Parahnya kondisi kabut asap pada beberapa kota di Indonesia sepekan belakangan mengakibatkan masyarakat sulit beraktivitas normal. Melansir laporan dari merdeka.com, pelajar di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, terpaksa mengalami perubahan jadwal sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng mengubah jam masuk sekolah menjadi pukul 07:30 WIB, serta membuat durasi tiap mata pelajaran hanya 30 hingga 35 menit saja.
Selain itu, selama proses belajar mengajar siswa juga diwajibkan menggunakan masker, menutup jendela dan pintu, serta mengupayakan pemasangan kipas angin untuk mengurangi kabut asap dalam kelas. Siswa untuk sementara dilarang beraktivitas di luar kelas karena buruknya kondisi kabut asap di sekitar.
Videos by VICE
Di Sumatra, kondisi sama buruknya. Provinsi Riau merayakan hari ulang tahun ke-62 berselimut asap. Di Pekanbaru, Ibu kota Riau, jarak pandang amat terbatas sehingga masyarakat enggan keluar rumah. Menurut pemerintah pusat, dampak kebakaran hutan pada 2019 terburuk sepanjang sejarah Riau.
Tidak hanya kenyamanan belajar dan aktivitas sehari-hari, kesehatan warga juga menjadi korban. Menurut tribunnews.com, sepanjang kurun Januari hingga Juli 2019 sebanyak 274.502 warga Sumatera Selatan terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berdasarkan pantauan satelit milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 15 Agustus 2019, Indonesia memiliki 644 titik api, 181 dalam kategori butuh penanggulangan segera, 440 dalam kategori waspada, 23 dalam kategori rendah. Angka ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan 9 Agustus lalu, ketika titik panas sempat melonjak dan terpantau di 742 lokasi.
Fenomena kebakaran hutan yang berujung pada ‘ekspor kabut asap’ hingga ke Malaysia dan Singapura terlampau rutin berulang. Kondisi tahun ini seakan mengulang kronologi kebakaran hutan hebat pada 2015 lalu. Mengapa bencana semacam ini terus terjadi?
Salah satu jawaban yang tersedia adalah faktor cuaca buruk el nino, yang ditengarai membuat lahan di enam provinsi negara ini lebih rawan terbakar. Namun aktivis lingkungan punya pandangan berbeda. Untuk kasus Indonesia, lemahnya penegakan hukum berpengaruh terhadap terus berulangnya bencana kebakaran hutan, berujung pada kabut asap yang mempengaruhi warga.
“Memang kemarau panjang dan el nino ini keadaan susah, tapi pemerintah [harus] tegas juga. Karena pada saat ini korporasi sering membuat ‘kebakaran’ karena ingin membersihkan lahan dengan mudah agar dapat ditanami sawit sebagai usaha,” ujar Kiki Taufik, selaku Manajer Kampanye Hutan Greenpeace untuk kawasan Asia Tenggara, kepada VICE.
Asumsi itu dibenarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut KLHK, penyebab kebakaran tahun ini 90 persen adalah ulah manusia. Pasalnya, beberapa petani sawit dan korporasi masih percaya bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar adalah opsi terbaik.
Itulah mengapa pemerintah, lewat satuan tugas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menerbitkan instruksi pada polisi agar tak segan menembak langsung orang yang membakar lahan ataupun hutan. Presiden Joko Widodo juga mengancam bakal segera mencopot Pangdam, Danrem, Kapolda, Kapolres yang tidak becus mengurus kebakaran hutan.
Greenpeace Indonesia mengecam instruksi tersebut. Kebijakan ini berpeluang melanggar hak asasi serta tidak menyelesaikan masalah secara fundamental. “[Kebijakan tembak di tempat] sangat berbahaya di lapangan karena bayak kejadian salah tangkap,” kata Kiki. “Kami justru sangat khawatir perintah tersebut kalau tidak dibarengi dengan pengungkapan dalang atau pembayar bagi pelaku yang membakar.”
Hingga artikel ini dilansir, sudah 30 orang yang menjadi tersangka pelaku pembakaran hutan secara sengaja. Meski begitu, keseriusan pemerintah menegakkan hukum menjadi sorotan aktivis.
Pemerintah sebenarnya sudah kalah pada gugatan warga di Mahkamah Agung, karena dianggap lalai mengangani penanganan kebakaran 2015. Penggugat adalah sejumlah aktivis dan masyarakat Kalimantan. Pengadilan menyatakan Presiden Jokowi dan juga sejumlah pejabat publik bersalah atas pembiaran potensi kebakaran hutan.
Realitasnya, Presiden Jokowi dan jajaran pejabat terkait tak kunjung menerbitkan kebijakan konkret mengantisipasi kebakaran akibat kemarau panjang tahun ini. Penegakan hukum juga tak diberikan pada perusahaan yang sudah dinyatakan bersalah karena membiarkan lahan gambut di lahan kering dan terbakar. Sanksi yang dijatuhan sejauh ini hanya pencabutan izin AMDAL.
Menurut catatan Greenpeace, sudah ada sembilan perusahaan yang dinyatakan bersalah di tingkat pengadilan negeri dan wajib membayar denda sejumlah Rp18,9 triliun. Sampai 2019, tidak ada satupun dari sembilan perusahaan perkebunan tadi yang mendapatkan sanksi tegas seperti penyitaan lahan ataupun pembekuan izin operasional. Penegakan hukum utamanya, kata Kiki, harus diarahkan pada perusahaan “yang lahannya kedapatan terbakar, termasuk wilayah sekitarnya dalam radius dua kilometer, itu yang utama ditegakkan.”
Namun memang isu kebakaran hutan ini sangatlah rumit. Karakteristik gambut yang seperti spons membuat kebakaran terjadi sangat cepat dan sulit dideteksi. Meski begitu, pemerintah menurut aktivis harus berbenah. Berbagai indikator menunjukkan kondisi 2019 akan mengulang bencana asap empat tahun lalu. Bila dibuarkan, ongkos kerugian sosial yang menimpa masyarakat jauh lebih besar daripada terus memaafkan pembakar lahan atas dalih keuntungan ekonomi.
“Dari kondisi sekarang saja sebenarnya sudah banyak dana yang dikeluarkan, namun bila dibandingkan dengan dampak kesehatan yang diderita masyarakat jauh lebih besar lagi,” kata Kiki.
Pada 2015, luas area terbakar mencapai 2,6 juta hektar are. Kerugian yang diderita Indonesia ditaksir hampir Rp221 triliun.
“Pemerintah harus bertindak tegas dan cepat agar tidak mengulang kerugian tahun 2015 lagi,” tandas Kiki.