Di antara duka dan simpati warganet untuk Novia Widyasari, korban pemerkosaan dan aborsi paksa yang memutuskan bunuh diri di pusara ayahnya, Kamis pekan lalu (2/12), muncul suara-suara kecil yang meragukan pemerkosaan yang dialami korban. Alasannya, korban bersedia diajak pelaku menginap di hotel dan dua kali dipaksa melakukan aborsi karena perbuatan pelaku yang sama.
“Kalau memang ketemunya di tempat-tempat kayak penginapan, tempat karaoke, kos-kosan… you know lah isi otaknya apa.”
Videos by VICE
“Dia kan dibawa ke penginapan dalam keadaan sadar, harusnya dia tahu belum menikah, ngapain masuk hotel? Mau nyuci baju berdua.”
“Lu pikir dia diculik dan dikarungin waktu dibawa ke hotel? Gak. Dia sukarela bersedia berduaan di kamar hotel sama pelaku.”
Tiga contoh di atas hanyalah segelintir dari sekian banyak komentar netizen yang meragukan adanya pemerkosaan dan justru menyalahkan korban atas peristiwa yang telah menimpanya.
Dugaan pemerkosaan itu muncul dari cerita seorang pengguna Twitter yang mengaku sebagai teman Novia. Dalam utasnya, ia menyebut korban pernah bercerita pernah diajak pacarnya, Bripda Randy Bagus Hari Sasongko, ke sebuah penginapan, disuruh meminum obat tidur, lalu mendapati diri hamil empat bulan kemudian. Polda Jawa Timur menetapkan Randy sebagai tersangka kasus aborsi, Minggu lalu (5/12). Polisi juga mengklaim akan mendalami dugaan pemerkosaan tersebut.
Penyelidikan ini akan berada di bawah sorotan publik. Sambil menunggu prosesnya benar-benar terbukti dilakukan dan mengutamakan keadilan, kita punya urusan dengan klaim di awal tulisan ini. Apakah benar perempuan yang mau diajak ke hotel oleh kenalan maupun pasangan otomatis tahu dan bersedia untuk melakukan hubungan seksual?
Lily* tidak berpendapat demikian. Dia sudah berkali-kali memesan kamar hotel dengan pasangannya, tapi tak pernah sekali pun menerima penetrasi. Perempuan 31 tahun itu menolak seks pranikah, dan telah menyatakannya kepada pasangan.
Bagi Lily, menginap di hotel tak melulu soal berhubungan intim. “Bisa saja ke hotel buat Netflix and chill, butuh deep talk, butuh suasana hening untuk ngerjain skripsi atau tesis,” ujarnya. “Pelukan, ciuman [atau] cuddling saja butuh consent dua belah pihak, apalagi buat hal besar kayak ngewe.”
Dewi*, 30 tahun, mengungkapkan hal serupa. Meski dia pribadi menganggap pergi ke hotel karena ada niat seksual, bukan berarti semua orang punya pemikiran yang sama. Bisa saja, kan, orang saking kebanyakan duit sampai bingung mau dipakai buat apa. Jadilah mereka buka kamar, tapi niatnya cuma untuk menonton Netflix. Boro-boro kelonan.
Dewi mengalami vaginismus, kondisi medis yang ditandai dengan kejang otot di sekitar area vagina ketika ada upaya untuk penetrasi atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina. Oleh karena itu, hubungan seksual yang melibatkan penetrasi hampir mustahil baginya.
“Kondisi orang beda-beda,” Dewi menuturkan kepada VICE. “Aku vaginismus, mau ngamar berkali-kali juga enggak bakal penetrasi.”
Selain itu, ada juga yang menyewa penginapan bersama pasangan murni untuk liburan atau sebatas melepas lelah. Mia*, 30 tahun, mengutarakan sebaik-baiknya lelaki harus bisa menjaga sikap saat mengajak pasangan menginap di hotel. Jika niatnya memang mencari kepuasan seksual, mereka harus jujur dan terang-terangan tentang itu. Jangan memaksa pasangan apabila mereka tidak mau melakukannya.
Mia mengakui ada saja lelaki yang memanfaatkan kepolosan seseorang, biasanya perempuan, demi kesenangan pribadi. “Kadang ada yang terlalu polos, mau saja diajak ke hotel tanpa ngeh itu bisa menjadi bahaya karena merasa orang yang ngajak bisa dipercaya dan […] tidak akan menyakitinya,” terangnya.
Dewi pernah berada di posisi ini. Dia memiliki kenalan senior yang sangat dipercaya. Kala itu, Dewi sedang menghadapi masalah keluarga dan amat membutuhkan teman curhat. Dia yakin sang senior mampu memberikannya masukan, sehingga dia tak punya pikiran aneh sama sekali ketika orang itu menawarkan ngobrol di hotel. “Dia mengajak ketemu di lobi hotel awalnya,” kenang Dewi. Tapi lama-lama, senior mengajaknya ngobrol di kamar.
Perasaan Dewi sangat kalut waktu itu dan pikirannya dipenuhi masalah pribadi. Dia belum menyadari ada yang tidak beres dengan sikap teman bicaranya, hingga akhirnya dia diajak ke kosan senior untuk membahas pekerjaan seminggu kemudian. “Saat itu aku baru sadar, dia ngasih kode buat tidur bareng,” katanya.
Dewi masih bisa menolak ajakan itu, tapi tak semua perempuan seberuntung dirinya. Kita sudah jutaan kali membaca cerita perempuan dianiaya dan dibunuh karena menolak ajakan lelaki. Tak sedikit pula yang hidupnya dipersulit akibat lawan jenis tidak siap menerima penolakan. Pada 2019, pekerja seks di Karawang, Jawa Barat, tewas mengenaskan di kamar hotel. Pelanggan bernama Ridwan Solihin menghabisi nyawanya karena kesal permintaannya berhubungan seks lebih lama ditolak. Dan, baru saja terjadi, perempuan di Rokan Hulu, Riau, diperkosa empat laki-laki dan diancam akan dibunuh apabila melapor polisi.
Pengakuan tiga perempuan di atas menjadi gambaran, enggak semua orang otomatis menyetujui aktivitas seksual ketika bersedia diajak menginap di hotel. Kalau ada yang nanya, “Emang diajak ke hotel mau ngapain lagi? Nugas?” nyatanya memang ada yang berniat ditemani nugas doang. Apalagi kalau diajak ke hotel lalu dikasih obat tidur, enggak ada sebutan selain itu perbuatan kriminal.
Baik Lily, Dewi maupun Mia sepakat hubungan yang sehat berlandaskan persetujuan kedua belah pihak, dan satu sama lain wajib menghargai keputusan pasangan tanpa paksaan.
Kesadaran tersebut bikin kasus Novia jadi sangat memuakkan. Amat mengerikan ketika kita telah memercayai seseorang, tapi kepercayaan itu dikhianati dalam bentuk pemerkosaan, penolakan bertanggung jawab bersama atas kehamilan tak diinginkan, dan pemaksaan aborsi. Sama mengerikannya ketika seseorang tak berani menolak seks hanya karena merasa terancam. Dalam kasus Mia, ia takut penolakan bikin hubungannya selesai.
Sebagai perempuan yang pernah terpaksa menerima seks, aku bisa mengerti alasan Mia. Kelebat ceritanya mengingatkanku pada cerpen “Cat Person” yang menggambarkan dengan baik bahwa bagi perempuan, mengatakan “tidak” tak semudah yang orang kira. “Cerpen viral Kristen Roupenian menggambarkan detail spesifik kehidupanku. Aku ngabisin bertahun-tahun sejak cerpen itu ditayangkan buat mikir: Kok dia [penulis] bisa tahu sih?” tulis Alexis Nowicki, salah seorang pembaca, di Slate.
Sebagai penutup, aku mau menantang orang yang menghubungkan “mau diajak ke hotel” dan “pasti bersedia ngeseks” sebagai hubungan sebab-akibat. Coba deh bawa logika yang sama ke kasus lain. Bersedia dijadikan tenaga kerja bukan berarti mau diperbudak, kan? Sebagaimana bersedia memilih pemimpin bukan berarti mau ditindas. Dan bayangin deh, orang-orang Banten yang menerima kedatangan pedagang Belanda pada 1596, memangnya itu tanda mereka mau dijajah ratusan tahun?
*Narasumber meminta nama mereka dirahasiakan karena deskripsi yang terlalu privat.