dari profit.
Farooq memproklamirkan Color Museum sebagai pesaing OpenSea, marketplace utama NFT yang meraup $13 miliar (Rp187 triliun) baru-baru ini. Sementara OpenSea membebankan biaya transaksi 2,5 persen pada penjual, Farooq berencana membaginya secara merata antara penjual dan pembeli. Tim pengembangan Color Museum mengambil setengah dari hasil penjualan, lalu membagikan sisanya secara proporsional kepada para pemilik warna melalui kontrak cerdas yang dijalankan sendiri dan telah dikodekan sebelumnya.
Farooq berujar, sistem penjualan seperti ini bisa membuat penjual tertarik untuk memperdagangkan karya mereka di platform tersebut, berpotensi memasang harga yang lebih rendah karena biayanya juga rendah. Yang terpenting, ini akan menguntungkan para pembeli konsep awal, terutama jika mereka bertaruh pada warna yang tepat.
“Semuanya adil,” bunyi keterangan pada situs Color Museum. “Mari kita bersama-sama membangun OpenSea yang lebih baik.”
Para pembeli juga bisa memberi nama atau bahkan menulis esai tentang warna yang mereka pilih. “Setiap warna memiliki kepribadian,” sebagaimana dinyatakan dalam situs. “Beri tahu seluruh dunia apa artinya warna itu bagimu.” Tapi yang mungkin lebih penting lagi, mereka dapat menjualnya ke marketplace terbuka, termasuk OpenSea, atau menyimpannya “selama Ethereum masih ada” dan meraih keuntungan setiap terjadi penjualan yang menggunakan warna tersebut.
Color Museum menggunakan gambar Bored Ape seharga 247,1 ETH, setara Rp10 miliar saat artikel ini ditulis, untuk menjabarkan sistem penjualan warna pada platformnya. Marketplace akan mengenakan biaya transaksi masing-masing 1,25 persen dengan total $17.564 (Rp252,7 juta).
Separuhnya akan diserahkan ke tim Color Museum, dan sisa $8.782 (Rp186 juta) dibagi secara proporsional kepada para pemilik warna di dalam gambar, berdasarkan berapa persen dari setiap warna yang ditemukan dalam 398.161 piksel gambar, tidak termasuk delapan warna yang kurang dari 0,1 persen. Menurut situs web, jika ada warna dalam gambar yang tidak berpemilik, uangnya akan dibagi ke pemilik warna terdekat pada ruang warna sRGB “sesuai jarak Euclidean”.
Color Museum hanya akan menjual 10.000 dari 16,7 juta warna yang tersedia dalam sRGB, yang membuat NFT-nya “1600 kali lipat lebih langka” dari Bitcoin dan “400 kali lipat lebih langka dari Ether”. Kelangkaan ini tentu saja dibuat agar para pencari keuntungan tidak menyia-nyiakan waktu untuk membelinya.
Farooq mengklaim dirinya “pemain lama Bitcoin”, tapi dia sangat menyesal tidak menyimpannya sejak awal. Dulu dia lebih tertarik dengan narasi Satoshi tentang Bitcoin sebagai alat pembayaran elektronik ketimbang memperlakukannya sebagai simpanan emas digital. “Saya masih muda,” katanya. “Saat itu, Bitcoin lebih mirip mainan daripada sesuatu yang akan memiliki dampak keuangan global.”
Penyesalan inilah yang mengilhaminya untuk memulai usaha kripto. Tapi, ada satu hambatan. “Saya tidak bisa menggambar,” ujar Farooq.
Dia lalu menyadari bahwa serangkaian angka yang menggambarkan warna pada program komputer dapat dijadikan ID token untuk NFT. Farooq tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dia dihujat habis-habisan ketika pertama kali mengumumkan konsepnya di internet. Farooq mengklaim penolakan itu didasarkan pada “kesalahpahaman” yang menuduh Color Museum hendak mengakui “kepemilikan atas warna universal”, bahwa di masa depan mereka akan mengambil tindakan hukum terhadap siapa saja yang menggunakan merek dagang mereka. Dia menegaskan pemilik warna hanya akan menerima keuntungan dari penjualan NFT di Color Museum. Menurutnya, hak kepemilikan masuk akal jika mempertimbangkan aktivitas jual beli di platform tersebut.
“Kamu bisa memiliki warna dalam konteks tertentu,” kata Farooq. Sebagai bukti, dia menggambarkan bagaimana United Parcel Service mampu mendapatkan hak paten untuk warna cokelat khas perusahaannya, yang menghalangi perusahaan layanan pengiriman lain menggunakan warna tersebut. “Itulah yang dimaksud dengan NFT warna,” terangnya. “Kepemilikan warna berlaku dalam konteks tertentu dari objek digital pada kontrak cerdas digital.” Dengan kata lain, kepemilikan NFT warna tidak berlaku di luar konteks yang sangat spesifik. Selain Color Museum, ada The Colors NFT yang seluruh koleksi uniknya ludes terjual.
Motherboard mampir ke server Discord Color Museum. Isi chat-nya jauh lebih positif daripada perdebatan di platform media sosial lain. Farooq optimis proyeknya akan berhasil.
“Kami bisa melewati tantangan,” tandasnya. “Orang yang memahami proyek kami dan membaca baik-baik penjelasannya di situs mulai berdatangan.”