FYI.

This story is over 5 years old.

Pilpres 2019

Beberapa Isu Penting yang Terlewat Dalam Debat Capres Perdana 2019

Semua tema yang penting dan sensitif tidak disentuh, Jokowi dan Prabowo sibuk saling sindir. Kami bikin daftar isu-isu yang seharusnya dibahas oleh keduanya.
Debat Capres 2019 antara Jokowi Prabowo
Suasana siaran langsung debat perdana dua capres 2019 di Jakarta. Foto oleh Willy Kurniawan/Reuters

Pada sesi debat perdana semalam, ada beberapa hal yang mestinya layak untuk diberi perhatian lebih, namun justru tidak dibicarakan. Kami merangkum beberapa masalah pelik terkait Hak Asasi Manusia dan Terorisme yang absen dalam sesi debat semalam.

Tentang HAM misalnya. Saat ini warga Papua tengah melakoni hidup hari saban hari dibawah teror dan rasa takut. Papua, menjalani hari-harinya dibawah deru bising suara tembakan dan ancaman kematian yang selalu saja membuntuti di belakang.

Iklan

Masyarakat di kawasan Nduga misalnya. Mereka baru saja melewati natal terburuk—berupa pembunuhan empat orang sipil diduga oleh aparat—pembahasan tentang upaya menciptakan kedamaian di Papua, serta upaya menghentikan represi yang membayangi warga, sama sekali tidak dihadirkan dalam perdebatan antara kedua paslon Capres.

Baik Jokowi ataupun Prabowo sama-sama tidak punya cukup nyali membahas urusan Papua, lebih-lebih pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan militer. Celakanya, masing-masing paslon justru membicarakan HAM dengan contoh-contoh kasus yang sangat personal, dan tidak mewakili masalah riil warga.

Prabowo, misalnya, mengangkat kisah kepala desa di daerah Jawa Timur yang menurutnya telah dikriminalisasi karena mendukung dirinya. Kubu petahana menilai paslon nomor urut 02 kasus itu tak tepat jika dianggap rekayasa rezim. Jokowi pun balik menyerang Prabowo, memaparkan kasus hoax Ratna Sarumpaet, menggambarkan kubu Prabowo kerap menuduh pemerintah tanpa dasar.

Saling sindir itu memang menarik untuk buzzer di media sosial, namun tidak substansial sama sekali. Debat penting seputar genosida 1965, penculikan dan penghilangan aktivis sepanjang 1998, serta berbagai pelanggaran HAM masa lalu sangat minim porsinya.

"Memang kita masih memiliki beban pelanggaran HAM berat masa lalu, tidak mudah menyelesaikannya. Karena masalah kompleksitas hukum, masalah pembuktian dan waktu yang terlalu jauh," kata Joko Widodo dalam debat sesi pertama, tapi tak ada pernyataan elaborasi lanjutan darinya, kecuali janji semu bahwa pemerintah, "tetap berkomitmen untuk menyelesaikan masalah HAM."

Iklan

Sandiaga Uno, saat mendapat kesempatan bicara, menyinggung seringnya terjadi kriminalisasi terhadap wong cilik. Ia menceritakan lelaki bernama Najib, yang dipersekusi dan dikriminalisasi karena menambang pasir di Pasir Putih Cilamaya, Karawang. Jokowi berkilah, menuding Sandiaga Uno kembali melempar tuduhan. Menurut Jokowi, mekanisme hukum yang ada hari ini sudah mapan, dan mampu melindungi masyarakat di lapisan manapun.

"Kalau memang ada persekusi, tadi Pak Sandi nuduh-nuduh lagi, Gampang sekali. Laporkan. Saya akan perintahkan untuk tindak tegas pelaku tersebut," tandas Jokowi.

Masalahnya, pernyataan Sandiaga Uno soal kriminalisasi warga dalam konflik lahan sedikit punya kaki. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sepanjang kurun 2015 hingga 2018, konflik lahan memakan banyak korban. Rata-rata kasus tidak menghasilkan solusi hukum yang memuaskan. Total 41 orang tewas, 546 orang dianiaya, 51 orang tertembak, dan 940 petani dikriminalisasi.

Pada debat tadi malam, upaya revisi terkait UU ITE yang kerap menjerat aktivis serta masyarakat awam juga alpa dibicarakan. Padahal, kalau mau bicara penegakan hukum dan perlindungan HAM, isu ini menyangkut nasib banyak orang. Makin massifnya media sosial membuat siapapun berpeluang terjerat hukum hanya karena pasal karet tersebut. Terbukti, kasus yang dilaporkan memakai UU ITE meningkat lebih dari 300 persen sepanjang masa pemerintahan Jokowi, yakni menjadi 189 kasus, dibandingkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Iklan

Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa, merespons debat semalam. Menurutnya pemerintah aktor utama yang mengkriminalisasi rakyat kecil—artinya, seharusnya debat membicarakan pembenahan yang bisa dilakukan dari sudut pandang pemerintah.

"Seharusnya ada terobosan hukum untuk melindungi masyarakat kecil. Misalnya: menghapus pasal pidana pencemaran nama baik dan mengarahkan kepada masalah perdata," kata Aqsa kepada VICE. "Presiden seharusnya bisa mengevaluasi kinerja kepolisian dan kejaksaan yang mengkriminalisasi rakyat kecil."

Ia juga menilai pemerintah harusnya juga melakukan pengkajian lebih serius terkait dengan perlindungan hukum terhadap penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Sesudah teror yang dialami oleh Novel Baswedan serta ketua KPK Agus Rahardjo, seharusnya pemerintah menjamin keselamatan dari penegak hukumnya. Pembahasan terkait topik penting ini, yang semestinya dicantumkan sebagai salah satu agenda penegakan HAM, tidak disinggung sama sekali selama debat.

“Teror dan penyerangan harus segera diungkap. Masukan dan rekomendasi masyarakat sipil harus didengar. Misalnya untuk kasus KPK [Novel Baswedan dan Agus Rahardjo] seharusnya segera bentuk TGPF,” ujar Alghiffari, yang kini menjadi pengacara publik.

Evaluasi kepolisian yang gagal mengungkap teror atau serangan kepada KPK. Selama ini tidak pernah ada yg berhasil diungkap.”

Tidak hanya menghantui penegak hukum, terorisme dan radikalisme juga membayangi masyarakat kita. Masih segar di ingatan tentang peristiwa 13 Mei 2018 lalu. Saat tiga buah bom bunuh diri meledak meluluh lantakan tiga gereja di kota Surabaya, yang diinisaisi oleh sebuah keluarga.

Iklan

Baik Paslon Nomor 01 ataupu 02, sama-sama meyakini deradikalisasi dan kontra-propaganda adalah formula yang terbaik memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya. Prabowo menawarkan pembukaan lapangan pekerjaan buat terpidana terorisme—yang digunakan sebagai solusi atas setiap permasalahan yang dilontarkan kepadanya—dengan dalih aksi terorisme adalah dampak dari kemiskinan. Ada satu yang terlewat. Proses rehabilitasi terhadap korban tidak hadir di meja perdebatan.

“Pembicaraan terkait terorisme selalu berfokus pada penumpasan, atau penegakan hukum kepada pelaku saja. Tapi bagaimana dengan post-traumatic korban? Saya rasa itu terabaikan. Saya berpikir bahwa seharusnya penangan pada korban menjadi agenda yang sangat serius harusnya,” kata Romo Widyawan, pastur gereja Santa Maria Tak Bercela, salah satu korban bom gereja Surabaya, kepada VICE.

Namun, pembahasan tentang bentuk dukungan terhadap program-program deradikalisasi pun masih kabur. Seperti Lingkar Perdamaian Nusantara misalnya. Pondok rehabilitasi yang digagas oleh Ali Fauzi, mantan napi terorisme kasus Bom Bali II, mengaku mendanai pergerakannya ini secara kolektif. Pemerintah belum banyak ikut campur.

Begitulah. Debat perdana masih menyajikan hal-hal klise yang selalu kita temui di setiap masa kampanye. Kalau saja dua paslon masih belum ada yang menawarkan program konkret, pemilu 2019 tak akan meyakinkan semua orang bahwa negara ini akan beranjak jadi lebih baik.