Apabila Sukarno butuh sepuluh pemuda untuk mengguncang dunia, Megawati Soekarnoputri butuh sepuluh pemuda untuk diguncang dengan nasihat. Tidak habis-habis saran-saran kehidupan beliau haturkan beberapa waktu terakhir, meminta milenial harus begini atau tidak boleh begitu.
Emang sih, kita sebaiknya maklum melihat orang tua gemar memberi kiat menjalani hidup. Dalam kasus Bu Mega, sang Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kritikan terhadap “millenial” barangkali sedang menjadi hobi terbarunya. Sebaiknya kita mendukung beliau, sebab presentasi Kementerian Sosial menunjukkan bahwa memasuki usia senja, seseorang perlu punya hobi agar tetap bahagia.
Videos by VICE
Mari kita mulai dari nasihat Bu Mega saat pidato di Hari Sumpah Pemuda tahun ini, tepatnya 28 Oktober lalu. Dalam pidato peresmian salah satu kantor baru DPD PDIP, Bu Mega mempertanyakan sumbangsih milenial kepada negara. Secara implisit Bu Mega menasihati anak muda agar jangan sering menggelar demonstrasi. Sebagai ketua umum partai yang menjabat paling lama dalam sejarah Indonesia, demo dan bermacam bentuk instabilitas politik lainnya wajar bila kurang disukai oleh Bu Mega.
“Anak muda kita, aduh, saya bilang sama presiden [Jokowi], jangan dimanja. Dibilang generasi kita adalah generasi milenial, saya mau tanya hari ini, apa sumbangsihnya generasi milenial yang sudah tahu teknologi seperti kita bisa viral tanpa bertatap langsung, apa sumbangsih kalian untuk bangsa dan negara ini? Masak hanya demo saja,” tanya Bu Mega. Wah, sebenarnya ini sih jawabannya gampang, Bu. Sumbangsih milenial ya nyoblos Jokowi laaah.
Konteksnya, Bu Mega mengkritik demonstrasi pelajar yang menolak UU Cipta Kerja sambil mengungkit perusakan fasilitas yang terjadi. Padahal, di hari yang sama, investigasi Narasi Newsroom memperlihatkan pelaku perusakan halte Trans Jakarta di bundaran HI bukanlah peserta demo. Pelajar/mahasiswa yang ditangkap polisi atas tuduhan pembakaran halte pun tidak mirip pelaku pembakaran yang tertangkap video.
Lagian, cara pelajar menentang kebijakan aneh negara dengan berdemo justru bukti mereka tidak dimanja pemerintah. Demo kan capek, enakan rebahan kali. Betul sudah sarannya Bu Mega.
Pada Selasa (10/11), Bu Mega kembali menyasar milenial dalam pidato perayaan Hari Pahlawan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pertama, doi meminta anak muda mendatangi taman makam pahlawan di daerah masing-masing, untuk bertemu makam tanpa nama. Kedua, ia mengkritik anak muda yang dianggapnya lebih percaya hoaks di internet.
“Saya selalu mengingatkan ada mereka yang jadi pahlawan itu anonim, tidak diketahui siapa dia. Apa artinya? Artinya karena pada waktu itu dia menyerahkan jiwa raganya bagi negara kita Republik Indonesia,” kata Megawati, dilansir Merdeka. “Anak-anak muda banyak kan, karena ada internet dan sebagainya. Anehnya, sekarang kenapa lebih percaya pada hoaks? Daripada tidak menanyakan dulu apakah ini benar atau tidak,” lanjut Megawati.
Pada Agustus lalu, politikus 73 tahun ini meminta kadernya jangan merasa keren dulu sebagai milenial berwawasan kalau belum terbukti mampu mengorganisir dan memberi manfaat kepada rakyat.
“Kan keren ya milenial kayaknya, ‘Wah, wawasannya banyak, wawasannya sangat ke depan.’ Pertanyaan saya, apakah benar demikian?” kata Megawati. “Keilmuan itu dari suatu manusia terbukti dia dapat melakukan sebuah hal gerakan yang dinamakan mengorganisir rakyat, memberikan tujuan kepada rakyat.”
Melihat indikator apa itu keren dari Bu Mega, rasanya beliau bakal menganggap kiprah Rizieq Shihab lebih dari dua dekade mengorganisir ormas-ormas Islam masuk kategori keren.
Banjir nasihat dari Bu Mega sebetulnya bukan terjadi baru-baru ini. Pada 2016, Megawati mulai resah sama cara milenial memakai media sosial yang dianggapnya kurang sopan. Ia menyampaikan kegelisahannya ini saat melantik pengurus organisasi sayap PDIP, Baitul Muslimin.
“Kalau saya lihat sekarang anak muda sopan santunnya sudah tidak ada. Kalau di medsos itu, Presiden sendiri dijelek-jelekin. Saya sampai berpikir, kita ini sebenarnya negara apa sih. Media kita membangun sebuah masyarakat yang tidak punya keutuhan pribadi. Saya bilang, jangan sukanya menghina di belakang karena itu bukan merupakan sikap ksatria,” kata Megawati dilansir CNN Indonesia. Mungkin Bu Mega lupa, kalau menghina di media sosial, berarti tidak menghina di belakang dong.
Akhir kata, bagi milenial (dan Gen Z yang kena getahnya, atau jangan-jangan target Bu Mega sebenarnya anak yang belum 25 tahun tapi terlanjur disamaratakan dengan milenial oleh para baby boomer) jangan sedih dulu. Bu Mega tidak sepenuhnya sinis kok sama kita. Buktinya, pada pemilihan umum 2019, ia tetap berusaha sekuat tenaga mendekatkan partainya ke kalangan milenial.
Bukan, bukan dengan berdialog sembari mendengarkan pemikiran milenial, tapi dengan menjadikan artis yang populer di kalangan milenial sebagai caleg. Yuhuuu.