Media Sosial Sudah Terlanjur Membajak Pikiran Kita dan Membunuh Demokrasi

Maaf, sebenarnya tak ada yang namanya revolusi media sosial media raksasa media sosial seperti Twitter dan Facebook cuma mengipasi emosi macam amarah, dengki, dan ketakutan. Intinya: media sosial tak berkontribusi membantu perkembangan demokrasi.

Hampir sedekade lalu, tepatnya antara 2009 sampai 2011, banyak komentator yang mengelu-elukan “Revolusi Facebook, “ Revolusi Twitter” atau gampangnya “ Revolusi Media Sosial.” sebenarnya, mereka bahkan tak memahami apa yang dimaksud dengan revolusi. Namun apapun sebutannya, apa yang terjadi saat itu melibatkan media sosial dan meletus di berbagai penjuru dunia, atau lebih tepatnya di manapun itu asal bukan di negara barat, seperti di Iran, Moldova, Tunisia, Mesir, serta di seantero wilayah Timur Tengah. Khusus di kawasan terakhir ini, revolusi itu punya nama tersendiri: “Arab Spring.” (Yang menarik, gelombak unjuk rasa yang baru-baru ini melanda Iran tetap terjadi walau pemerintah Iran telah memblok media sosial dan rupa-rupa aplikasi pengirim pesan dan tak ada keriuhan tentang betapa besarnya peran media sosial )

Akibat kemajuan media sosial, ada semacam narasi reduktif tentang beragam pergolakan di atas: Pemerintahan tiran ambruk lantas demokrasi tumbuh subur. Selain itu, komunikasi yang dijalin lewat media sosial dengan mudah berganti rupa menjadi revolusi politisi, meski kita, katakanlah, belum sepakat tentang bagaimana sebuah revolusi yang baik seharusnya dilaksanakan. Apa yang sejatinya terjadi adalah sebuah pergolakan emosional. Amarah yang dirasakan banyak orang berubah dengan sendirinya—tentunya berkat keberadaan media sosial, menjadi sebentuk “pemberontakan” yang melahirkan sebuah pemerintahan yang demokratis.

Faktanya, media sosial tak membantu mengubah revolusi yang menjadi praktek demokrasi yang awet. Media sosial secara langsung bicara dengan bagian pikiran kita yang paling reaktif. Media sosial juga membetot perhatian kita bahkan ketika akal waras kita mengatakan tidak. Inilah alasan kenapa media sosial begitu efektif dalam mempromosikan ujaran kebencian, supremasi kulit putih, dan risakan.

Media sosial dengan mudah mem-bypass akal sehat kita, yang menjadi dasar berjalannya sebuah sistem bernama demokrasi. Media sosial sebaliknya bicara langsung pada bagian otak kita yang reaktif—untuk tidak menyebut mudah dikompori—dan mudah dibikin senang oleh gambar-gambar sensasional dan klik-klik yang menyenangkan, yang bikin ego kita terpuaskan dan bikin kita merasa bak pahlawan. Seringnya, sentimen macam ini mudah terpancing dan mengubur kemampuan untuk berpikir jernih dan mendalam, untuk membuat perencanaan yang matang dan menjalin interaksi yang jelas menjadi pilar utama pembangunan kancah politik yang demokratis. Meski demikian, jangan salah paham dulu. Perdebatan yang mendidik dan melibatkan pemikiran yang mendalam tetap bisa jumpai di media sosial karena media sosial memang mampu menjadi kanal pertukaran ide yang berbobot kok.

Hanya saya, ada semacam tendensi—para pengamat media dan teknologi menyebutnya dengan istilah ‘affordance’—untuk beralih dari perdebatan yang dingin menjadi diskusi yang penuh emosi.
Pada 11 Februari 2011, di tengah puncak keriuhan Arab Spring, di hari ketika Hosni Mubarek mengundurkan diri, mantan marketing executive Goodle dan aktivis Wael Ghonim mengeluarkan pernyataan legendaris : “Banyak dari revolusi ini berawal dari Facebook. Bila anda ingin membebaskan sebuah masyarakat, beri saja mereka akses ke Internet.”Namun pada Februari 2016, kali ini tanpa banyak publikasi, saat mempromosikan sebuah Parlio yang ujung-ujungnya dimerger dengan Quora, Gnomim menganulir klaim terdahulunya. Dalam pernyataannya kala itu, Gnomim masih yakin “media sosial masih terus meredistribusi kekuatan politik,” namun dirinya kini khawatir bahwa “kemampuan untuk membangun jaringan, mengorganisasi aksi dan bertukar informasi dalam waktu singkat” bisa memiliki “dampak drastis pada kehidupan sipil—baik positif atau negatif.”

Okay kalau Gnonim melihat keduanya sebagai dua fenomena yang berbeda dan tak saling memengaruhi, menurut saya, ada baiknya bila Gnonim menyebut “perang popularitas tanpa akhir” di media sosial adalah fenomena yang sama-sama menjadi biang kerok gagalnya aspirasi politik dalam Arab Spring.

Bandingkan misalnya terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan hasil referendum Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (kondang dengan nama “Brexit”). Mari kita sama-sama bertanya apakah dua peristiwa ini bisa digolongkan sebagai revolusi media sosial? Toh keduanya memiliki bentuk elegan dari apa yang sering disebut-sebut sebagai dampak sosial dari media sosial: tergusurnya bentuk media politik konvensional seperti TV, surat kabar dan radio.

Pilpres AS 2016 adalah contoh pemanfaatan politik “me-first” yang emosional dan reaktif untuk mengalahkan pemikiran rasional yang menjadi jantung sebuah pemerintahan demokratik. Hampir saban hari, surat kabar dipenuhi yang menyigi bagaimana pelantar (platform) media sosial digunakan untuk menyebarkan propaganda dan memanipulasi hasil Pilpres AS 2016 dan Brexit.

Salah satu alasan kenapa media sosial jadi sarang para penyebar propaganda adalah karena mereka bisa memanfaatkan data yang begitu besar yang dikumpulkan oleh raksasa media sosial macam Facebook dan menjadikannya senjata mereka dengan menggunakan teknik penargetan psikologis. Data analis mampu “mendorong” perilaku individu dengan menggunakan data point sederhana seperti data merk kosmetik tertentu yang dilike seorang pengguna Facebook.

Bahkan Donald Trump sendiri pun yakin bahwa “tanpa media sosial,” dirinya mustahil berkantor di Gedung Putih dan keyakinan ini diamini oleh banyak pakar dan akademisi.

Videos by VICE

dua pertemuan Daniel Kahneman Richard Thaler Secrets of Silicon Valley 2007 2008 Thinking, About Thinking Thinking, Fast and Slow “Cara berpikir Sistem 1” dan “Cara Berpikir Sistem 2” Facemash hot or not 9 November lalu Axios mengatakan dalam sebuah diskusi di Stanford opini CNN Nine Dots Prize kompetisi pertamanya Peraih pertama anugerah itu The Guardian menyatakan menurut pengakuan mereka sendiri menulis pada 2013 Addiction by Design: Machine Gambling in Las Vegas Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked The Hacking of the American Mind: The Science Behind the Corporate Takeover of Our Bodies and Brains Sudah banyak pakar yang beranggapan makin kurang demokratis David Golumbia associate professor of English di Virginia Commonwealth University, tempatnya mengampu kelas digital studies and theory.