Melacak Jejak Khalid Abu Bakar, Sang Guru Spiritual Pelaku Bom Surabaya

Polisi antiteror bersiaga di jalanan Surabaya setelah bom bunuh diri terjadi dua hari beruntun Mei 2018. Foto oleh Beawiharta/Reuters

Berdasar kesaksian banyak orang, Khalid Abu Bakar adalah ustaz yang tak menyukai sorotan. Pemuka agama kelahiran Surabaya itu hanya fokus pada satu hal yang ingin dia wujudkan sejak lama: penerapan hukum syariat Islam secara total di Indonesia.

Nama Khalid ramai dibicarakan setelah serangan bom di tiga gereja dan Polrestabes Surabaya serta rusun Sidoarjo terjadi 13-14 Mei lalu. Khalid adalah guru spiritual para pelaku bom bunuh diri Dita Oepriarto, Anton Fediantono, dan Tri Murtiono, yang melaksanakan aksi keji tersebut mengajak keluarga masing-masing. Khalid diketahui telah memiliki pandangan ekstrem sejak era 1990-an. Namun ia tak pernah secara resmi bergabung dengan kelompok tertentu.

Videos by VICE

Pengajian rutin yang dipimpin Khalid di rumah milik Dita tak membedakan perempuan maupun laki-laki. Anak-anak pun dengan mudah mengenyam pendidikan jihad dan bom bunuh diri lewat video yang sengaja ditampilkan sebagai materi pengajian. Khalid bersama ketiga keluarga tersebut dilaporkan juga pernah mengunjungi ustaz Abu Bakar Baasyir pada 2016 di Nusakambangan untuk memperoleh tausiyah.

Rohan Gunaratna, profesor dari Rajaratnam School of International Studies, Singapura, mengatakan sosok Khalid merepresentasikan ancaman nyata dari sisi ideologi jaringan kelompok teror yang berpaham khilafah. Meski secara operasional Khalid tidak memerintahkan serangan secara langsung, inspirasi dan ajaran yang disebarkan Khalid terbukti menjadi bahan bakar yang mampu menggerakkan sel-sel teror.

Sekalipun pemerintah Indonesia telah memiliki undang-undang anti-terorisme baru, yang berguna untuk menangkap simpatisan maupun anggota jaringan teror, Rohan mengatakan meredam persebaran ideologi merupakan strategi yang tak kalah penting. Karenanya, keberadaan Khalid sebisa mungkin harus cepat ditemukan.

“Khalid harus menjadi target kunci pemerintah,” kata Rohan kepada VICE Indonesia. “Pemerintah harus meredam persebaran ideologi demi stabilitas dan keamanan, terutama kepercayaan publik terhadap kinerja aparat.”

Ketika pertama kali mendengar kelompok militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mendeklarasikan berdirinya negara Islam, Khalid ingin segera berhijrah ke sana. Bersama rombongan asal Indonesia Khalid terbang ke Suriah melalui Turki akhir 2016. Cita-citanya tersebut harus dikubur, ketika pemerintah Turki mencurigai gerak-gerik rombongan dan mendeportasi mereka ke Tanah Air Januari 2017.

Bersama 75 orang lainnya, Khalid sempat menjalani rehabilitasi di panti sosial binaan Kementerian Sosial. Ideologi ekstrem Khalid tak terlalu nampak ketika menjalani rehabilitasi dan pemerintah kala itu tidak terlalu fokus pada dirinya. Setelah menghabiskan dua minggu di panti sosial dengan pendampingan dari LSM dan Kementerian Sosial, Khalid pulang ke Surabaya. Lemahnya sistem pengawasan pemerintah pascarehabilitasi membuat Khalid tak terpantau hingga kini.


Tonton dokumenter VICE mengenai sekolah yang berusaha mendidik anak napi teroris agar menjauhi radikalisme:


Siti Darojatul Aliah dari Society Against Radicalism and Violent Extremism Indonesia (Serve) yang mendampingi para deportan dari Suriah mengatakan pemerintah kala itu tak terlalu menaruh perhatian terhadap Khalid. Siti juga mengatakan LSM tempatnya bekerja lebih fokus ke program pendampingan deportan perempuan dan anak, sehingga Khalid tak termonitor dengan seksama.

“Dia dideportasi sebelum masuk Suriah bersama 75 orang lain, termasuk anak-anak dan perempuan,” kata Siti. “Tapi saya tak terlalu mengenalnya. Kebanyakan dari para deportan merasa tidak bersalah karena memang tujuannya hijrah dan dianggap mulia. Jadi kalau dikunjungi selalu menghindar, sehingga susah dilacak.”

Khalid disinyalir kembali aktif berdakwah dan merekrut anggota pengajian pasca dirinya dideportasi. Namun begitu serangkaian bom meledak di Minggu pagi 13 Mei, Khalid seakan lenyap dari muka bumi.

Kini setelah JAD dibekukan dan pemimpin spiritualnya Aman Abdurrahman divonis mati, Khalid belum juga tertangkap meski kepolisian terus memburu dirinya. Padahal setelah serangan bom tersebut – dan dengan disahkannya UU anti-terorisme yang baru – kepolisian telah menangkap tak kurang dari 260 terduga teroris di seluruh Indonesia.

Lantas mengapa Khalid begitu licin dan tak terdeteksi aparat?

Juru bicara Polda Jawa Timur Komisaris Besar Polisi Barung Mangera mengatakan perburuan terhadap Khalid masih terus dilakukan. Perburuan dengan bantuan Densus 88 dan aparat kepolisian setempat dilakukan di lokasi-lokasi yang diduga sebagai tempat persembunyian Khalid dari Madura hingga Nusa Tenggara Barat. “Pengejaran masih terus dilakukan ke berbagai tempat yang dicurigai,” kata Barung dikutip media lokal.

Kepala Bagian Penerangan Satuan Mabes Polri, Kombes Yusri Yunus, menambahkan Densus 88 tetap bekerja dengan efektif didukung dengan patroli di daerah rawan. Menurutnya tetap ada operasi pencegahan dan penangkapan.

“Kami patroli-patroli di daerah-daerah rawan, kemudian penegakan hukum tetap jalan dari Densus 88,” kata Yusri dikutip awak media.

Direktur pelaksana Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti mengatakan Detasemen Khusus 88 sebetulnya mulai mengendus keberadaan Khalid, namun tak memiliki cukup bukti untuk menangkapnya atas tuduhan mengotaki serangan bom Surabaya. Ia mengatakan Densus 88 dengan kemampuan intelijennya tak mungkin kehilangan jejak. Itu membuktikan, kata Adhe, polisi dari awal salah mengasumsikan Khalid sebagai tokoh sentral dalam serangan bom Surabaya, sehingga menjadi bumerang dalam proses penangkapan Khalid.

“Berbeda dari Aman, Khalid tak pernah mengeluarkan fatwa, sehingga sulit mencari bukti keterlibatan serangan teror,” kata Adhe kepada VICE Indonesia. “Sementara kalau polisi hampir tidak mungkin kehilangan [jejak]. Keberadaannya sangat jelas, rekam jejaknya dari sejak dideportasi sudah diketahui. Kedua anaknya diketahui kerap mengisi pengajian di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan dan Khalid juga pernah mengisi.”

Peran Khalid sebagai penyebar doktrin radikal bagaimanapun tidak bisa disepelekan. Meski Khalid disangsikan turut merencanakan serangan bom tersebut, namanya disebut-sebut sebagai sosok yang berandil besar dalam penyebaran ideologi.

Tindak-tanduk Khalid membuktikan pemeo betapa ideologi lebih berbahaya daripada senjata. Siti Darojatul Aliah bilang proses indoktrinasi pelaku bom bunuh diri Surabaya yang melibatkan dua keluarga tidak terjadi dalam waktu singkat. Ini membuktikan peran Khalid sebagai ideolog ulung amatlah berbahaya.

“Keputusan bunuh diri dan membawa anak itu tidak diambil dalam satu malam,” kata Siti. “Rencana teror hanya bisa matang jika didoktrin orang yang bisa mempengaruhi dan punya pengalaman.”

Kini meski JAD sudah dibekukan dan pemimpin spiritual Aman Abdurrahman divonis mati, ada dua kemungkinan arah kelompok teroris tersebut di masa mendatang. Laporan terbaru dari Institute for Policy Analysis (IPAC) menyebut kelompok terroris di balik serangan bom Surabaya tersebut bisa mencari pengganti pemimpin spiritual atau tetap menjadi sel-sel yang terpisah.

Jika skenario pertama benar terjadi dalam waktu dekat, Khalid memiliki peran besar untuk menjadi tokoh panutan baru bagi pendukung mereka yang terus memimpikan Indonesia diubah menjadi dengan sistem khilafah.