Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (29/11), akan menentukan masa depan wilayah Taman Nasional Gunung Leuser. Keberlanjutan hutan tropis perawan terakhir di Indonesia sangat bergantung sikap majelis hakim. Seandainya hakim mengizinkan rencana tata ruang pemerintah setempat berlaku, para pemerhati isu konservasi lingkungan khawatir segera terjadi penggundulan massif di ekosistem penting nusantara ini.
Sidang putusan itu buah gugatan kelompok (class action) para aktivis terhadap peraturan zonasi Provinsi Aceh yang membahayakan masa depan ekosistem Hutan Leuser. Pihak yang mengadukan pemerintah Aceh berada di bawah payung Gerakan Aceh Menggugat (GeRAM). Para pegiat menganggap Qanun Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh menyalahi Undang-Undang yang menetapkan wilayah Leuseur sebagai zona konservasi serta taman nasional yang dilindungi.
Videos by VICE
Ekosistem Leuser, luasnya hampir lima kali Pulau Bali, adalah salah satu hutan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di Planet Bumi. Sampai saat ini, mayoritas wilayah hutan Leuser cukup berhasil diselamatkan dari penebangan liar yang masif melanda Indonesia bertahun-tahun. Cerita sukses itu berisiko jadi statistik masa lalu. Rencana tata ruang Pemprov Aceh mengancam keberlanjutan hampir separuh wilayah pegunungan seluas 792 ribu hektar itu. Subyek gugatan ini adalah Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Muharuddin atas tudingan memaksakan kebijakan tanpa menampung aspirasi warga setempat.
“Jutaan warga Aceh hidupnya bergantung pada lingkungan dan air bersih dari ekosistem Leuser. Ekosistem ini juga sangat penting bagi penduduk dunia karena perannya vital terhadap iklim Bumi. Leuser sekaligus rumah bagi populasi satwa liar langka seperti gajah Sumatra, orangutan, harimau, dan badak,” ungkap Chelsea Matthews, Manajer Kampanye Jaringan Perlindungan Hutan Hujan (RAN) melalui keterangan tertulis.
Farwiza Farhan, Direktur eksekutif LSM Forest Nature and Environment yang menjadi salah satu penggugat dalam kasus ini, berharap banyak pada putusan pengadilan. Saat dihubungi terpisah, dia meyakini pertaruhannya adalah jutaan hektar bentang alam Leuser.
Putusan awalnya hendak dibacakan pada 7 November lalu. Namun hakim ketua kasus ini mengundurnya tiba-tiba dengan alasan butuh waktu menimbang-nimbang lebih lanjut semua aspek sengketa. Gugatan ini, di sisi lain, menunjukkan adanya pembangkangan aturan tata ruang dan wilayah dari pemerintah daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kasus Leuser menjadi ujian bagi ketegasan pemerintah Indonesia, akankah konsisten atau tidak, melaksanakan amanat Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2014.
Inti utama silang sengkarut Leuser berasal dari satu hal: rencana pembangunan jalan raya.
Pada 2008, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 26 yang menetapkan Leuser sebagai Kawasan Strategis Nasional. Merujuk pasal-pasal beleid itu, daerah yang menyandang status KSN wajib dilindungi dan dilestarikan. Di atas kertas, setiap aktivitas pembangunan jalan yang merusak keanekaragaman hayati seperti sudah dilakukan Pemprov Aceh, “dapat dianggap melanggar hukum,” kata Farwiza.
Pemerintah Provinsi Aceh, yang menggunakan dalih qanun atau hukum Islam sesuai status otonomi khususnya, memaksakan pembangunan jalan aspal membelah kawasan Leuser. Jalan raya itu lambat laun semakin mendekati wilayah Taman Nasional Leuser. Seiring perluasan jalan aspal, aktivis lingkungan mencatat naiknya kasus penebangan hutan liar dan penggundulan hutan untuk lahan kelapa sawit di sekitar Leuser.
Menurut Global Forest Watch, 102.000 hektar hutan di Leuser raib sepanjang kurun 2006-2014. Walaupun sebelumnya hutan Leuser dianggap sukses dipertahankan, ternyata data GFW belum ada apa-apanya dibanding jumlah lahan yang hilang sejak dekade 70-an. Keterangan ini saya peroleh dari Rudi Putra, Manajer Forum Konservasi Leuser. “Totalnya, aktivitas ilegal penebangan hutan sudah merampas 400.000 hektar dari 2.2 juta miliar hutan Aceh,” ujarnya. Artinya hampir seperempat wilayah ekosistem Leuser musnah.
“Dari Januari hingga Juni tahun ini, kami mencatat lebih dari 2.000 aktivitas ilegal termasuk penebangan liar, penjarahan, pembakaran lahan, serta pencurian dan perburuan liar,” imbuh Rudi.
Laporan terbaru Rainforest Action Network menunjukkan naiknya deforestasi. Perusahaan minyak sawit menjadi tertuduh utama dalam aktivitas penggundulan hutan di Aceh.
“Selama bulan Juli 2016, 38 hektar hutan hilang dalam konsesi Leuser, jumlah meningkat menjadi 58 hektar di bulan Agustus 2016,” demikian dikutip dari laporan Rainforest Action Network.
Analisis satelit pada September 2016 menunjukkan deforestasi meningkat tiga kali lipat. Jumlah lahan yang musnah mencapai 199 hektar. Meningkatnya deforestasi setiap bulan masuk kategori mengkhawatirkan.
Qanun Provinsi Aceh yang diumumkan pada 2013 akan melegalkan pembangunan jalan, pembukaan lahan perkebunan, serta aktivitas tambang karst untuk pabrik semen di Tamiang. Beleid ini berpotensi memuluskan ekspansi bisnis serupa di masa mendatang.
“Sesuai rencana tata ruang pemerintah Aceh, 1.2 juta hektar berpotensi terkena rencana pembangunan, jika RTRW ini dilaksanakan,” ujar Rudi.
Angka perkiraan kerusakan lahan bisa melonjak lebih tinggi, mengingat qanun dapat diubah lagi di masa mendatang untuk tujuan-tujuan komersial. Para pegiat, termasuk Rudi, memperoleh informasi sebagian lahan di sekitar Leuser telah diincar oleh perusahaan sawit. Artinya, Leuser dapat bernasib sama dengan kawasan hutan tropis lainnya di Indonesia: digunduli imbas perubahan rencana tata ruang.
Penebangan kayu dan perluasan lahan perkebunan di Sumatra telah memusnahkan 40 persen kawasan hutan di pulau terbesar kedua Indonesia itu, selama dua dekade terakhir. Leuser yang memiliki hutan asli terbesar di Sumatra, kini menjadi satu-satunya benteng terakhir bagi bermacam flora dan fauna. Taman nasional seluas 2,6 juta hektar itu menampung lebih dari 100 jenis mamalia, 380 burung, serta 95 reptil, yang kebanyakan tak ditemukan lagi di wilayah lain di muka bumi.
“Leuser adalah harapan satu-satunya bagi satwa-satwa itu untuk bertahan hidup,” kata Rudi.
Sejarah penetapan Leuser sebagai kawasan terlindungi harus ditarik mundur hingga 1934, saat pemimpin lokal Aceh menyepakati pakta bersama agar hutan tak dirambah siapapun. Raja dan pemimpin adat di seluruh Aceh kala itu khawatir mendengar rencana Leuser hendak dieksploitasi kepentingan modal pemerintah kolonial Hindia Belanda.
“Jadi sebenarnya Leuser adalah upaya konservasi pertama yang digerakkan oleh pemimpin lokal di Indonesia,” kata Rudi. “Fakta itu menunjukkan di masa lalu warga setempat melarang sepenuhnya semua aktivitas ekstraktif dari dalam hutan. Artinya ada kedekatan antara manuia Aceh dan hutan Leuser, sehingga muncul kesadaran melindunginya.”
pada April lalu kampanye hitam Before the FloodTim penggugat sudah mengerahkan semua sumber daya untuk meyakinkan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Saksi-saksi ahli dikumpulkan dari seantero Aceh, termasuk mereka yang hidup di sekitar kawasan Leuser. Ada data yang menunjukkan masifnya pembangunan jalan di sekitar Leuser memicu banjir dan tanah longsor akibat hilangnya area hutan, serta rusaknya sumber air setempat. Jika dibiarkan, kerusakan lingkungan yang terjadi di masa mendatang skalanya akan lebih hebat lagi.
“Jangan lupa, Leuser merupakan sumber mata air bagi Aceh Utara dan Aceh Timur, yang masing-masingnya adalah kantong beras dan lahan pertanian subur penyangga kebutuhan pangan Aceh,” kata Rudi. “Produktivitas lahan padi di Aceh akan goyah jika tak dipasok air dari Leuser.” Di Kabupaten Aceh Tamiang, angka ketergantungan warga terhadap sumber air bersih Leuser lebih tinggi lagi, mencapai 100 persen.
Dengan segala tekanan dari pegiat lembaga swadaya dan masyarakat sipil, Pemprov Aceh bergeming untuk segera mengubah rencana tata ruang dan wilayah 2013 yang bermasalah itu. Para penggugat justru mendapat dukungan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya Bakar.
April 2016, Siti mengumumkan moratorium pemberian izin pembukaan lahan kelapa sawit dan tambang di kawasan Leuser. Dia juga menegaskan bahwa pemerintah pusat akan mempertahankan keputusan 2008, yang sudah menetapkan pegunungan ini sebagai Kawasan Strategis Nasional, apapun nantinya keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat.
Kendati memperoleh dukungan positif dari Jakarta, tak ada jaminan hakim akan begitu saja mengabulkan tuntutan para aktivis lingkungan.
“Kami berharap hasil dari gugatan ini akan sejalan dengan komitmen Kementerian Lingkungan Hidup menegakkan peraturan mengenai tata ruang di ekosistem Leuser,” kata Farwiza. Putusan PN Jakarta Pusat hanya satu dari sekian hal yang dibutuhkan hutan terbesar Sumatra ini agar tetap bisa bertahan. Dalam waktu dekat, menurut Farwiza, butuh upaya ekstra agar Leuser dilindungi dari kepentingan industri ekstraktif apapun. “Yang lebih penting lagi adalah kesediaan pemerintah Aceh dan Pemerintah pusat bekerja bersama menyelamatkan Leuser.”
Cory Rogers adalah jurnalis Amerika Serikat yang tinggal di Jakarta. Follow dia lewat akun Twitter @cm_rogers.