She-Hulk: Attorney At Law menawarkan premis yang menjanjikan. Serial yang siap tayang di Disney+ ini mengisahkan awal mula pengacara muda berubah menjadi sosok She-Hulk, versi perempuan pahlawan super berkulit hijau dalam Marvel Cinematic Universe. Tokoh utamanya, Jennifer Walters (Tatiana Maslany), digambarkan sebagai perempuan lajang berusia 30-an yang punya karier cemerlang dan hidup bahagia.
Namun, hati kecilku mengatakan untuk tidak berharap lebih pada Marvel. Dari pengalaman yang sudah-sudah, aku selalu kecewa tiap menonton film pahlawan super yang pemeran utamanya perempuan. Aku merasa sebagian besar karakternya masih kurang maksimal dieksplor, dan masalah mereka berpusat pada keluarga yang tidak harmonis dan ketidakmampuannya menghasilkan keturunan.
Videos by VICE
Contoh paling nyata adalah Wanda Maximoff, juga dikenal sebagai Scarlet Witch. Elizabeth Olsen sukses membawakannya dengan selera humor yang baik. Dia juga nampak begitu garang ketika berubah jahat lagi. Tapi sayangnya, tak banyak yang bisa digali dari karakter itu. Wanda diceritakan sebagai pengungsi Sokovia yang penuh amarah dan sering menyerang Avengers sebelum akhirnya bergabung dengan mereka.
Penderitaan Wanda terus berlanjut setelah dia menjadi Avenger. Berbagai kejadian traumatis yang dihadapi Wanda membuatnya tak bisa mengendalikan emosi dan menjadikannya sosok yang sangat jahat. Tokoh ini tak lebih dari pahlawan super dengan kisah tragis, yang mana kehilangan keluarga menjadi akar segala kemalangannya.
Aku masih bisa memaklumi apabila ini hanya terjadi pada satu dua karakter. Tapi kenyataannya, masalah keluarga melatarbelakangi terjadinya konflik batin banyak tokoh perempuan dalam film. Dalam Age of Ultron, Natasha Romanoff (Scarlett Johansson) bercerita kepada Hulk, rahimnya diangkat saat menjalani pelatihan mata-mata di Rusia, sehingga dia tidak bisa punya anak setelah menjadi Black Widow. Lebih mengkhawatirkannya lagi, kedua tokoh kuat ini mati di akhir cerita, meski Olsen menyebut masih ada kemungkinan tampil dalam film MCU lainnya.
Lalu ada Hela, kakak Thor yang ingin mengambil alih dunia setelah diasingkan ke penjara neraka oleh ayahnya. Karakter Nebula dan Gamora ada karena siksaan yang mereka terima dari Thanos, ayah angkat mereka yang jahat. Sebagian besar tindakan The Wasp atau Janet van Dyne untuk membalas kematian ayahnya. Singkat kata, eksistensi mereka dalam film sebatas anak yang tersakiti.
Selain digambarkan sebagai sosok tersakiti dan tidak bisa punya anak, tokoh perempuan di Marvel merupakan pemeran tambahan yang fungsinya melengkapi cerita. Perjalanan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) dalam Doctor Strange and the Multiverse of Madness ditemani oleh America Chavez, gadis remaja pemberani. Begitu pula halnya dengan Kate Bishop dalam film Hawkeye dan Shuri dalam Black Panther, yang dua-duanya digambarkan sebagai gadis remaja pemberani. Sisanya, perempuan berperan sebagai kekasih para pahlawan super.
Bisa dibilang, Captain Marvel menjadi satu-satunya film superhero Marvel yang motif tokoh utama perempuannya tidak didasari oleh keinginannya menjadi ibu atau berkeluarga. Kalaupun ada karakter lain seperti Carol Danvers (Brie Larson), mereka kurang mendapat sorotan. Sebenarnya ada Jessica Jones dari serial Jessica Jones, tapi sayangnya kontrak Marvel dengan Netflix telah berakhir.
Memang, tak semua tokoh perempuan di MCU memiliki kisah serupa. Karakter-karakter seperti Valkyrie bahkan punya potensi lebih. Tapi kita tidak dapat memungkiri bahwa kisah mereka baru dianggap menarik jika terlibat dalam konflik keluarga. Penggambaran She-Hulk yang cerdas dan humoris tampaknya bisa membawa perubahan, tapi aku tidak mau berekspektasi ketinggian. Meski adegan She-Hulk menggendong pasangannya sangat menarik, aku berharap karakternya punya nilai lebih dan tak hanya didefinisikan oleh “naluri keibuan”.