*Cerpen ini tayang sebagai bagian dari 'Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038'. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga nasib bahasa di masa mendatang.Selamat membaca!
LINUS DAMONO
Iklan
Mengenai tujuan awal kami mendatangkan robot Linus, hasilnya: gagal total. Linus yang baru ini betul-betul menghindari konfrontasi. Saat aku marah-marah karena bus terbang kami dipepet mobil sampai oleng, Linus meletakkan tangan di bahuku sambil bilang, “Sabar.” Bagi orang lain mungkin ini hal biasa, tapi kalau kau kenal Linus semasa hidup kau akan tahu dia bukan jenis orang yang mengenal kosa kata seperti ‘sabar’ atau ‘tenang’. Ketika kusodori naskah, dengan sopan Linus menolak.Dia tidak mau baca novelku karena takut jika sampai menista karya tersebut, berarti dia menista buah pikir ciptaan Tuhan dan itu dosa. “Selesaikan saja dulu,” katanya lembut. “Nanti kubaca. Aku yakin pasti bagus.” Aku hanya meringis. Pertama, bukan ‘pasti bagus’-nya Linus yang selama ini membuatku terpacu menulis. Kedua, sudah berbulan-bulan aku tidak bisa menulis barang sepatah kata pun tanpa bahan review dari editor andal sepertinya.
Robot Linus juga memerangi maksiat. Dia membuang semua koleksi liquor-ku dan mengganti isinya dengan air putih. Dia membuang semua persediaan daging babi di kulkas. Dia bahkan menggerebek Yasinta dan pacarnya Robi yang suatu malam menginap di kamar tidur tamu. Satu per satu teman-temanku mulai menjauh.
“Robotnya dikembalikan saja deh,” Yasinta mengeluh. “Rumahmu jadi enggak asyik lagi buat nongkrong dan kamu toh enggak nulis-nulis juga.”
Aku mengiyakan, tapi tidak serius. Termasuk ketika datang balasan dari Keshin yang menyatakan, “mungkin ada kesalahan teknis saat proses integrasi data” dan memintaku mengirim balik robot Linus ke Jepang. Pesan itu tidak kutunjukkan pada Yasinta, takut dia tambah getol. Diam-diam aku menyukai keberadaan Linus yang baru ini. Bukan sosok yang kuharapkan, memang, tapi menarik. Atau mungkin aku sekadar senang punya kawan.
“Kok bisa sih, tiap hari ganti-ganti agama?” Suatu hari iseng kutanya Linus. “Kenapa enggak, agama itu kan cuma kendaraan, bukan kulit yang melekat.” “Tapi sekarang ini orang sudah malas ngomongin agama, Mas Linus,” aku menggaruk hidung. “Tahun 2032 lalu, kolom agama saja resmi dihapus dari KTP dan dokumen warga sipil. Terus kemarin aku baca riset, 80 persen orang Indonesia masih percaya Tuhan agama monotheis tapi hanya 40 persen yang masih minat memeluk agama tertentu.” “Itu karena pemuka agamanya korup dan gampang menghujat.” “Tapi apa agama masih relevan, sih?” Aku mengejar terus. “Dari dulu konsep Tuhan menciptakan alam semesta, memilih satu planet bernama Bumi, diisi manusia, terus disuruh bunuh-bunuhan sendiri, kok susah banget masuk logikaku.”
“Kok bisa sih, tiap hari ganti-ganti agama?” Suatu hari iseng kutanya Linus. “Kenapa enggak, agama itu kan cuma kendaraan, bukan kulit yang melekat.” “Tapi sekarang ini orang sudah malas ngomongin agama, Mas Linus,” aku menggaruk hidung. “Tahun 2032 lalu, kolom agama saja resmi dihapus dari KTP dan dokumen warga sipil. Terus kemarin aku baca riset, 80 persen orang Indonesia masih percaya Tuhan agama monotheis tapi hanya 40 persen yang masih minat memeluk agama tertentu.” “Itu karena pemuka agamanya korup dan gampang menghujat.” “Tapi apa agama masih relevan, sih?” Aku mengejar terus. “Dari dulu konsep Tuhan menciptakan alam semesta, memilih satu planet bernama Bumi, diisi manusia, terus disuruh bunuh-bunuhan sendiri, kok susah banget masuk logikaku.”
"Mencari Tuhan" ilustrasi oleh Haris.
“Tuhan itu,” kata Linus serius, “seperti horison di cakrawala. Terlihat di mata, tapi ketika kau kejar, terus menjauh. Tetap terlihat, tapi tidak pernah dapat.”
Enam bulan berlalu, akhirnya hanya ada aku dan Linus. Surat dari Keshin tidak kubalas dan mereka juga tidak menghubungi. Beberapa kawan yang tadinya rutin berkunjung untuk menanggap Linus sekadar supaya bisa tertawa gayeng, mulai bosan. Yasinta sudah jarang menelepon. Kemarin aku lihat di akun Magnolia-nya, Yasinta bikin pesta babi panggang di rumah dan aku tidak diundang. Mungkin dia takut aku datang mengajak Linus dan merusak suasana.
Senin pagi seperti biasa Linus ke masjid, melewatiku yang masih melotot di depan komputer setelah menulis semalam suntuk tanpa hasil.
“Kopi, Ustaz,” kataku menawari.
“Alhamdulillah,” jawab Linus, senyumnya cerah.
Andina Dwifatma adalah penulis sekaligus dosen di Jakarta. Debut novelnya Semusim, dan Semusim Lagi memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2012. Andina turut mengelola situs jurnalisme naratif PanaJournal.com. Prosa maupun esai lain dari Andina dapat dibaca di blog pribadinya.
Andina Dwifatma adalah penulis sekaligus dosen di Jakarta. Debut novelnya Semusim, dan Semusim Lagi memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2012. Andina turut mengelola situs jurnalisme naratif PanaJournal.com. Prosa maupun esai lain dari Andina dapat dibaca di blog pribadinya.