Cerita Kristian Adelmund Soal Borok Sepakbola Indonesia Mengingatkan Kita Betapa  PSSI Benar-Benar Korup
Ilustrasi oleh Dini Lestari

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Cerita Kristian Adelmund Soal Borok Sepakbola Indonesia Mengingatkan Kita Betapa PSSI Benar-Benar Korup

Pengakuan Adelmund yang pernah merumput bersama Persela hingga PSS kepada VICE Sports Belanda memicu kegaduhan. Kami menghubungi PSSI untuk merespons tuduhannya.

Tak butuh pengetahuan sepakbola yang mumpuni untuk tahu bahwa otoritas sepakbola tertinggi di Indonesia PSSI kerap dituding sebagai sarang korupsi. Sampai-sampai mantan bek Persela Lamongan Kristian Adelmund yang asal Belanda, menuding sepakbola Indonesia tidak bisa lepas dari korupsi.

Dilansir VICE Sports Belanda, Adelmund yang saat ini berprofesi sebagai pemilik toko furnitur mengatakan bahwa birokrasi sepakbola di Indonesia sudah lebih baik sekarang, tapi korupsi tetap membayangi. Ia bahkan mengaku pernah melihat petinggi klub lawan masuk ke ruang ganti tim Adelman sambil membawa pistol.

Iklan

"Meski keadaan semakin baik saat ini, korupsi tetap menjadi masalah utama sepakbola Indonesia. Sebagai contoh, saya pernah melihat bos lawan membawa pistol ke ruang ganti wasit. Anda tak perlu heran dengan hal itu di Indonesia," tuturnya kepada VICE Sports Belanda. Sayangnya Adelmund tidak merinci lebih lanjut lagi apakah praktik tersebut melibatkan uang atau tidak.

Adelmund, pria 31 tahun kelahiran Rotterdam, pertama kali merumput bersama PSIM Yogyakarta pada 2012. Ia lantas membela tim Madura United sebelum berpindah ke PSS Sleman. Terakhir dia bermain bersama Persela Lamongan pada 2016 sebelum memutuskan kembali ke Belanda demi merawat ayahnya yang didiagnosis mengidap leukemia.

Adelmund sangat menikmati Indonesia. Dia mengatakan bahwa di Indonesia, dirinya dianggap seperti dewa. Ribuan fans mengelu-elukan namanya di stadion, para perempuan yang rela menunggu dirinya saat latihan, selalu memberikan hadiah. Dia bahkan mengaku jika ingin kembali merumput di Indonesia. “Saya masih merindukan Indonesia setiap hari,” ujar Adelmund.

Kristian Adelmund saat diwawancara VICE Sports Belanda. Foto oleh Willem de Kam.

Pernyataan Adelmund soal karut marut sepakbola Indonesia tersebut tak pelak menjadi konsumsi empuk media di Indonesia. Hampir semua media papan atas mengutip ucapannya. Tapi lebih dari itu, pernyataan Adelmund juga seperti menggarami luka lama yang belum juga sembuh. Jika ditarik ke belakang, tentu masih ingat bagaimana publik sempat geram dengan berbagai kasus yang membelit PSSI dan sepakbola Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir. Itu belum termasuk berbagai tudingan miring yang mampir ke tubuh PSSI.

Iklan

PSSI toh pada akhirnya bukanlah sebuah instansi yang sempurna dan jauh dari masalah. Saat Liga Indonesia 1998, 15 wasit PSSIS divonis bersalah mengatur skor pertandingan. Pada 2011, Indonesia Corruption Watch (ICW) memaparkan dugaan bahwa PSSI terindikasi menilap Rp720 miliar dari APBN. Maju di tahun 2015, Komunitas Suporter Antikorupsi (KoruPSSI) melaporkan PSSI kepada KPK atas dugaan skandal korupsi APBN 2014. Sayangnya kedua tuduhan terakhir tersebut tidak ditindaklanjuti oleh KPK, entah karena tidak ada buktinya atau perihal lain. Yang jelas temuan tersebut lantas menguap begitu saja.

Direktur media PSSI Gatot Widakdo menganggap bahwa perkataan Adelmund tersebut perlu dibuktikan. Gatot mengatakan bahwa tudingan yang dilempar Adelmund tak berdasar dan terkesan asal tuduh.

“Buktinya bagaimana? Itu kan sesuatu yang harus dibuktikan terlebih dulu. Tidak bisa asal tuduh hanya berdasarkan penglihatan,” ujar Gatot kepada VICE Indonesia.

Gatot enggan mengomentari lebih jauh soal pelbagai berita miring yang kerap menimpa PSSI. Menurutnya, manajemen PSSI sekarang sudah transparan dan profesional. Gatot juga mengatakan bahwa PSSI terus berusaha menghentikan praktik mafia sepakbola.

“Saya tidak mau berkomentar tentang kepengurusan PSSI yang lama dan masalah yang menimpa. Saat ini PSSI sudah berubah. Penyelenggaraan acara pun sudah transparan, kami siap setiap saat jika ada permintaan untuk keterbukaan.”

Iklan

Pengamat sepakbola Sirajudin Hasbi dari Fandom Football mengatakan bahwa apa yang dikatakan Adelmund adalah indikasi maraknya mafia sepakbola dalam usaha pengaturan skor. Menurut Hasbi semenjak Kementerian Dalam Negeri melarang penggunaan APBD untuk kegiatan sepakbola pada 2011, baik PSSI maupun klub-klub tak lagi memiliki kesempatan untuk mengemplang duit rakyat.

“Mungkin memang ada indikasi korupsi tapi jika melihat fakta yang ada sulit untuk membuktikannya terutama ketika klub sepakbola hanya mengandalkan sponsor,” ujar Hasbi. “Adelmund justru menunjukkan bahwa praktik suap menyuap dan match fixing masih menggurita.”

Hasbi mengatakan bahwa match fixing telah menjadi tradisi di beberapa negara tak terkecuali negara yang telah maju industri sepakbolanya. Menurutnya ketika uang perjudian sepakbola mudah mengalir, beragam cara bisa dilakukan untuk mengatur skor pertandingan.


Baca wawancara lengkap VICE Sports bersama Adelmund yang buka-bukaan soal borok sepakbola Indonesia:

“Praktik yang dijelaskan Adelmund, seperti petinggi klub masuk membawa pistol bisa jadi adalah cara paling kasar untuk mengatur skor,” ujar Hasbi yang mengaku kerap berhubungan dengan Adelmund.

“Ketika gaji macet, klub kekurangan dana, maka tawaran pengaturan skor bisa menjadi cara mencari dana,” ujar Hasbi. “Menghilangkan 100 persen tentu susah, tapi kita bisa meminimalisir mafia sepakbola macam begitu.”

Pengaturan skor memang masih menjadi misteri tersendiri dalam dunia sepakbola. Ia seolah melibatkan tangan-tangan yang terlihat dengan beking orang kaya. Meski Indonesia ditengarai tidak imun dari praktik macam ini, untuk membuktikan bahwa pengaturan skor benar-benar terjadi butuh partisipasi banyak pihak. Pada ajang Sea Games 2017, kepolisian Thailand menangkap 12 oknum pemain, wasit, dan official tim karena diduga terlibat match fixing alias pengaturan skor.

Hasbi mengatakan bahwa match fixing amatlah sulit diberantas jika tidak mau dibilang mustahil. Peningkatan sumber daya manusia, menurutnya, adalah salah satu cara untuk menaikkan kualitas para entitas yang terlibat dalam industri sepakbola. Contohnya, kata Hasbi, wasit lokal perlu diberikan lokakarya dan pelatihan sebelum akhirnya mendapat sertifikasi. Hal tersebut tentu saja, harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan.

“Industri sepakbola Indonesia bukanlah industri yang sudah settle,” ujar Hasbi. “Sehingga kadang kesejahteraan pemain, manajer, pelatih dan para official kadang terbengkalai. Jika sudah begitu, menurutnya, mereka akan mudah tergoda dengan iming-iming uang meski itu berarti harus berbuat curang.”