FYI.

This story is over 5 years old.

The VICE Guide to Right Now

Motif DPR Berniat Melarang Karakter LGBT Muncul di TV

Apa akibatnya jika penyiaran lokal dibangun berdasarkan semangat diskriminatif dan homofobik? Padahal dulu aku nonton karakter Sailor Moon yang lesbian juga biasa aja.
Cuplikan 'Sailor Moon' dari Toei Animation.

Komisi I DPR rampung membahas Revisi Undang-undang No.32 tahun 2002, tentang Penyiaran. Salah satu tambahan pasalnya bakal melarang segala bentuk penyiaran di televisi yang mempromosikan potret maupun gambaran Lesbian, Gay, Biseksual, Transgeder, Queer (LGBTQ). RUU tersebut sedang dalam tahap pembahasan di Badan Legislatif (Baleg), tinggal menunggu disahkan.

Apakah negara sedang mengalami homofobia akut sehingga perlu melakukan pelarangan terhadap apapun yang berbau LGBTQ di televisi?

Iklan

"Kami tidak mendiskriminasi orang-orang LGBTQ," ujar anggota Komisi I DPR dari PDI-P Evita Nursanty saat dihubungi VICE Indonesia. "Tapi jika dalam penyiaran tersebut ada promosi perilaku terhadap masyarakat itu yang tidak boleh."

Beleid ini aneh banget. Apalagi, kalau diingat-ingat lagi, penonton TV di Indonesia sebetulnya sejak lama sudah biasa menyaksikan karakter LGBTQ. Trus apakah kita terpengaruh jadi LGBTQ? Dalam kasus saya sih enggak tuh.

Buktinya ya kegemaran saya nonton Sailor Moon. Anime itu memperkenalkan saya pertama kali pada konsep LGBTQ, karena untuk kali pertama saya nonton serial dengan karakter lesbian. Ketika serial anime asal Jepang Sailor Moon tayang pada 1995 di stasiun TV swasta setiap hari Minggu, saya tak pernah absen menontonnya. Kakak perempuan saya dulu punya koleksi lengkap manganya.

Manga karya Naoko Takeuchi itu, yang kemudian mulai jadi serial TV pertengahan 1990-an ini menggambarkan petualangan lima orang sahabat: Usagi Tsukino si tokoh utama; Ami Mizuno, gadis berambut pendek yang bisa berubah menjadi Sailor Mercury; Rei Hino, Sailor Mars; Makoto Kino, Sailor Jupiter; dan Aino Minako, Sailor Venus.

Di luar tokoh utama tersebut, masih banyak tokoh Sailor lain yang namanya dibikin sesuai dengan nama planet dalam Tata Surya. Penamaan tersebut sesuai dengan misi utama para Sailor: menjaga tata surya dari kejahatan sambil mencari si Puteri Bulan.

Dulu mungkin ketika sibuk nonton Sailor Moon, saya tak tahu bahwa Takeuchi sengaja menampilkan Michiru Kaioh (Sailor Neptunus) dan Haruka Tenoh (Sailor Uranus) sebagai sosok lesbian. Di situ digambarkan bahwa Haruka yang juga pebalap, punya hubungan romantis dengan Michiru.

Iklan

Namanya bocah dulu mana ngerti sih hal begituan? Tapi seiring waktu saya tahu bahwa ketika serial anime tersebut tayang di Amerika, perusahaan yang mendapat lisensi segera menyensor dan melakukan dubbing ulang karena mereka menganggap hubungan lesbian mereka terlalu kentara. Di Indonesia kita masih beruntung dong, dulu enggak pernah ada sensor begituan. Itulah masa-masa tayangan di Indonesia bahkan terhitung jauh lebih ringan sensornya dibanding AS.

Namun keadaan itu kayaknya enggak bakal bertahan lama. Apalagi kalau bukan gara-gara beleid yang dirancang Komisi I DPR. Saya sih sederhananya mikir gini, kalau nanti karakter LGBTQ disensor atau diutak-atik, bukannya anak yang nonton malah jadi penasaran ya? Apapun hasilnya, kalau beleid ini berlaku, sampai jumpa kenangan TV di masa lalu yang terlalu "liberal".

Inisiatif melarang semua jenis penyiaran mempromosikan LGBTQ awalnya datang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini menganggap konten terkait LGBT dan "kebanci-bancian" di lembaga penyiaran harus diawasi ketat, disertai pemberian sanksi tegas terhadap stasiun TV yang melanggar.

Meski Indonesia tidak (atau belum?) mengkriminalisasi LGBTQ, namun belakangan tumbuh semacam gejala homofobia akut di tengah masyarakat. Motornya tentu saja kelompok konservatif dan fundamentalis. Mei lalu, 141 gay ditangkap di Jakarta Utara setelah diduga melakukan pesta dan melakukan "pornoaksi". Aktivis HAM menyoroti perlakuan pihak kepolisian yang diduga melecehkan para gay tersebut. Itu belum mempertimbangkan gelombang gerakan anti-LGBTQ lainnya.

Iklan

Misalnya upaya uji materi di Mahkamah Konstitusi dari kelompok Aliansi Cinta Keluarga (AILA), yang ingin sodomi dan seks di luar nikah masuk dalam kategori tindak pidana KUHP. Atau, kita tentu tidak lupa pada ucapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu soal penyuka sesama jenis yang lebih berbahaya daripada bom nuklir, karena merupakan bagian strategi 'perang proxy' untuk melemahkan Indonesia. "(LGBT) bahaya dong, kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya," kata Ryamizard tahun lalu. "Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang proksi semua hancur. Itu bahaya."

Dihubungi terpisah oleh VICE, Wakil ketua Komisi I Hanafi Rais Wiryosudarmo menilai publik tak perlu buru-buru mengambil prasangka tertentu. Dia bilang rancangan undang-undang tersebut masih dalam tahap pembahasan. Artinya baru sebatas usulan saja.

"Itu masih proses. Masih jauh lah. Belum tahu kapan rampung," ujar Hanafi. "Draft saja belum selesai dibahas di Baleg, apalagi disetujui. Jadi nanti saja dilihat."

Pendapat berbeda diutarakan oleh Supriyadi Widodo Eddyono, direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menganggap isu LGBTQ tak selayaknya masuk dalam koridor penyiaran.

"[Revisi UU] ini jelas kebijakan yang berakar dari homofobia," ujar Supriyadi. "Jika tayangan yang mengandung unsur kekerasan itu disensor itu wajar, tapi karakter LGBTQ itu kan enggak melulu soal kekerasan."

Jika anime Sailor Moon yang dulu bakal tayang lagi sekarang (atau ketika RUU tersebut disahkan) tampaknya sensor berat bakal disematkan. Saya kadang merasa sedikit bersyukur dulu bisa nonton anime itu, tanpa ada ribut-ribut soal fobia terhadap penyuka sesama jenis.

Apabila RUU Penyiaran tersebut disahkan oleh DPR, toh hal tersebut enggak bakal ngaruh ke kualitas konten TV lokal kita yang sejak lama jauh dari kata keren. Namun masalah jadi lebih pelik ketika efek lain dari RUU Penyiaran tersebut muncul: hilangnya toleransi terhadap sesama manusia.

Supriyadi menganggap bahwa kebijakan homofobia tersebut akan menimbulkan stigma negatif terhadap LGBTQ di masyarakat.

"Dengan adanya stigma, akan timbul efek lainnya yaitu kebencian. Jadi hal tersebut seharusnya enggak perlu diatur," ujar Supriyadi.