Para Pemburu Ular di Cina Saban Hari Bertaruh Nyawa

FYI.

This story is over 5 years old.

Travel

Para Pemburu Ular di Cina Saban Hari Bertaruh Nyawa

Pemburu ular adalah profesi musiman yang marak di Guangzhou, karena pada bulan-bulan tertentu, banyak sekali hewan berbisa melata di jalanan. Akar masalahnya mengejutkan.
FH
Diterjemahkan oleh Felicia Huang

Artikel ini pertama kali tayang di VICE China.

Ular jenis bandotan puspa salah satu yang paling mematikan di Asia—puluhan ribu orang meregang nyawa karena gigitan ular Bandotan Puspa di India, Thailand dan Sri Lanka. Jauh lebih mematikan dibanding kobra. Ular ini sangat agresif, serta bisa ular remaja dapat membunuh pria dewasa dalam hitungan jam. Menurut para ahli, gigitan bandotan puspa efeknya paling menyakitkan bagi korban. Wajar lah kalau manusia sangat menghindari ular ini berkeliaran di sekitar rumah.

Iklan

Nah, situasi berbeda terjadi di Kota Guangzhou, kawasan selatan Tiongkok. Bandotan puspa dan kobra menjadi tamu sehari-hari warga. Di kawasan Guangzhou, Cina, ular terlalu sering berpapasan dengan manusia. Sayangnya, penduduk setempat tak punya cukup bekal untuk mengatasi ular maupun bisanya yang mematikan.

Dalam kondisi seperti itulah, mari kita berkenalan dengan He Mingliang, seorang pawang ular di Guangdong Research Center for Endangered Species. Saban pekan dia menjelahi sebuah lahan luas di Shizishan, Guangzhou, yang kini jadi tempat murid-murid sebuah TK elit bermain “membersihkan ladang.” Kerap kali, anak-anak ini bermain-main di hutan dan bersenang denagn lumpur dekat kawasan itu. Malangnya, bahaya gigitan ular berbisa masih jadi bahaya nomor satu di daerah ini. Lalu, apa solusi TK elit itu untuk masalah seberbahaya ini? Gampang. Pasang perangkap ular. Beres perkara. Saat ini, ada jaring perangap ular di kanan kiri jalan. Untuk bisa menyebrangi jalan raya, ular harus melalui berlapis-lapis jaring. Seringnya, mereka terperangkap dalam jaring.

Nah, sebelum bocah-bocah TK itu sampai di kawasan ini, adalah tugas He Mingliang untuk memastikan bahwa lahan sekolah aman dari ular.

“Minggu kemarin, kamu berhasil menangkap seekor kobra Zoushan. Beratnya sampai 1,5 kilogram.” katanya kepada VICE. “Belakangan kami memang sering menangkap kobra cina. cuma saat ini, saya belum ketemu lagi Bandotan Puspa. Lahan ini memang rumah ideal bagi ular-ular macam itu.”

Iklan

He Mingliang sering mencari ular di halaman rumah kosong.

Terdapat tiga macam jenis ular berbisa asli Guanzhoa: ular weling, viper pohon hijau dan kobra cina. The Guangdong Research Center for Endangered Species seringkali menerima laporan polisi tentang penemuan ular oleh Warga. He Mingliang dan koleganya Zhang Liang lantas merespon laporan ini. Mereka berdua turun langsung ke lapangan membantu warga menangkap ular. Bertemu dengan king cobra bukan lagi hal yang ganjil bagi mereka. Bagi keduanya, seberapapun banyaknya ular yang berhasil mereka karungi, masih ada ribuan ular lain di luar sana.

“Kami sadar kalau banyak ular berbisa yang lepas dari tangan pawang yang menangkapnya atau malah dilepaskan dengan sengaja,” ungkap He Mingliang. “Sekarang ini, banyak pemilik ular berbisa yang melepaskan peliharaannya lantaran bosan setelah lama memelihara dengan diam-diam. Biasanya mereka tak mau repot-repot melepas ularnya di tempat yang jauh. Paling banter mereka memilih taman terdekat dari rumah mereka.”

King cobra dikenal sebagai ular yang sangat cerdas. Jika seekor king cobra dirawat sejak kecil, ular berbisa ganas ini dengan mudah bisa mengenali pemiliknya. Sekelompok peminat king cobra membentuk sebuah grup bernama KC—kependekan King Cobra—yang bertujuan untuk membiakkan sendiri king cobra. “Para pembiak ini berharap bahwa jika nanti ular-ular yang mereka pelihara mencapai panjang tiga meter, ular-ular itu bakal menuruti mereka seperti anjing yang patuh perintah majikannya,” ujar He Mingliang.

Iklan

Pembaca sekalian mungkin sering merasa ular hanya ada di kebun atau hutan. Jangan salah, Guangzhou adalah metropolitan besar di Cina. Kota ini berpenduduk 14 juta orang, kalau ditambah kota satelit di sekitarnya, total manusia beraktivitas di sini mencapai 44 juta. Jauh lebih besar dari populasi Spanyol. Ada banyak pencakar langit, subway, serta apartemen mewah. Lalu, kenapa bisa ada masalah ular separah itu di Guangzhou?

Akar masalah utamanya adalah perdagangan ular secara serampangan. Warga Guangzhou sempat demam memelihara ular king cobra. Ular ini dianggap hewan pintar dan loyal, seperti anjing. Kurang ajarnya, banyak pemilik di Guangzhou sengaja melepas kobra setelah mereka bosan dengan peliharaannya.

Tanpa sengaja dilepas pun, kata Zhang Liang, seekor king cobra secara alamiah selalu berusaha kabur jika ada kesempatan. Contohnya, pemilik king cobra menaruhnya di kandang tertutup tapi lupa menguncinya. Dalam kondisi seperti ini, hewan berbisa ini dijamin bakal kabur dari kadangnya. Tahun ini, He Mingliang dan Zhang Liang sudah berhasil menangkap seekor king cobra sepanjang dua meter di tengah sebuah bangunan sekolah.

Zhang Liang memamerkan ular yang belum lama dia tangkap.

Zhang Liang mengaku setelah bekerja di pusat penelitian selama enam bulan, beberapa stasiun TV di Guangzhou mendadak ingin mewawancarainya. Apa yang mereka tanyakan serupa: apa yang harus dilakukan seseorang jika berpapasan dengan ular berbisa? Apa pula yang harus dilakukan jika kena gigitan ular berbisa? dan seterusnya. Zhang mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut—meski kerap diulang-ulang—memang perlu dibahas. Warga Guangzhou harus belajar hidup serasi dengan alam. Kendalanya, pertanyaan-pertanyaan macam itu (liputan tentang ular berbisa) di sisi lain justru menyebarkan kepanikan akan gigitan ular.

Iklan

Lantaran sadar pekerjaannya sangat berbahaya, Zhang Liang masih sangat mempercayai takhayul. Saat kami bertemu pertama kali, Zhang menekan-nekan jarinya beberapa kali. Ternyata, dia tengah memperhitungkan peruntungannya. Zhang berharap nasib buruk tak mampir hari itu. Beberapa hari lalu, He Mingliang memergoki sepasang ular tengah kawin pada malam hari di tengah sebuah jalan di taman. He Mingliang yakin ini adalah pertanda buruk. Selama beberapa hari, Zhang memutuskan puasa dari bermacam hal yang ada hubungannya dengan ular barang beberapa hari.

Zhang Liang memegang ular yang tidak berbisa saat diwawancarai awak TV lokal Guangdong Star Chinese.

Masih jelas dalam ingatannya, saat Zhang ambil bagian dalam ritual “pelepasan pengampunan” pada 2014. Ini adalah ritual kuno agama Buddha di mana orang melepaskan binatang peliharaan semata agar bisa menerima karma yang bagus. Sebagian besar peserta sengaja membeli hewan laut, kura-kura, ular dan burung pasar. Hewan-hewan dibawa ke daerah pegunungan atau pesisir untuk dilepaskan. Saat saya pergi ke Guangzhou untuk mewawancarai beberapa orang, sedang ramai tersiar kabar seekor mokasin cina (atau ular lima langkah, karena korban hanya bisa melangkah lima kali setelah digigit sebelum akhirnya tewas) yang menggigit beberapa penduduk hingga tewas. Berita ini bikin Zhang Liang berang. “Apa sih yang sebenarnya diinginkan kelompok suka banget ngelepasin hewan-hewan itu?” ujarnya lewat media sosial.

Zhang Liang di ruangannya yang siaga menerima panggilan warga soal ular. Ruang kerjanya terletak di Pusat Studi Hewan Guangdong.

Keesokan harinya, Zhang Liang mengajak saya melakukan sebuah percobaan. Pria itu mengambil beberapa tetes darah dari tubuh saya kemudian meneteskannay pada bisa Bandotan Puspa. Darah saya membeku hanya dalam hitungan detik. Begitulah, bisa ular membunuh manusia dengan mempercepat proses pembekuan darah. Setelah digigit, darah korban bakal berbentuk seperti jeli. Sebaliknya, bisa ular lainnya justru mengencerkan darah dengan cepat. Korban bisa macam ini bakal mengeluarkan darah dari mata, hidung, mulut dan anus mereka.

Iklan

“Kalau saya digigit ular sekarang, apakah rumah sakit di Guangzhou punya penawar bisa ular yang saya butuhkan?” tanya saya.

Seekor ular mencoba kembali kabur dari lokasi penangkaran.

Jawaban yang diberikan Zhang Liang kurang mengenakkan. Di Guangzhou, kemungkinan bertemu king cobra sangat tinggi. Malangnya, rumah sakit di Guangzhou tak cuma persediaan penawar bisa. Zhang Liang buka kartu, rumah sakit di Cina umumnya hanya memiliki stok penawar untuk bisa ular weling, pallas pit viper, dan mokasin. Untuk bisa kobra sangat jarang. Semua penawar ini diproduksi oleh satu perusahaan saja yang memasok seluruh penawar bisa ular di Cina. produksi penawar kobra di Cina sudah dihentikan sejak lama. Alasannya: biasanya produksinya terlalu tinggi.

Seorang korban gigitan ular mengalami pendarahan hebat saat dirawat di rumah sakit setempat.

“Makanya, kami harus melakukan pekerjaan ini. Kami juga harus mengimpornya penawar bisa ular kobra dari Malaysia atau Thailand,” tutur Zhang Liang. “Cuma harganya mahal banget dan jumlahnya sangat terbatas.”

Zhang Liang juga mengatakan teknologi penawar bisa yang dikembangkan di Cina saat ini tak bisa mengimbangi perkembangan jumlah ular di Cina. parahnya, bisa ular biasanya berubah seturut perubahan lingkungan,

He Mingliang menunjukkan deretan penawar bisa ular andalannya.

“Misalnya, bisa racun Bandotan Pusa Delta Pearl River memiliki unsur yang sangat pelik dan tak pernah ada di masa lalu,” ujarnya. “Saat ini, Cina tak pakar yang mengkaji bisa ular dengan mendalam. Jadi kalau hari ini ada yang digigit kobra, ini akan sangat merepotkan. Sampai hari ini orang mengandalkan obat-obatan tradisional jika digigit ular. Sayang, keampuhannya belum bisa dibuktikan secara ilmiah.”

Saya bertemu He Mingliag dan Zhang Liang musim panas lalu, tepat di puncak musim maraknya ular berkeliaran. Selagi kami bicara, salah satu warga Guangzhou mungkin sedang meragang nyawa karena bisa kobra. Tanpa upaya penanggulangan serius terhadap akar masalah ular ini, siapapun, termasuk saya, sangat mungkin jadi korban berikutnya.